Masuk Daftar
My Getplus

Celaka Dua Belas di Pintu Dua Belas

Tragedi Kanjuruhan menyisakan kisah pilu di Pintu 13. Petaka serupa juga terjadi di Argentina yang sialnya tanpa ada pihak yang bertanggungjawab.

Oleh: Randy Wirayudha | 12 Okt 2022
Kondisi stadion saat ditengok Presiden RI Joko Widodo lima hari pasca-Tragedi Kanjuruhan (BPMI Setpres/setkab.go.id)

LANGIT pucat di Kepanjen, Malang, menaungi kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menengok Stadion Kanjuruhan pada 5 Oktober 2022. Dari video yang diunggah Sekretariat Presiden di akun Youtube-nya, tampak ekspresi datar Jokowi menyiratkan keprihatinan kala menatap Pintu 12, 13, dan 14 yang jadi saksi bisu pada tragedi Sabtu kelabu, 1 Oktober 2022.

Dari tribun, sesekali ia juga melirik akses tangga-tangga menuju tiga pintu tersebut yang sudah diberi garis polisi. Pun juga dengan keadaan sekitar lapangan yang masih bertebaran bermacam benda sisa-sisa tragedi yang merenggut 132 jiwa dan melukai lebih dari 500 lainnya itu.

“Sebagai gambaran, tadi saya melihat bahwa problemnya ada di pintu yang terkunci dan juga tangga yang terlalu tajam, ditambah kepanikan yang ada, tapi itu saya hanya melihat lapangannya. Saya kira kita memang perlu evaluasi total semuanya, baik manajemen pertandingan, manajemen stadion, manajemen penonton, manajemen waktu, manajemen pengamanan agar peristiwa ini tidak terjadi lagi,” kata Jokowi di laman kepresidenan, Rabu (5/10/2022).

Advertising
Advertising

Baca juga: Pelajaran Berharga dari Tragedi Sepakbola

Tragedi Kanjuruhan yang terjadi usai laga Arema FC kontra Persebaya itu mulai menampakkan “secercah cahaya dalam terowongan” pihak-pihak yang bertanggungjawab. Tak sampai sepekan pascatragedi, kepolisian pada 6 Oktober sudah menetapkan sedikitnya enam tersangka. Salah satunya berinisial SS selaku security officer Arema FC.

Sehari sebelum penetapan tersangka oleh polisi, SS jadi salah satu pihak yang dianggap bertanggungjawab sehingga dijatuhi sanksi larangan beraktivitas dalam kegiatan sepakbola seumur hidup oleh Komite Disiplin (Komdis) PSSI. Alasannya karena SS lalai membuka pintu keluar yang mestinya sudah dibuka 10 menit jelang bubaran laga.

Momen Presiden Jokowi menengok kondisi Stadion Kanjuruhan (pssi.org)

PSSI juga mengganjar hukuman serupa kepada ketua panita pelaksana (panpel) Arema, Abdul Haris. Sementara, Arema FC sendiri divonis menjalani partai usiran berjarak 210 kilometer dari homebase-nya di Malang hingga akhir musim Liga 1 2022-2023 ditambah denda Rp250 juta.

“Kepada officer atau steward, orang yang mengatur semua keluar masuk penonton pintu semuanya. Siapa itu? Security officer Arema FC adalah Suko Sutrisno. Dia bertanggung jawab kepada hal yang harus dilaksanakan tapi tidak terlaksana dengan baik. Merujuk pada pasal 68 huruf A, junto pasal 19, junto pasal 141 Komdis PSSI, tahun 2018, saudara Suko Sutrisno sebagai petugas keamanan security officer tidak boleh beraktivitas di lingkungan sepakbola seumur hidup,” ungkap Ketua Komdis PSSI Erwin Tobing di laman PSSI, 4 Oktober 2022.

Baca juga: Lima Petaka Mengerikan di Stadion Sepakbola

Selain tindakan berlebihan dari aparat keamanan hingga disertai tembakan gas air mata, akses pintu keluar Stadion Kanjuruhan jadi perkara tersendiri yang belakangan viral di media sosial. Utamanya Pintu 13 yang menyisakan banyak kisah memilukan hati dari para penyintasnya.

Kondisi sejumlah tribun, termasuk di Tribun 13, sudah chaos karena ribuan suporter saling mencari selamat dari kepulan asap gas air mata. Akses tangganya curam dan sempit. Lebih celaka lagi, ternyata pintu keluarnya terkunci. Akibatnya, roster ventilasi di sebelah Pintu 13 dijebol agar mereka bisa keluar dari tribun.

Pascatragedi, lokasi Pintu 13 paling banyak dijadikan lokasi tabur bunga. Daun pintu besinya tak hanya menampakkan coretan bertuliskan “RIP” tapi juga ucapan-ucapan duka yang tertempel di banyak bagiannya. Pun di sisi kanan dan kiri temboknya, berhias tulisan sederhana: “Selamat Jalan Saudaraku 01-10-22” dan “Saudaraku Dibunuh. Usut Tuntas, 01-10-22.”

Nahas di Pintu Dua Belas

Duel Superclásico antara dua tim sekota asal Buenos Aires, River Plate dan Boca Juniors, selalu jadi partai panas. Rivalitas keduanya amat keras. Pertemuan dua klub itu selalu memancing fanatisme massa masing-masing suporter.

Bagi Miguel Durrieu (46), fans Boca, duel klub tersukses di Argentina itu justru akan membuka luka bagi batinnya.

“Kepanikan, rasa takut, dan banyak jeritan. Saya terjatuh dan pingsan tapi saya masih selamat. Saya tak pernah bertemu siapa yang menyelamatkan saya. Sejak saat itu saya tak pernah menonton Boca lagi,” kenang Durrieu kepada Clarín, 24 Februari 2017.

Durrieu jadi satu dari sekian suporter Boca yang jadi penyintas Tragedia de la Puerta 12 atau Tragedi Pintu 12 pada 23 Juni 1968 petang di Stadion El Monumental (kini Estadio Antonio Vespucio Liberti). Petaka tersebut memakan korban jiwa 71 fans Boca tewas dan 128 lainnya terluka.

Baca juga: Argentina dan Trofi yang Dirindukan

Pada petang dengan udara dingin di musim semi itu, River Plate tengah menjamu Boca Juniors di laga Torneo Metropolitano. Laga itu juga jadi pertandingan terakhir legenda hidup Amadeo Carrizo sebelum sang kiper cemerlang itu hijrah ke klub Peru, Alianza Lima. Stadion El Monumental saat itu disesaki 90 ribu penonton yang mayoritas suporter tuan rumah, River Plate. Suporter tim tamu kala itu dilokasikan ke tribun utama.

“Pertandingannya membosankan (berakhir imbang 0-0, red.) dan tampak fans Boca sudah mulai pergi menjelang laga berakhir menuju akses keluar. Tepat ketika laga usai dan saya hendak menuju ruang ganti dari tribun media, saya melihat sesuatu yang mengkhawatirkan, mencurigakan, dan tidak biasa,” tutur jurnalis senior Cherquis Bialo yang juga menjadi saksi mata, pada kolomnya di laman Infobae, 23 Juni 2020.

Partai panas River Plate vs Boca Juniors pada 23 Juni 1968 di Estadio El Monumental (historiadeboca.com.ar)

John Nauright dan Charles Parrish dalam Sports Around the World: History, Culture, and Practice menulis, petaka itu pecah karena beberapa faktor. Salah satunya berkelindan dengan kondisi politik di Argentina. Terlebih, suporter Boca dan River Plate juga tak hanya konflik terkait sepakbola tapi juga terkait penguasa politik yang, dalam petaka ini, berkaitan dengan tindakan polisi terhadap fans Boca.

Suporter Boca yang mayoritas berasal dari kalangan kelas pekerja, sudah lama jadi pendukung fanatik Jenderal Juan Perón yang dikudeta pada 1955. Sementara, pendukung River Plate, yang kebanyakan berasal dari kaum miskin, mendukung rezim junta militer yang pada 1968 dipimpin Letjen Juan Carlos Onganía.

“Saat terjadi petaka itu juga sempat ada pelemparan gelas plastik berisi air kencing kepada aparat polisi, pembakaran bendera River Plate, dan yel-yel anti-pemerintah yang ditujukan kepada diktator militer Juan Carlos Onganía oleh suporter Boca yang masih berada di tribun atas,” ungkap Nauright dan Parrish.

Baca juga: Intisari Rivalitas Sepakbola Sejagat

Hal itu berimbas pada ribuan suporter Boca lain di tribun bawah yang sedang berusaha keluar dari tribun menuju Pintu 12. Dari sejumlah pengakuan saksi mata dan penyintas, akses tangga ke Pintu 12 tanpa penerangan yang laik dan saat itu pintu geser besinya hanya terbuka separuh. Lebih lagi ternyata palang pintu putar di depan pintu geser itu menambah penghalang bagi para penonton.

“Saya bisa memastikan bahwa 10 menit jelang laga berakhir, Pintu 12 masih terkunci. Putra saya yang berumur 10 tahun sampai pingsan karena berdesakan. Saat ada yang membuka setengah pintunya, mereka yang sudah ingin keluar masih harus dihadapkan pintu putar. Sungguh luar biasa situasinya saat itu,” kenang Enrique Acuña, penyintas Tragedi Pintu 12 lain.

Puerta 12 alias Pintu 12 pascatragedi (El Gráfico/La Nacion/ole.com.ar)

Alih-alih selamat, sejumlah suporter yang berhasil meloloskan diri dengan susah payah kemudian malah berhadapan dengan sepasukan polisi berkuda yang marah akibat lemparan air kencing dan yel-yel anti-pemerintah tadi. Alhasil, para suporter yang sudah lolos dari pintu besi dan palang berputar berusaha menyelamatkan diri kembali ke arah Pintu 12 dan itu yang memicu “longsor manusia” di akses tangga dan Pintu 12.

“Beberapa saksi mata masih ingat ketika pintunya belum dibuka dan beberapa lainya mengatakan pintu palang putarnya belum dipindahkan. Padahal pintu dan palang pintunya mestinya sudah dibuka 15 menit menjelang laga bubar. Polisi berkuda menggunakan tongkat memukuli suporter yang keluar dan memaksa mereka untuk mundur. Setelah terjadi tindakan represif polisi yang terprovokasi itulah tragedinya bermula,” tulis Andreas Campomar dalam ¡Golazo! A History of Latin American Football.

Baca juga: Nahas di Stadion Ibrox

Para suporter yang dipukul mundur itu bertubrukan dengan suporter yang hendak keluar. Tekanan yang terjadi menimbulkan efek domino, ribuan suporter bertumbangan dan saling menindih satu sama lain.

“Tindakan polisi membuat panik dan menimbulkan suasana yang dramatis hingga memakan korban jiwa. Antara mereka yang ingin segera keluar dari tribun karena kedinginan dan mereka yang ingin menyelamatkan diri dari polisi menyebabkan mereka saling berdesakan dan kebingungan, jatuh, dan saling menjerit saat tertindih,” sambung Bialo.

Estadio El Monumental pada 1960 sebelum direnovasi (atas) dan kini setelah direnovasi (cariverplate.com.ar)

Akibatnya, ratusan orang terluka dan mengalami sesak nafas. Sebanyak 71 di antaranya akhirnya tinggal nama.

Terlepas dari Presiden River Plate William Kent yang menuding pihak kepolisian sebagai penyebabnya, investigasi selama dua bulan justru tak menghasilkan seujung kukupun keadilan untuk para keluarga korban. Mayoritas korban tewas masih sangat muda, antara usia 13-25 tahun. Meski Hakim Oscar Hermelo yang memimpin investigasi selama dua bulan telah menetapkan dua tersangka dari ofisial River Plate, Americo Di Vietro dan Marcelino Cabrera, serta memberi ancaman sanksi 200 juta terhadap River Plate, kasusnya disetop Majelis Kriminal dan Banding.

“Saya sudah menetapkan tersangka terhadap dua orang tapi ketika majelis meninjau ulang, penyelidikan lebih jauh dan kelanjutannya tidak bisa diteruskan,” timpal Hermelo.

Baca juga: Lembaran Getir Tragedi Heysel

Sementara pihak klub, terlepas sempat menuding pihak polisi, menggalang dana dengan dibantu AFA (federasi sepakbola Argentina) mencapai 100 ribu dolar. Dana itu diniatkan sebagai santunan kepada keluarga korban tewas yang masing-masing akan mendapat seribu dolar dengan syarat, keluarga korban takkan menuntut pihak klub.

Lantas berbarengan dengan renovasi El Monumental jelang Piala Dunia 1978, semua pintu yang menyandang nomor diganti dengan huruf. Termasuk Pintu 12 yang berubah menjadi akses pintu keluar darurat Sektor L.

Menariknya, pihak klub Boca Juniors pun seakan mengubur dalam-dalam memori pahit itu selama bertahun-tahun tanpa adanya peringatan. Baru pada 2015, sejumlah fans Boca mendesak pihak klub untuk mau mengakui dan memperingati, hingga kemudian pada 50 tahun kejadian pihak klub secara resmi menggelar peringatan rutin.

Pintu 12 yang diubah menjadi Pintu L pasca El Monumental direnovasi (cariverplate.com.ar)

TAG

stadion sepakbola argentina

ARTIKEL TERKAIT

Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Kakak dan Adik Beda Timnas di Sepakbola Dunia Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson Empat Pelatih Asing yang Diapresiasi Positif Negeri Besutannya