Masuk Daftar
My Getplus

Saat Tentara Kanada Dibantai Nazi

Alasan ideologis berbalut praktis mendorong militer Jerman-Nazi membantai tawanan mereka asal Kanada.

Oleh: M.F. Mukthi | 13 Jun 2021
Biara Ardennes di Normandia, Prancis yang dijadikan markas Resimen Panzer Grenadier ke-25 pimpinan Kurt Meyer, merupakan salah satu tempat pembantaian tawanan militer Kanada setelah D-Day. (Foto: Burtonpe/Wikipedia)

Usai memimpin upacara pemakaman serdadu-serdadu Kanada yang tewas dalam baku-tembak usai pendaratan di Normandia, Prancis pada 6 Juni 1944 sore, Kapten (kehormatan) Pendeta Walter Leslie Brown dari Resimen Lapis Baja ke-27 “Sherbrooke Fusiliers” AD Kanada meminta disediakan sebuah jip. Dia hendak mengantarkan obat-obatan dan membantu penyembuhan seorang perwira di rumahsakit lapangan militer Kanada di Les Buissons. Dia kemudian berangkat dengan didampingi Letnan W.F Grainger dan disopiri Kopral Lance J.H Greenwood.  

“Walter adalah pendeta Kanada pertama yang menginjakkan kaki di pantai di Pantai Juno pada D-Day pada 6 Juni1944 dengan hanya membawa koper. Adalah impian Walter untuk melayani dan melakukan upacara perjamuan kepada tentara Kanada yang membutuhkan penghiburan religius. Setelah dia menghabiskan 3 tahun di Inggris untuk melayani orang-orang, Walter bertanya kepada atasannya apakah dia bisa berpartisipasi dalam aksi yang akan terjadi di Normandia. Permintaannya dikabulkan dan Walter, yang akan selamat dari hari pertama kampanye Normandia, mendarat bersama anak buahnya dalam gelombang pertama aksi pada dini hari tanggal 6 Juni 1944,” kata artikel yang dibuat untuk menghormati Walter, dimuat di www.junobeach.org.

Namun, Walter tak pernah bisa melaksanakan tugas itu lantaran rombongan kecilnya tersesat. Hingga lewat pukul 11 malam, tempat tujuan mereka belum berhasil ditemukan. Usut punya usut, ternyata tikungan ke arah Les Buissons yang mestinya mereka lalui justru terlewat. Akibatnya mereka mencapai daerah ke arah Cussy. Maka begitu mereka sadar telah salah jalan, Greenwood segera menghentikan jip di dekat Desa Galmanche. Walter dan Grainger langsung berupaya mengingat-ingat posisi mereka sesungguhnya.

Advertising
Advertising

Saat sedang berupaya mengingat posisi itulah mereka mendengar teriakan-perintah dari seorang serdadu Jerman-Nazi yang tengah berpatroli. Rombongan kecil tentara Kanada itu ternyata tersesat ke daerah yang dikuasai Resimen Panzer Grenadier SS ke-25 dari Divsi SS ke-12 “Hitlerjugend”.

Resimen tersebut merupakan salah satu unit yang diperintahkan untuk menjaga wilayah Caen dan sekitarnya. Perintah itu datang langsung dari Hitler.

“Caen harus dipertahankan sampai babak terakhir,” kata Hitler sebagaimana dikutip komandan Resimen Panzer Grenadier ke-25 Standartenfuhrer Kurt Meyer dalam memoarnya, Grenadiers: The Story of Waffen SS General Kurt Panzer Meyer.

Caen menjadi salah satu titik penting yang dipertahankan Jerman untuk menahan laju sekaligus memukul mundur kembali pasukan Sekutu setelah mendarat di Normandia (D-Day). Pasalnya, di kota-pantai kuno Prancis itu terdapat bandara.   

Pentingnya Caen itu pula yang menjadikan Sekutu, terutama pasukan Inggris dan Kanada yang mendarat tepat di utara kota itu, menargetkan merebut Caen untuk dijadikan titik pijak kemajuan mereka berikutnya. Militer Inggris dan Kanada menargetkan Caen harus segera direbut tak lama setelah hari pendaratan (6 Juni). Untuk itu, Jenderal Inggris Bernard Montgomery sampai membuat empat operasi demi bisa merebut Caen: Operasi Perch (7 Juni), Operasi Epsom (26 Juni), Operasi Windsor (4 Juli), dan Operasi Charnwood (8 Juli).

Baca juga: Di Balik D-Day, Gebrakan Menentukan di Normandia

“Hanya ada aktivitas kecil di sektor divisi, tetapi pengintaian medan taktis Kanada sangat terlihat. Patroli pengintai terus-menerus memeriksa Carpiquet dan tepi barat lapangan terbang. Ada kesan di dalam divisi (Jerman, red.) bahwa Kanada merencanakan serangan terhadap Carpiquet untuk membuka bagian depan utara Caen,” sambung Meyer, yang segera menyiapkan pasukannya guna menyambut kedatangan pasukan Sekutu.

Maka setelah mencapai pantai Juno dan mengalahkan pasukan Jerman yang mempertahankan pantai, militer Inggris dan Kanada segera menuju Caen dari tiga sisi. Sisi kiri ditempati Brigade ke-9 Divisi Infanteri ke-3 Kanada dengan Resimen North Nova Scotia Highlanders (NNSH) yang didukung Resimen “Sherbrooke Fusiliers” di dalamnya. Mereka akan dilindungi Brigade Infantri ke-185 Inggris di sisi paling kiri, yang maju dari pantai Sword. Namun hal itu gagal karena pasukan Inggris macet. Akibatnya, ketika pertempuran pecah di Authie, utara Bandara Carpiquet, hanya Highlanders dan Sherbrooke yang, sisi kirinya kosong, menghadapi pasukan Jerman-Nazi dengan personel yang telah bertekad mati ketimbang ditawan. Pertempuran hebat pun pecah hingga sore keesokan harinya (7 Juni).

“Tentara yang tewas, sekarat, dan terluka, baik dari Kanada maupun Jerman, tergeletak di medan tempur yang penuh dengan lubang. Menghiasi lanskap adalah banyak tank rusak, lambungnya yang hangus masih menyemburkan awan asap hitam tebal. Cordite (bahan peledak tak berasap) dan bensin yang terbakar membuat udara berbau tajam, membuat sulit untuk bernapas,” tulis Howard Margolian dalam Conduct Unbecoming: The Story of Canadian Prisoners of War in Normandy.

Bukan hanya pasukannya dipukul mundur ke garis start, personel Highlanders dan Sherbrooke banyak yang ditawan dalam pertempuran itu. Mereka umumnya kemudian dibawa ke Biara Ardenne (Abbaye d’Ardenne), sebuah biara Abad Pertengahan yang –terletak 10 kilometer barat Caen– dijadikan markas oleh komandan Resimen ke-25 Standartenfuhrer Kurt Meyer. Para personel yang tewas langsung dikebumikan oleh rekan-rekan mereka. Kapten-Pendeta Walter menjadi salah satu pemimpin upacara pemakaman itu.

Walter sendiri, setelah bersama dua rekannya tertangkap basah serdadu Divisi Hitlerjugend saat hendak mengirim obat-obatan ke Les Buissons, langsung turun dari jip. Hampir berbarengan dengan selesainya mereka turun dari jip, beberapa serdadu Jerman itu langsung melepaskan tembakan. Akibatnya, Kopral Greenwood tewas seketika sementara Letnan Grainger luka cukup parah. Hanya Walter yang tak terkena peluru. Namun, dia segera berjalan menuju serdadu-serdadu lawannya sambil mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah. Itu disaksikan Grainger sebelum pingsan. Ketika Grainger siuman, dia mendapati keadaan di sekitarnya telah sepi tak ada satu orang pun. Dengan tenaga yang tersisa, Grainger kembali ke jipnya dan akhirnya berhasil mencapai kembali markas resimennya.

Baca juga: Heydrich, Jagal Nazi Berhati Besi

Nasib Walter baru diketahui pada 11 Juli 1944 oleh personel-personel unit lapis baja Inggris. Walter ditemukan tak bernyawa di selokan di pinggir jalan yang tak jauh dari tempatnya terpergok patroli Jerman. Dirinya diidentifikasi dari kopor berikut isinya yang dia bawa sebagai perlengkapan tugas.

“Dari bukti forensik, yang menunjukkan bahwa dia dibunuh oleh satu bayonet yang menusuk jantung, itu tampak bahwa pendeta telah meninggal dengan cara berikut. Tidak bersenjata, kerah klerusnya terlihat jelas, pendeta berjalan ke pasukan SS. Mungkin ada antara 10 dan 20 dari mereka. Seseorang kemudian akan melihat kertas-kertasnya, sementara yang lain menggeledahnya. Puas karena Brown tidak membawa senjata, sebuah detasemen kecil akan diberi tugas untuk membawanya kembali ke markas batalion. Beberapa ratus meter di jalan, pria yang bertanggung jawab atas pengawalan, mungkin seorang NCO SS, telah berubah pikiran. Alih-alih melanjutkan ke belakang, dia mengarahkan rombongan ke lapangan yang berbatasan dengan jalan. Pada titik inilah dia akan memerintahkan salah satu tentara untuk membunuh Pendeta Brown. Mungkin remaja yang ditunjuk untuk melakukan tugas menjijikkan ini enggan melakukannya. Mungkin dia malah protes. Tapi perintah adalah perintah, terutama di SS. Pada titik tertentu, polisi militer itu akan mengambil senapannya, seperti yang telah dia lakukan berkali-kali dalam pelatihan, dan menusukkan bayonetnya ke dada pendeta pemberani itu,” sambung Margolian.

Ditusuk bayonet pula yang membuat Prajurit Lorne Brown dari Peleteon ke-7 Kompi A Resimen NNSH menemui ajalnya pada hari yang sama. Setelah posisi kesatuannya diserbu, pria 22 tahun asal Springhill, Nova Scotia yang tangan kirinya remuk itu segera keluar dari parit persembunyiannya dan menyerah. Namun saat Brown berjuang untuk berdiri, seorang serdadu Hitlerjugend mengambil senjatanya sambil berteriak yang tak dimengerti Brown. Dalam kebingungannya, Brown malah ditusuk bayonet sehingga dia kembali terjatuh. Dalam keadaan tak berdaya itu Brown diinjak lehernya. Nyawanya kemudian melayang ketika serdadu remaja Jerman itu menusukkan bayonetnya ke dada dan perut Brown sebanyak delapan kali.

Baca juga: Pembantaian Nazi di Kedros, Yunani

Kedua personel militer Kanada itu hanyalah bagian dari lebih 150 prajurit Kanada yang tewas setelah ditawan dalam hari-hari pertama usai pendaratan Normandia (D-Day).

“Selama periode 144 jam, 7-12 Juni 1944, bertentangan dengan aturan dan norma perang yang ada, personel Hitlerjugend membunuh setidaknya 155 tawanan Sekutu yang tidak bersenjata dalam 35 insiden terpisah. Kekejaman ini terbagi dalam dua bentuk berbeda –pembunuhan tawanan oleh pasukan garis depan baik selama atau segera setelah pertempuran panas, dan pembunuhan selanjutnya terhadap tawanan yang ditahan di markas di belakang garis depan, dilakukan atas perintah perwira Hitlerjugend. Beberapa dari 62 kematian ini sesuai dengan tipologi ‘panasnya pertempuran’, sedangkan 93 sisanya termasuk dalam kategori kekejaman yang dipicu oleh petugas,” tulis Stephen Hart, dosen senior di War Studies Department, Royal Military Academy Sandhurst, dalam “Indoctrinated Nazi Teenaged Warriors: The Fanaticism of the 12 SS Panzer Division Hitlerjugend in Normandy, 1944”, termuat di Fanaticism and Conflict in the Modern Age.

Para tawanan Kanada itu umumnya tewas ditembak, ditusuk, atau dipukul gagang senapan. Mereka tidak dikuburkan setelah tewas. Banyak di antaranya sengaja digeletakkan di jalan agar terlindas kendaraan, bahkan ada yang sengaja dilindas tank-tank Jerman hingga remuk. Para personel militer Kanada itu tewas bukan sebagai korban pertempuran, melainkan korban kejahatan perang. Inilah yang kemudian menyerat Kurt Meyer dan beberapa personil Jerman-Nazi lain ke pengadilan kejahatan perang.

“Alasan kejahatan Divisi Panzer SS ke-12 bermacam-macam. Indoktrinasi politik tentu memainkan peran, karena divisi ini dapat dianggap sebagai prototipe divisi Nazi, dengan kader Nazi garis keras dan orang-orang yang sangat muda dan sering difanatiskan. Dengan pengecualian Mohnke, sebagian besar perwira dan bintara sebelumnya bertempur di Front Timur dan membunuh tawanan perang bukanlah hal baru bagi mereka.  Pembunuhan di luar proses hukum bukanlah sesuatu yang istimewa bagi sejumlah perwira dan NCO Hitlerjugend. Situasi militer awal di Normandia mungkin akhirnya memicu kejahatan terhadap tawanan Sekutu. Misi Divisi Panzer SS ke-12 adalah melemparkan kembali ke laut pasukan Sekutu yang mendarat sesegera mungkin. Dalam memenuhi misi ini, pemrosesan narapidana dianggap membuang-buang waktu,” tulis Peter Lieb dalam “Ardenne Abbey Massacre”, termuat dalam Atrocities, Massacres, and War Crimes: An Encyclopedia.

TAG

perang dunia jerman-nazi

ARTIKEL TERKAIT

Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel Kemelut Bismarck di Atlantik Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman Ujung Hayat Kaisar Terakhir Jerman di Pengasingan Barisan Pangeran di Pasukan Perang Hitler Marsekal Jenius itu Bernama Erich von Manstein Lonceng Kematian Kapal Kebanggaan Jerman Persaingan Inggris-Amerika di Tepian Rhine