Kado Berdarah Buat Siluman Merah
Bagaimana suatu batalyon tentara Republik menghadapi kekuatan militer Belanda di selatan Bandung.
SEKIRA awal 1947, tersebutlah sebuah warung kecil di Soreang (sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Bandung). Letaknya yang dekat jembatan Citarum menjadikan warung tersebut kerap dikunjungi para serdadu Belanda yang melintas di sana. Mereka bukan saja menjadikan warung yang dikelola sepasang suami isteri yang sudah uzur itu sebagai tempat makan, tetapi juga tempat yang sangat enak untuk bercengkrama dan melepas lelah sehabis melakukan patroli ke pelosok.
Tanpa dinyana oleh para serdadu itu, Kapten Achmad Wiranatakusumah (Komandan Batalyon 26 Divisi Siliwangi) kerap menyambangi juga warung itu. Tujuannya mematai-matai secara langsung gerik-gerik musuh. Tentu saja kehadiran Achmad di sana dalam samaran. Dia berperan sebagai asisten pemilik warung tersebut.
Berbulan-bulan lamanya, Achmad berlaku sebagai telik sandi. Hingga sampailah suatu hari dia meminta kakek dan nenek itu untuk menyingkir selamanya dari warung itu. Setelah membayar harga warung beserta seisinya dengan harga yang mahal, Achmad kemudian meminta beberapa anak buahnya untuk memindahkan sepasang orang tua itu ke tempat yang lebih aman.
“Pak Achmad kemudian secara total menggantikan kedua orang tua itu dalam melayani semua pembeli termasuk melayani serdadu Belanda langganan warung tersebut,” ungkap Uweb (98 tahun), eks anggota Batalyon 26 (selanjutnya disebut Yon 26).
Suatu senja datanglah puluhan serdadu Belanda yang baru pulang berpatroli. Seperti biasa usai makan dan minum, mereka lalu bercengkrama di warung itu. Situasi sangat santai ketika Achmad berdehem keras. Begitu deheman yang ketiga habis, tetiba rentetan senjata dari berbagai jenis menyalak dari atas para-para. Para serdadu yang sedang lengah itu tentu saja tak bisa berbuat apa-apa kecuali terpaksa menerima siraman peluru.
Beberapa menit kemudian, situasi menjadi sepi. Darah membanjiri setiap sudut yang dipenuhi tubuh-tubuh yang sudah tak bernyawa. Beberapa anggota Yon 26, berloncatan dari atas para-para. Mereka lantas mengamankan senjata-senjata milik para para serdadu itu untuk kemudian menghilang di balik lembah-lembah dan hutan-hutan di sekitar Kali Citarum.
“Usai kejadian itu pimpinan tentara Belanda di Bandung sangat marah dan memerintahkan untuk membuat operasi khusus penghancurkan “pasukan siluman” yang telah menghabisi anak buahnya,” ujar Rochidin (103 tahun), eks anggota Yon 26 yang lain.
Diincar Militer Belanda
Sejak kejadian di Soreang, pamor “pasukan siluman” semakin mencorong. Seiring dengan itu, kebencian militer Belanda menjadikan mereka terus mengincar kedudukan Yon 26 dan menghantamnya terus dengan berbagai serangan. Puncaknya terjadi pada 21 Juli 1947. Akibat serangan besar itu, Yon 26 terpaksa mundur ke Gunung Sadu. Yang berada di pinggiran Soreang.
“Dipilihnya Gunung Sadu karena di situ Yon 26 bisa memanfaatkan gua-gua pertahanan yang dulu pernah dibikin serdadu Jepang,” ujar Letnan Sastrawirya (salah satu perwira di Yon 26) seperti dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid V: Agresi Militer Belanda I.
Untuk lebih menggandakan semangat dan memunculkan kebanggan korps, di Gunung Sadu, Kapten Achmad lantas memberi nama baru untuk Yon 26. Uniknya nama baru itu diambil dari julukan kebencian militer Belanda terhadap pasukan mereka, yakni Siluman Merah.
Baca juga: Seorang Menak di Garis Depan
Singkat cerita, Siluman Merah tetap melakukan perlawanan. Bahkan dari Gunung Sadu, kini justru giliran Siluman Merah yang kerap melakukan serangan ke posisi militer Belanda di Soreang. Terlebih secara militer, posisi Siluman Merah ke Soreang lebih strategis karena tepat berada di atas pertahanan tentara Belanda dan jaraknya hanya sekitar 0,5 km saja.
“Secara jelas, bendera merah putih yang kami pancangkan di puncak Gunung Sadu bisa terlihat dari arah mana pun seolah menantang tentara Belanda,” ujar Achmad Wiranatakusumah seperti dikutip oleh Aam Taram, R.H. Sastranegara, dan Iip D. Yahya dalam Letjen TNI (Purn.) Achmad Wiranatakusumah, Komandan Siluman Merah.
Wajar jika kemudian militer Belanda kalap dan balas menghujani Gunung Sadu dengan serangan artileri, siraman peluru senapan mesin 12,7 mm dan bom yang dilemparkan dari pesawat udara. Mereka seolah ingin memberikan kado berdarah buat Siluman Merah atas aksi-aksi maut batalyon itu di Soreang.
“Memang banyak anggota pasukan kami yang menjadi korban,” kenang Uweb.
Pindah Markas
Kendati dibombardir dari berbagai arah, awalnya Kapten Achmad tetap memilih bertahan di Gunung Sadu. Namun keputusan itu ternyata dianggap konyol oleh Kolonel A.H. Nasution. Panglima Divisi Siliwangi itu lantas memerintahkan Achmad untuk pindah markas ke kawasan Barutunggul di Ciwidey. Sebuah perintah yang kemudian sangat disesali oleh Achmad.
“Dengan ditinggalkannya Gunung Sadu, terbukti kemudian tentara Belanda dari Pangalengan bisa menguasai Ciwidey melalui Perkebunan Gambung,” ujar Achmad.
Namun perintah dari Nasution merupakan komando. Mau tidak mau, Siluman Merah harus tetap bergerak ke Barutunggul. Di lihat dari segi militer, sejatinya Barutunggul merupakan wilayah strategis. Posisinya berupa lembah dengan hutan lebat diapit oleh dua gunung: Sepuh dan Tambakruyung.
Baca juga: Dilema Nasution
“Tidak rugilah kalau Siluman Merah bermarkas di sana,” ujar Rochidin.
Memang dalam kenyataannya, militer Belanda seolah tak bisa menembus Barutunggul. Walaupun sudah mengirim panser, tank dan pesawat pembom, pasukan Belanda tetap tidak bisa mengusir lagi Siluman Merah dari Barutunggul. Sebelum mereka melewati jalan-jalan yang diapit tebing curam dan jurang-jurang yang sangat dalam, mereka dipastikan hancur duluan karena serangan-serangan yang dilakukan dari atas tebing.
“Posisi ini tak dapat lagi mereka rubah sampai saat perintah cease fire,” ungkap A.H. Nasution.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar