HARI sudah beranjak petang saat pesawat Dakota yang membawa Perdana Menteri (PM) Inggris Winston Churchill mendarat di pangkalan udara Venlo, Belanda, 23 Maret 1945. Dengan ditemani sekretaris pribadinya, Sir John ‘Jock’ Colville, dan penasihat Angkatan Laut Letnan C.R. ‘Tommy’ Thompson, Churchill langsung diantar unit pengawalan Grup Angkatan Darat (AD) Inggris ke-21 menuju markas Marsekal Bernard Montgomery di Straelen, Jerman Utara.
“Saya berkehendak mendampingi pasukan dalam penyeberangan (Sungai Rhine) dan Montgomery menyambut saya. Saya hanya membawa sekretaris Jock Colville dan Tommy. Saya terbang saat petang dari Norholt ke Venlo,” kenang Churchill dikutip sejarawan militer Inggris, Kapten (Purn.) Patrick Delaforce dalam Onslaught on Hitler’s Rhine.
Churchill bersikeras untuk memantau langsung menjelang operasi besar-besaran Inggris mendesak Jerman ke tapal batasnya sendiri. Larangan dari banyak perwiranya, termasuk Montgomery sendiri, tak dia hiraukan.
“Saya tak menginginkannya (datang) tetapi dia ngotot. Jadi saya mengundangnya (ke markas) demi menjaga situasi kondusif,” tulis Montgomery dalam suratnya kepada kepala staf umum militer Inggris Marsekal Sir Alan Brooke.
Kedatangan Churchill tak sekadar ingin bercengkerama dengan Montgomery sembari menyeruput teh. Pasalnya sebelum fajar menyingsing pada pagi buta, 24 Maret 1945, Churchill nekat untuk tetap ikut ke pos pengamatan Ginberich dekat tepi barat Rhine kala Operasi Plunder dimulai. Churchill puas. Tak sia-sia ia jauh-jauh datang dari London menyaksikan para serdadu Inggris yang disokong pasukan Amerika Serikat dan Kanada menyeberang dan merangsek ke Kota Wesel yang berjalan lima kilometer dari tepi timur Rhine tanpa kesulitan berarti.
“Saya sedang di markas Marsekal Montgomery. Dia baru saja memberikan perintah meluncurkan pertempuran besar ke Rhine untuk mengepung Wesel dibantu pendaratan korps lintas udara (linud) dan dukungan 2.000 meriam. Saya akan memberikan kabar lagi besok. Marsekal Montgomery meminta saya menyampaikan rasa hormatnya kepada Anda,” tulis Churchill dalam kawatnya kepada pemimpin Uni Soviet Josef Stalin, dinukil sejarawan Oxford, Sir Martin Gilbert dalam Winston S. Churchill: Road to Victory. 1941-1945.
Baca juga: Operasi Culverin, Gagasan Churchill Menginvasi Sumatera
Operasi Kolosal
Operasi Plunder adalah operasi terbesar kedua yang digelar militer Inggris sejak Operasi Overlord atau D-Day di Normandia pada Juni 1944. Churchill ngotot datang langsung ke lokasi untuk pamer kepada dua kolega persekutuannya, Stalin dan Presiden Amerika Franklin Delano Roosevelt.
Operasi besar itu dirancang sejak awal Maret di bawah pimpinan Panglima Tertinggi Pasukan Ekspedisi Sekutu Jenderal Dwight Eisenhower, bersamaan dengan ofensif di Saar-Palatinate guna mengepung kawasan industri Ruhr. Operasinya dipercayakan kepada Marsekal Montgomery yang bermodal pasukan Grup AD ke-21 Inggris, AD ke-9 Amerika, dan AD ke-1 Kanada.
“Pada 9 Maret Marsekal Montgomery mengeluarkan perintah ‘Pertempuran Rhine’ dan AD ke-9 dengan instruksi untuk menyeberangi Rhine di utara Ruhr dan mengamankan pijakan pendaratan guna memperluas operasi, mengisolasi Ruhr dan berpenetrasi lebih dalam ke wilayah Jerman. Rencananya pasukan dibagi dua antara (kota) Rheinberg dan Rees dengan AD ke-9 di sayap kanan dan AD ke-2 Inggris di sisi kiri dengan misi utama merebut Wesel,” tulis sejarawan militer Theodore W. Parker Jr. dan William J. Thompson dalam Conquer: The Story of Ninth Army, 1944-1945.
Baca juga: Di Balik D-Day, Gebrakan Menentukan di Normandia
Untuk mengatasi kendala penyeberangan, lebih dulu dilakukan pemetaan kondisi geografis dan ketinggian air di sekitar tepian Sungai Rhine dekat Wesel dan Orsoy. Hasil pemetaan dijadikan bekal perencanaan membangun jembatan ponton (terapung) pada 11 Maret yang pengerjaannya dipercayakan kepada Batalyon Zeni ke-17, Divisi Lapis Baja ke-2 Amerika.
Jalan yang bisa dilalui konvoi ranpur sepanjang 351 meter dan jembatan ponton sepanjang 457 meter akhirnya rampung dibuat oleh Kompi E dan C Yon Zeni ke-17 pada 23 Maret pukul 9.45 malam. Operasi Plunder pun dimulai sekira enam jam kemudian.
Operasi Plunder merupakan desain kolosal dengan disokong Operasi Varsity dan Operasi Archway. Montgomery mempercayakan pelaksanaan Operasi Varsity pada bawahannya, Mayjen Eric Bols, yang dibantu jenderal Amerika Matthew Ridgway. Sebanyak 16 ribu pasukan gabungan Divisi Linud ke-6 Inggris dan Divisi Linud ke-17 Amerika diterjunkan dari 72 pesawat angkut ke Desa Hamminkeln dekat Wesel.
Baca juga: Rekayasa Hoax Mengelabui Hitler
Adapun Operasi Archway komandonya berada di pundak Letkol Brian Franks. Ia memimpin 300 serdadu komando Inggris SAS (Special Air Service). Misinya merangsek, mensabotase, dan mengamankan lokasi-lokasi penting di Rees.
Sekutu mengerahkan 1,2 juta personil, puluhan ribu tank, dan lebih dari lima ribu pucuk meriam berbagai jenis dalam keseluruhan Operasi Plunder. Kekuatan besar itu membuat pihak Jerman yang sudah kepayahan terpaksa menghadapinya dengan sekuat tenaga.
“Kekuatan Jerman di front Barat sudah tercerai-berai sejak awal Februari. (Sebanyak) 293 ribu serdadunya tertawan, 60 ribu tewas atau terluka. Keras kepalanya Hitler yang menolak menyerahkan wilayah barat Rhine ketimbang mundur untuk bisa memberi perlawanan berarti di tepi timur sebagaimana dinasihatkan (Panglima Tertinggi Komando Barat, Gerd) Von Rundstedt, berkontribusi secara signifikan terhadap pesatnya kesuksesan Sekutu,” ungkap sejarawan Inggris Ian Kershaw dalam Hitler: 1936-1945 Nemesis.
Baca juga: Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi
Kekuatan Jerman, utamanya di Wesel, hanya berasal dari 1. Fallschirm-Armee atau Tentara Angkatan Udara ke-1 pimpinan General der Fallschirmtruppe Alfred Schlemm. Mereka adalah sisaan dari Grup H Angkatan Darat Jerman dengan kekuatan 69 ribu personil dan tak lebih dari 45 tank.
Menteri Propaganda Jerman Joseph Goebbels pasrah melihat perbandingan kekuatan dua pihak itu. Dalam catatan hariannya tanggal 24 Maret 1945, ia menuliskan: “Situasi di (front) Barat memasuki fase yang luar biasa kritis dan bisa saja mematikan.”
Baca juga: Aliansi Amerika-Jerman di Pertempuran Kastil Itter
Pasukan sisa Jerman itulah yang tertimpa apes lantaran Operasi Plunder juga melancarkan pemboman dari darat dan udara terhadap kota Wesel. Selain dari 1.200 pesawat, pada 24 Maret pukul 1 dini hari atau tiga jam sebelum pasukan darat menyeberang, 40 ribu awak meriam AD ke-9 Amerika menjalankan “teror” psikis.
“Selama 60 menit 2.070 meriam menembakkan seribu peluru per menit menghadirkan serangan menakutkan kepada kubu-kubu pertahanan (Jerman) dan fasilitas-fasilitas komunikasi. Selama empat jam, termasuk setelah penyeberangan (pasukan), tercatat 131.450 peluru berbobot 4.000 ton dimuntahkan,” imbuh Parker Jr. dan Thompson.
Teror itu efektif. Wesel luluh lantak. Disebutkan dalam sebuah laporan usai penangkapan ratusan tawanan Jerman usai enam jam operasi: “Banyak para tawanan masih ketakutan setelah melihat ‘neraka’.”
Pasukan Jerman kian terdesak, terutama setelah pasukan darat Sekutu yang menyeberang sudah berhasil menyatukan kekuatan dengan pasukan linud yang menggelar Operasi Varsity pada pukul 10 pagi. Malamnya, kota Wesel berhasil direbut. Hingga momen terakhir operasi pada 27 Maret, pasukan Montgomery sudah masuk lebih dalam ke wilayah Jerman dengan perimeter sejauh 32 kilometer.
Jenderal Patton Mencuri Start
Churchill dan Montgomery tentu bangga. Operasi Plunder sukses besar karena tak berakhir bencana laiknya Operasi Market Garden (September 1944). Monty (sapaan Montgomery) hanya rugi 6.781 personil tewas dan terluka. Sementara 16 ribu serdadu Jerman tertawan dan puluhan ribu lainnya tewas.
Namun, Monty harus mengaku “kalah” dari koleganya, Panglima AD ke-3 Amerika Jenderal George Patton, dalam adu gengsi. Maklum, sejak kampanye Sekutu di Afrika Utara (1942-1943) dan Sisilia (Juli-Agustus 1943), rivalitas Monty dan Patton mulai menyeruak. Itu sampai harus diredam Eisenhower dengan pembagian sejumlah tugas ofensif.
Kebetulan sebelum Monty menggelar Operasi Plunder, Patton sudah “mencuri start” kala pasukan AD ke-1 dan AD ke-3 AS terlibat dalam Pertempuran Remagen (7-25 Maret 1945) di selatan Ruhr atau wilayah hulu Sungai Rhine. Di hari pertama pertempuran itu pasukan Divisi Lapis Baja ke-9, AD ke-1 Amerika bahkan sudah mampu mengamankan infrastruktur vital di atas Sungai Rhine, Jembatan Ludendorff.
Baca juga: Anzio, Palagan Sengit Merebut Roma
Meski begitu, pasukan Amerika belum bisa langsung menyeberanginya karena mendapat perlawanan dari sisa pasukan Lapis Baja AD ke-5 Jerman dan barisan milisi rakyat Volksstrum. Sebagaimana dikisahkan George Forty dalam Patton’s Third Army at War, jembatan itu baru dikuasai seluruhnya pada 17 Maret namun kondisinya sudah rusak berat dan nyaris kolaps.
Kondisi tersebut membuat Patton memerintahkan 200 personil gabungan Batalyon Zeni Tempur ke-276 dan Grup Zeni Konstruksi ke-1058 membangun jembatan ponton di Nierstein siang-malam. Pada 22 Maret 1945 malam, Patton bisa tepuk dada karena pasukan AD ke-3 melenggang menyeberangi Sungai Rhine lebih dulu dari Monty.
“Pagi harinya (23 Maret) laporan tiba saat Jenderal Omar Bradley, atasan Patton di Grup AD ke-12 Amerika, bahwa pada Kamis malam 22 Maret pukul 22.00 AD ke-3 menyeberangi Sungai Rhine. Jenderal Patton memberi timing pengumumannya kepada dunia dengan seksama. Beberapa jam sebelum penyeberangan Marsekal Montgomery, ia (Patton) mengontak Bradley: ‘Brad, demi Tuhan, kabarkan pada dunia kita telah menyeberang. Saya ingin dunia tahu bahwa AD ke-3 melakukannya lebih dulu sebelum Monty menyeberang!’,” tandas Forty.
Baca juga: Palagan Terakhir di Eropa