Jalur menuju Perkebunan Rancaupas itu dikenal orang-orang Ciwidey sebagai Tikungan Punceuling Barutunggul. Di sisi kirinya, nampak dataran tinggi dipenuhi pepohonan, sementara di sisi kanan jurang dalam terlihat menganga. Jarang orang yang tahu, jika 74 tahun yang lalu di tempat tersebut pernah terjadi banjir darah.
“Kurang lebih satu peleton tentara Belanda habis kami sikat,” ungkap Uweb (98) kepada saya pada 2019.
Uweb merupakan sisa-sisa saksi hidup peristiwa itu. Selama Perang Kemerdekaan (1946-1949) dia adalah salah satu prajurit Batalyon ke-26 yang lebih dikenal sebagai Pasukan Siluman Merah. Di lingkungan Divisi Siliwangi, Pasukan Siluman Merah merupakan bagian dari Brigade II Guntur.
Baca juga:
Kado Berdarah Buat Siluman Merah
Awalnya Pasukan Siluman Merah bermarkas di Gunung Sadu, dekat Soreang. Namun setelah beberapa kali dibombardir oleh tentara Belanda dari Divisi 7 Desember sepanjang Juli 1947, atas perintah Panglima Divisi Siliwangi Kolonel A.H. Nasution, kesatuan tersebut akhirnya memindahkan markasnya ke wilayah Barutunggul. Itu terjadi pada 4 Februari 1947.
Di lihat secara militer, Barutunggul sendiri memang merupakan wilayah yang sangat strategis. Posisinya berupa lembah dengan hutan lebat diapit oleh dua benteng alami: Gunung Sepuh dan Gunung Tambakruyung. Karena medan yang curam dan selalu diselimuti kabut tebal, pesawat-pesawat pengintai dan pesawat-pesawat pembom Belanda kesulitan menghajar posisi Pasukan Siluman Merah dari udara.
Divisi 7 Desember lantas menugaskan Batalyon III Resimen Infanteri ke-8 (3-8-RI) untuk terus memburu Pasukan Siluman Merah. Begitu anak buah Kapten Achmad Winatakusumah hengkang dari Gunung Sadu, dengan menggunakan kekuatan udara, infanteri dan artileri, mereka langsung menguasai Ciwidey dan Pangalengan.
Ciwidey kemudia dijadikan pangkalan untuk menghajar kekuatan Pasukan Siluman Merah yang berbasis di Barutunggul. Nyaris tiap seminggu tiga kali, Barutunggul dihujani peluru-peluru artileri dan bom-bom yang dilemparkan dari pesawat udara.
“Menghadapi tembakan artileri dari Ciwidey itu, kami hanya bisa berlindung di gua-gua yang ada sekitar markas kami,” kenang Uweb.
Sesekali pasukan infanteri dan kavaleri militer Belanda melakukan penyerbuan kilat (raid) ke Barutunggul. Kendati diperkuat panser dan tank baja, pertahanan Barutunggul tak jua bisa ditembus. Barulah setelah kekuatan militer Belanda menambah satu batalyon prajurit dari Resimen Princess Irene dan Resimen Stoottroepen serta 4 pesawat jenis Mustang, Barutunggul bisa dikuasai pada 24 Juli 1947.
Baca juga:
Kemenangan militer Belanda ternyata hanya bertahan sepuluh hari saja. Pada 3 Agustus 1947, Pasukan Siluman Merah kembali berhasil mengambilalih Barutunggul lewat suatu pertempuran yang sangat hebat. Serangan balasan itu cepat dilakukan karena para perwira Pasukan Siluman Merah memperhitungkan jika militer Belanda dibiarkan terlalu lama menguasai Barutunggul itu tidak akan bagus buat kemajuan gerak TNI di wilayah Ciwidey.
“Mereka pasti akan terus memperkuat pertahanannya,” ungkap Uweb.
Diusir dari Barutunggul, tentunya tak bisa diterima begitu saja oleh pihak militer Belanda di Ciwidey. Pada 23 Agustus 1947, satu kompi prajurit Belanda dari 3-8-RI lengkap dengan brencarrier, panser, kendaraan lapis baja dan pesawat pengintai bergerak untuk menghajar lagi Barutunggul.
Prajurit Hettema masih ingat bagaimana di keheningan pagi yang dingin mereka bergerak dari Ciwidey menuju Barutunggul. Hettema menyatakan saat itu dirinya merasa gamang karena malam harinya dia merasakan firasat buruk memenuhi pikirannya.
“Tapi saat itu saya berharap kami bisa melewati semuanya…” ungkap prajurit 3-8-RI seperti dikutip Thijs Brocades Zaalberg dalam “In the Oost, 1946-1950” yang termaktub di buku 200 Jaar Koninklijke Landmacht, 1814-2014 (disunting oleh Ben Schoenmaker).
Hettema wajar merasa agak takut. Selama mereka berpangkalan di Ciwidey, wilayah Barutunggul dikenal oleh anggota 3-8-RI sebagai “neraka”. Kendati jaraknya dengan kota hanya sekitar 6 kilometer, namun keberadaan gerilyawan republik di wilayah itu sangatlah terasa dan menimbulkan rasa waswas prajurit-prajurit Belanda.
Benar saja. Begitu iring-iringan konvoi 3-8-RI mencapai tikungan Barutunggul, mereka langsung dihujani tembakan gencar dari arah hutan-hutan yang berada di atas posisi mereka. Kendati sudah diperhitungkan, namun tak ayal situasi itu menimbulkan kepanikan yang luar biasa.
“Sekali saja kami memperlihatkan rambut sedikit di atas pertahanan stelling, bisa-bisa botak habis rambut kami ditembakin mereka,” kenang Hettema.
Baca juga:
Sekitar 450 peluru artileri dan peluru-peluru 12,7 dari sebuah pesawat P-51 Mustang lantas ditembakan ke arah bukit. Namun demikian, itu tidak lantas membuat Pasukan Siluman Merah menghentikan hantaman mereka kepada prajurit-prajurit 3-8-RI. Alih-alih berhenti, tembakan dari arah bukit malah semakin menggila dan salah satunya berhasil menjatuhkan pesawat Mustang.
Tak ada jalan lain bagi 3-8-RI kecuali mundur kembali ke arah Ciwidey. Dalam situasi kacau, prajurit-prajurit yang mundur itu kembali menjadi sasaran empuk peluru-peluru yang bersiliweran dari arah bukit dan membuat beberapa serdadu jatuh ke jurang.
Pertempuran di Barutunggul baru berakhir ketika senja datang. Tanpa menyebut jumlah korban luka-luka, sejarawan militer Belanda Thijs Brocades Zaalberg menyebut bahwa 5 serdadu 3-8-RI telah kehilangan nyawanya dalam pertempuran tersebut.
“Seorang dari pihak militer Belanda berhasil ditawan…” ungkap Zaalberg.
Uweb sendiri menyatakan bahwa jumlah prajurit Belanda yang tewas lebih dari 5 orang. Ketika pertempuran usai, prajurit-prajurit Siluman Merah turun ke bawah dan menemukan mayat-mayat serdadu Belanda bergelimpangan di jalanan.
“Saya ingat kami berjalan di atas genangan darah yang sangat banyak. Sepatu kami terasa sangat lengket jadinya…” kenang lelaki kelahiran Ciwidey itu.
Untuk serdadu Belanda yang berhasil ditawan, jumlahnya sesuai dengan versi pihak militer Belanda yakni satu orang. Menurut Uweb, tentara Belanda yang ditawan itu tiada lain adalah pilot Mustang yang berhasil ditembak jatuh Pasukan Siluman Merah.
“Saya ingat namanya Mierwijk. Waktu kami temukan, bagian pipinya luka-luka mungkin terkena peluru atau serpihan kaca pesawat…”ungkap Uweb.
Baca juga:
Operasi Pembebasan 7 Marinir Belanda
Mierwijk kemudian menjadi tawanan Pasukan Siluman Merah. Menurut Uweb, dia diperlakukan sangat baik dan mendapat perhatian langsung dari Kapten Achmad Wiranatakusumah.
Ironisnya hal yang sama tidak dilakukan oleh pihak 3-8-RI. Menurut Hettema, begitu sampai di Ciwidey, prajurit-prajurit 3-8-RI yang tengah frustasi tersebut justru mengeksekusi 4 tahanan TNI sebagai balasan atas kekalahan mereka di Barutunggul.
“Itu bukan pembunuhan, tapi keadilan yang akan membuat kita tidur nyenyak” ungkap Hettema mengutip kata-kata kawannya yang langsung menjadi algojo dalam kasus penembakan tawanan itu.
Pertempuran Barutunggul diklaim oleh TNI sebagai salah satu keberhasilan yang gemilang. Dalam buku karya A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda I disebutkan sekitar satu peleton (sekitar 50 orang) serdadu Belanda berhasil dibinasakan dalam pertempuran itu.
“Komandan Batalyon (Siluman Merah) melaporkan (kepada Nasution) bahwa mereka hanya menyisakan 3 orang yang selamat dan (akibat banyaknya jatuh korban) komandan mereka yang bernama Letnan Pluiman “menjadi gila”,” ungkap Nasution.
Sejak kekalahan itu, Barutunggul kerap dihujani peluru-peluru artileri dari Ciwidey. Tentara Belanda sendiri tak pernah lagi memiliki nyali untuk melakukan penyerangan ke tikungan maut tersebut.
“Posisi itu tak bisa mereka rubah hingga saat datang perintah cease fire (gencatan senjata)…” ungkap Panglima Divisi Siliwangi pertama itu.
Baca juga: