PADA 22 Juni nanti, Jakarta akan menginjak usia 491 tahun. Ibukota makin disesaki manusia dari berbagai daerah. Sejak masih bernama Sunda Kelapa pun, kota ini sudah jadi tempat mukim orang dari bermacam etnis, mulai Sunda, Jawa, Melayu, Ambon, Tionghoa hingga Eropa.
Dari percampuran banyak etnis itu, muncullah etnis baru bernama Betawi. James Minahan dalam Ethnic Groups of South Asia and the Pacific: An Encyclopedia menyebutkan, percampuran itu terjadi sejak 1619 ketika VOC, kongsi Dagang Belanda, berkuasa dan menamakan daerah itu Batavia. Etnis Betawi mendominasi Batavia pasca-Geger Pecinan 17 Oktober 1740. Semasa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977), etnis Betawi dan budayanya dijadikan identitas Jakarta.
Seiring putaran waktu dan kencangnya arus urbanisasi, Jakarta tak lagi “milik” masyarakat Betawi saja. Jakarta menjadi etalase slogan Bhinneka Tunggal Ika. Jakarta bukan milik satu etnis. Pun Persija Jakarta sebagai klub kebanggaan ibukota.
Prinsip itu yang ingin digulirkan Tauhid Ferry Indrasjarief ke dalam Jakmania, suporter setia Persija. Bung Ferry, begitu dia biasa disapa, ingin masyarakat Ibukota yang berbeda-beda suku tetap satu dukungan, untuk Persija.
Ferry pertama kali jadi panglima saat menggantikan Gugun Gondrong. Pria bernomor anggota JM 002 itu lalu bertahan sebagai tampuk pimpinan berturut-turut mulai 1999-2001, 2001-2003, dan 2003-2005. Lewat Musyawarah Luar Biasa Jakmania Januari 2017 lalu, Ferry kembali terpilih sebagai ketua umum (ketum) periode 2017-2020.
Kecintaan putra Betawi namun kelahiran Bandung, 18 Februari 1965, itu terhadap tim Macan Kemayoran bersemi seiring seringnya diajak menonton tim nasional main oleh sang kakek, Mujeran. “Kakek orang Betawi asli Petojo. Dulu dia yang sering ajak nonton timnas (Indonesia). Di timnas saat itu ada sembilan pemain Persija. Dari situ gue mulai suka dengan Persija,” ungkap Bung Ferry kala ditemui Historia di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Diakui Bung Ferry, sejak masa sekolah hingga kuliah, belum ada pendukung Persija yang terorganisir. Baru di era 1990-an muncul Persija Fans Club, berasal dari kalangan artis dan keluarga pemain Persija. “Tapi kemudian hilang begitu saja,” lanjutnya.
Kawan suporter asal ibukota Bung Ferry pun hanya dari Commandos, kelompok pendukung Pelita Jaya. Bersama sebagian dari mereka, Bung Ferry mendirikan The Jakmania pada 19 Desember 1997. Dengan markas pertama di Stadion Menteng, mereka beberapa kali kena gusur sehingga pindah ke Stadion Lebak Bulus, GOR Ciracas, dan kini Stadion Soemantri Brodjonegoro di Kuningan, Jakarta Selatan.
Menembus Sekat Kultural
Diakui Ferry, Jakmania sebagaimana gambaran masyarakat di ibukota “demografinya” sangat heterogen. Itu yang membedakan dari Persija Fans Club yang kental unsur ke-Betawi-annya. Semasa PFC, Persija sempat berganti julukan jadi “Si Jampang”. Oleh karena itu, Ferry menegaskan, Jakmania tak terbentur sekat-sekat kesukuan atau budaya laiknya Bobotoh yang kental dengan nyunda-nya atau Bonek yang identik dengan Arek-Arek Suroboyo.
“Jakmania itu mendobrak kultur dan mengusung kultur baru. Tidak harus sepakbola itu dijadikan perang antarsuku (di lapangan). Tidak harus orang Sunda (di ibukota) dukung Persib. Ketika elo tinggal di Jakarta, cari makan di Jakarta, ayo kita sama-sama dukung Persija, tim yang ada di kota elo. Kita didik generasi kedua para pendatang dengan pendekatan itu dan itu berhasil. Kulturnya jadi nyatu semua, karena mereka semua kan tinggal di Jakarta,” tuturnya lagi.
Oleh Ferry dan jajarannya, prinsip itu terus “dipropagandakan” dengan slogan yang tertera di kaos-kaos Jakmania. Dalam kaos angkatan pertama, “Gue Anak Jakarta”, bukan “Gue Anak Betawi”, pimpinan menyemai prinsip Persija bukan milik orang Betawi saja tapi milik orang Jakarta.
Lewat kaos di tahun kedua, “Satu Jakarta Satu”, pimpinan Jakmania bertujuan menghilangkan tawuran. “Sesama The Jak dilarang tawuran, tabu buat kita. Alhamdulillah dampak tawuran antarsekolah ikut berkurang, tinggal tawuran antarkampung yang belum,” imbuh Ferry.
Seiring bertambahnya massa Jakmania, Ferry mengakui tugasnya kian berat di periode keempat. Tantangan terberatnya, menjaga kesolidan Jakmania di tengah bermunculan kelompok-kelompok anyar.
“Heterogennya makin kuat di Jakmania. Tapi yang penting bagaimana caranya agar tetap nyatu, walau dia alirannya Ultras, Hooligans atau apa. Makanya gue bikin lagu, “Persija Menyatukan Kita Semua”. Karena menurut gue di Jakarta harus tetap ada satu payung yang mengayomi mereka semua,” tambah Bung Ferry.
Jakmania, sebagaimana diinginkan Ferry, mesti jadi jembatan antara suporter, klub, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selain tetap kritis terhadap prestasi klub, Jakmania juga sudah lama menantikan janji-janji birokrat terkait stadion pasca-digusurnya Stadion Menteng (2006) dan Lebak Bulus (2015).
“Sudah kenyang janji. Dari zaman Bang Yos (Gubernur DKI Sutiyoso) sampai Anies (Baswedan), dibilangnya akan ada stadion baru, tapi tetap nggak ada realisasinya. Mungkin kalau ada gubernur yang namanya Bandung Bondowoso, mungkin. Dia kan bikin seribu candi aja bisa dalam satu malam. Dia bikin stadion, nggak pake izin pasti langsung bangun, hahaha…,” canda Bung Ferry menutup obrolan.
Baca juga:
Jakmania Setia Mengawal Persija
Persija dari Masa ke Masa
Persija dan PSMS Berbagi Trofi Juara