Aroma Dendam Konflik Balkan
Selebrasi gol sarat kontroversi. Dianggap provokasi.
USAI mencetak gol pertama Swiss atas Serbia di matchday kedua Grup E Piala Dunia 2018, Sabtu (23/6/2018), gelandang Granit Xhaka langsung merayakannya dengan selebrasi berupa mendekapkan dua tangan membentuk elang berkepala dua, mirip simbol Albania. Selebrasi serupa dilakukan Xherdan Shaqiri usai mencetak gol yang memastikan kemenangan Swiss di Kaliningrad Stadium itu.
Selebrasi kontroversial tersebut jadi bumbu tersendiri dalam lagi penuh gengsi itu. Ia berkalang masa lalu nan pahit. Meski Swiss dan Serbia secara formal tak pernah berkonflik, komposisi tim Swiss di Piala Dunia 2018 berisi banyak pemain berdarah Balkan. Selain Granit dan Shaqiri, Swiss juga diperkuat Blerim Dzmaili dan Valon Behrami yang –di lengan kirinya bertato bendera Kosovo dan lengan kanannya bertato bendera Swiss– juga berdarah Albania. Selain itu, ada Haris Seferovic dan Mario Gavranovic (Bosnia), dan Josip Drmic (Kroasia). Mayoritas punya masa lalu yang belum selesai dengan Serbia.
Granit dan Shaqiri seakan merupakan eksponen dari konflik itu. Selebrasi keduanya dengan mendekapkan dua tangan berbentuk elang berkepala dua, mirip simbol Albania, jelas provokasi terhadap tim dan suporter Serbia. Keduanya merupakan warga berdarah Albania asal Kosovo, negeri yang pernah diperangi Serbia dalam konflik Balkan.
Sebelum pertandingan, aroma dendam konflik Balkan sudah terasa saat muncul beragam pemberitaan tentang sepatu Nike Mercurial yang dikenakan Shaqiri. Di sepatu kirinya, Shaqiri memamerkan gambar bendera Swiss, sementara di kanannya bendera Kosovo, negara kelahirannya 26 tahun silam.
Sepatu bola Xherdan Shaqiri dengan bendera Swiss dan Kosovo/Foto: fifa.com
Hanya dengan mengenakan sepasang sepatu itu saja Shaqiri sudah memicu provokasi buat Serbia. “Jika mereka sangat mencintai Kosovo, kenapa mereka tidak bermain untuk negeri mereka sendiri saja ketimbang Swiss,” kata penyerang Serbia Aleksandar Mitrovic merespons psy war jelang laga, dikutip Washington Post, 21 Juni 2018.
Kenangan Kelam Masa Silam
Aksi Granit dan Shaqiri jelas politis. Emosi akibat pengalaman pahit masa lalu, disebabkan oleh Konflik Kosovo, keduanya beserta keluarga mereka belum sirna.
Konflik di Kosovo meningkat jadi kekerasan bersenjata pasca-lahirnya Ushtria Clirimtare e Kosoves (UCK) alias Tentara Pembebasan Kosovo pada 1991. Hingga berakhirnya perang (11 Juni 1999), ratusan ribu sipil jadi korban. Menurut Tim Judah dalam The Serbs: History, Myth and the Destruction of Yugoslavia, sekitar 848-863 ribu atau 90 persen populasi Albania di Kosovo terpaksa mengungsi. Sekira 8.661 lainnya tewas atau hilang. Sementara di pihak Serbia, 230 ribu warga kehilangan tempat tinggal dan sekira 3.500 jiwa lainnya tewas atau hilang.
Granit dan Shaqiri hanya dua dari 200-an ribu korban perang di Kosovo. Shaqiri, misalnya, sudah harus mengungsi saat masih bayi. Lahir di Gjilan, Yugoslavia (kini wilayah Kosovo) 10 Oktober 1991, Shaqiri dan tiga saudaranya dibawa kedua orangtuanya keluar dari Kosovo. Mereka mengungsi lebih dari 1000 mil hingga mencapai Augst, Swiss.
Gelombang pengungsi masyarakat Albania keluar dari Kosovo/Foto: filmaid.org
“Saya tak pernah lupa bahwa saya lahir di Kosovo. Negeri yang sangat miskin. Tak banyak lapangan pekerjaan, tak banyak uang. Rumah paman saya dibakar, namun rumah saya masih berdiri meski rusak di sana-sini, barang-barang dicuri dan tembok rumah saya dicorat-coret,” kenang Shaqiri, dilansir Independent, 23 Juni 2018.
Sementara, Granit lahir di Basel, Swiss 25 tahun lampau dari pasangan berdarah Albania, Ragip dan Eli Xhaka. Pasangan itu awalnya tinggal di Kursumlija, Serbia. Begitu konflik pecah, orangtua pemain yang kini berkarier di Arsenal FC itu harus berpindah-pindah dari Kursumlija ke Podujevo (Kosovo) sebelum mencapai Swiss pada 1990.
Saat diwawancara Dave Hytner dari The Guardian, 17 November 2017, Granit membeberkan, ayahnya pernah dipenjara pemerintah Serbia saat masih mahasiswa. “Sejauh yang saya tahu, dia baik-baik saja di awal masa tahanannya. Namun kemudian dia juga ikut dipukuli di tahanan,” kenang Granit.
Ragip Xhaka diciduk pemerintah gara-gara ikut berdemonstrasi pada 1986. Demonstrasi itu bagian dari Revolusi Anti-Birokratik 1986-1989 yang menentang pemerintah otonomi Serbia di Kosovo dan Montenegro. Demonstrasi menjalar ke Pristina hingga Vojvodina.
Ragip dipenjara tiga setengah tahun. Setelah dibebaskan dan menikah, dia pindah ke Swiss dan beranak-pinak di sana.
Berbeda dari kakaknya, Taulant Xhaka, yang memilih membela timnas Albania, Granit memilih mengabdi buat timnas Swiss. Namun, bukan berarti dia dan Shaqiri boleh provokatif dalam sebuah pertandingan lantaran FIFA berulangkali menegaskan ingin menjauhkan sepakbola dari politik.
“Komite Disiplin FIFA membuka pemeriksaan terhadap Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri terkait selebrasi gol di pertandingan Swiss vs Serbia,” ungkap FIFA, dikutip Sky Sports, 24 Juni 2018. Menilik regulasi kedisiplinan FIFA pasal 54, provokasi terhadap publik umum dalam pertandingan hukumannya dua kali larangan bertanding dan denda paling sedikit USD5.062.
Baca juga:
Preambul Piala Dunia Pertama Amburadul
Luzhniki Ikon Kejayaan Negeri Tirai Besi
Dulu Menjegal, Kini Gagal
Intisari Rivalitas Sepakbola Sejagat
Tambahkan komentar
Belum ada komentar