Anzio, Palagan Sengit Merebut Roma
Banyak jalan menuju Roma. Sekutu memilih jalan terjal dan dipaksa Jerman membayar mahal.
DARI anjungan kapal USS Biscayne, Mayjen John P. Lucas merapal doa dalam hati. Pukul dua dini hari 22 Januari 1944, Panglima Korps ke-6 Tentara ke-5 Angkatan Darat Amerika Serikat (AD AS) itu lantas memelototi binokularnya untuk mengecek keadaan pasukannya yang baru beringsut dari kapal-kapal pendarat menuju kota pantai Anzio, Italia.
Operasi Shingle yang jadi tanggung jawab Jenderal Lucas itu pun dimulai. Dua gugus tugas pasukan Sekutu yang terdiri dari Divisi Infantri ke-3, Korps ke-6 AD AS, dan Divisi Infantri ke-1 AD Inggris dengan total 36 ribu personel berangsur-angsur mulai diangkut dengan 16 landing craft, delapan landing ship infantry, 84 landing ship tank, 96 landing craft infantry, dan 50 landing craft tank dari ratusan kapal dalam konvoi yang berangkat dari Pelabuhan Napoli pada 21 Januari malam.
Lucas bersyukur. Di luar dugaan, sekira 20 ribu serdadu Sekutu yang menggelar pendaratan amfibi itu tak sekalipun memicu tembakan meriam maupun senjata lain dari pihak musuh. Unsur pendadakan Operasi Shingle telah tercapai.
“Apa yang kami capai boleh dibilang merupakan salah satu kejutan paling komplit sepanjang sejarah. Biscayne lepas jangkar 3,5 mil di lepas pantai dan saya tak bisa mempercayai apa yang saya lihat ketika berdiri di anjungan dan tak satupun senapan mesin atau tembakan lain terlontar ke pantai,” tulis Jenderal Lucas dalam buku hariannya, dikutip Martin Blumenson dalam Anzio: The Gamble that Failed.
Baca juga: Duka Italia di SantAnna
Sejatinya Jerman bukan tanpa pertahanan. Di wilayah pantai dan kota saja menumpuk 20 ribu serdadu Jerman. Namun memang pendaratan Sekutu itu gagal terdeteksi sejak awal. Panglima Grup C AD Jerman Generalfeldmarschall Albert Kesselring baru mendapat kabar Pantai Anzio diserang pada pukul 3 dini hari atau sejam setelah pendaratan dimulai.
“Satu-satunya perlawanan datang dari sedikit artileri pantai dan unit anti-pesawat. Dua baterainya menembak ke arah pantai secara sporadis selama beberapa menit sebelum matahari terbit, hingga akhirnya dibungkam meriam-meriam kapal (Sekutu),” imbuh Blumenson.
Namun Kesselring sama sekali tak panik. Ia sudah punya serangkaian strategi kontingensi untuk mengatasi serangan mendadak semacam itu. Kuncinya ada pada unit reaksi cepat yang mobile dan senantiasa disimpannya untuk menangkal dan memberi waktu pasukan yang lebih besar mengonsolidasikan pertahanan kuat.
Saat Sekutu sibuk merampungkan pendaratan, Kesselring memanggil para jenderalnya. Operasi Shingle Sekutu itu akan ia ladeni dengan Operasi Richard. Modalnya adalah 20 ribu personil yang ia kumpulkan dari unit reaksi cepat Divisi Linud ke-4 dan Divisi Panser “Hermann Göring”.
Baca juga: Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman
Bukan untuk menemui Sekutu di pantai, Operasi Richard juga untuk mengamankan jalur-jalur dari pantai menuju kota Anzio sepanjang Perbukitan Alban, Campoleone, dan Cisterna. Itu diharapkan cukup untuk menahan laju Sekutu sampai permintaan pasukan tambahannya direstui Komando Tinggi Militer Jerman (OKW).
Saat pagi menjelang, hampir seluruh 36 ribu personil Sekutu beserta 3.200 kendaraan tempur beraneka jenis sudah mengamankan beachhead (pijakan) pantai. Divisi ke-1 Inggris merebut Dermaga Anzio dan mengamankan perimeter sejauh tiga kilometer dari bibir pantai, sementara Divisi ke-3 AS merebut Dermaga Nettuno dengan perimeter lima kilometer. Perlawanan yang mereka temui sekadar memakan korban 13 serdadu Sekutu dan 200 pasukan garnisun pantai Jerman ditawan.
Namun, Jenderal Lucas menyetop ofensifnya untuk lebih dulu mengonsolidasikan pasukannya dengan membuat kubu-kubu pertahanan sembari menanti pasukan tambahan. Melihat rintangan alam di sekitar pantai, Lucas tak ingin mengambil risiko lebih besar. Padahal, Perdana Menteri (PM) Inggris Winston Churchill, yang melahirkan konsep Operasi Shingle, menuntutnya bergegas menuju Roma yang jadi target utama operasi.
Friksi Amerika-Inggris
Sejak Operasi Shingle digaungkan Churchill pada 1943, ia acap ditentang para jenderal Amerika. Salah satu faktor utamanya karena kondisi alam di sekitar Pantai Anzio mayoritas adalah rawa dan dikelilingi Pegunungan Laziali. Selain rawan serangan balik dari daratan tinggi, lokasinya juga rentan memicu wabah malaria.
Selain itu, ketersediaan kapal-kapal pendarat amat minim. Terlebih, Sekutu sebelumnya juga mencanangkan Invasi ke Normandia (D-Day) yang direncanakan pada Juli 1944. Amerika enggan mendisposisi kapal-kapalnya dari Inggris ke Italia karena dikhawatirkan akan berdampak pada penundaan rencana D-Day.
Berulang kali operasi itu ditentang, namun setiap kali itu juga Churchill bersikukuh sehingga menimbulkan friksi dengan sekutunya sendiri. Terlebih pada 17 Januari 1944, Sekutu masih direpotkan dengan Pertempuran Monte Cassino untuk mendobrak pertahanan Jerman di Gustav Lini, selatan Anzio.
“Pihak Amerika menganggap pendaratan ke Anzio malah akan memecah konsentrasi dalam menembus pertahanan Jerman di Monte Cassino. Juga dikhawatirkan jika Monte Cassino tak mampu direbut, pasukan di Anzio justru bakal terperangkap. Tetapi karena (panglima Sekutu) masih berkonsentrasi pada rencana Operasi Overlord (Invasi Normandia, red.), keputusan soal Anzio diserahkan kepada Churchill dengan catatan, waspada pada kekuatan Jerman yang belum terprediksi,” tulis Rick Atkinson dalam The Day of Battle: The War in Sicily and Italy, 1943-1944.
Baca juga: D-Day, Gebrakan Menentukan di Normandia
Di pihak Jerman, lanjut Atkinson, dilema juga melanda Marsekal Kesselring. Pasukan AD ke-10 Jerman masih mati-matian menahan laju AD ke-5 Amerika dan AD ke-8 Inggris di Gustav Lini. Andai ia menarik pasukannya dari Monte Cassino ke Anzio, Gustav Lini akan ambruk. Tetapi jika tidak, Roma akan lebih mudah direbut Sekutu dan otomatis jalur komunikasi pasukannya di Italia Tengah dan Italia Utara bakal terputus.
Namun di garis depan, Jenderal Lucas dengan persetujuan atasannya, Panglima AD ke-5 Amerika Letjen Mark W. Clark, pilih menanti pasukan tambahan meski Churchill mendesak untuk terus maju memanfaatkan unsur pendadakan. Baginya, jika harus menuruti perintah resmi menyerang Perbukitan Alban sebagai pijakan menuju Roma, ia butuh setidaknya dua korps pasukan bantuan.
“Mereka ingin saya mendarat dengan jumlah pasukan yang tidak laik dan berpotensi jadi bencana. Kalau begitu kejadiannya, siapa yang akan disalahkan? Aroma (bencana) Gallipoli sangat terasa dan sepertinya sosok amatir yang sama (Churchill, red.) masih jadi penanggungjawabnya,” sambung Lucas di buku hariannya.
Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun
Sementara pasukan Sekutu bertahan di pantai, waktu yang terbuang dimanfaatkan Kesselring untuk mengonsolidasikan pasukannya. Permintaannya akan pasukan tambahan dijawab OKW dengan mengirim enam divisi dari Prancis, Yugoslavia, Jerman, dan Italia Utara. Sebagian pasukan AD ke-10 yang bertahan di Monte Cassino pun dikirim ke Anzio.
Di lain pihak, Jenderal Lucas mendapat pasukan tambahan dari Divisi Infantri ke-45 dan Divisi Lapis Baja ke-1 Amerika pada akhir Januari. Total ia mengomando 69 ribu personil, yang akan berkofrontasi dengan 71 ribu personil Kessering. Dengan tambahan pasukan itu, Sekutu melanjutkan gerak ofensifnya pada 30 Januari dengan menargetkan Campoleone dan Cisterna.
Di hari pertama Februari, Kesselring mendapat tambahan Korps Linud ke-1 dan Korps Panser ke-76 sehingga total personilnya berjumlah 100 ribu. Sementara, Sekutu kekuatan bertambah menjadi 76 ribu personil lewat kedatangan Divisi Infantri ke-56 Inggris.
Bentrok dua kekuatan besar itu berlangsung pada 3 Februari malam ketika Jerman melancarkan serangan balik ke Campoleone. Namun hingga 23 Februari, pergerakan Sekutu tak mencapai harapan karena kuatnya pertahanan Jerman.
Baca juga: Dari Mława hingga Benteng Modlin
Akibatnya, Jenderal Lucas dibebastugaskan. Komando diambilalih Jenderal Clark. Ofensif diperbarui dengan menggelar Operasi Diadem yang menargetkan Campoleone, Albano, lalu Roma. Pasukan tambahan kembali diundang. Puncaknya, Sekutu punya 150 ribu serdadu.
Sementara, pasukan Jerman yang berkekuatan 135 ribu personil dipusatkan Kesselring di Caesar C Lini, kubu defensif terakhir sebelum kota Roma. Sepanjang Maret hingga Mei, garis pertahanan itu makin menipis akibat serangan bertubi-tubi Sekutu.
Adolf Hitler yang khawatir itu akan terjadi Stalingrad kedua, pada 2 Juni memerintahkan Kesselring meninggalkan pertahanan kota Roma. Dengan sisa-sisa pasukannya, Kesselring mundur ke utara kota Roma dan membentuk kubu pertahanan “Roman Switch Line” di dekat pantai Laut Thyrrenian.
Pada dini hari 4 Juni, pasukan Jenderal Clark memasuki kota Roma dan sehari berikutnya mengumumkan pembebasan “kota abadi” itu dari Jerman Nazi. Walau berakhir dengan kemenangan, Sekutu dipaksa Kesselring membayarnya dengan harga sangat mahal. Lloyd Clark dalam Anzio: The Friction of War, Italy and the Battle for Rome 1944 mengungkapkan, selain friksi internal petinggi Inggris dan Amerika meruncing sejak Hari-H yang kemudian berlangsung 136 hari, membuat Sekutu kehilangan tujuh ribu nyawa prajuritnya atau dua ribu lebih banyak ketimbang pihak Jerman. Itu belum termasuk 36 ribu serdadu yang terluka atau hilang. Sementara, Jerman menderita 30 ribu personil terluka atau hilang.
“Blunder yang dilakukan (pasukan) Anglo-Amerika terletak pada keputusan mereka mengulur waktu. Pasukan pendaratnya juga lemah, hanya berkekuatan satu atau dua divisi utuh tanpa kawalan lapis baja. Di situlah letak kesalahan mendasar mereka,” tandas Kesselring, dikutip Clark.
Baca juga: Jenderal Choltitz Penyelamat Paris
Tambahkan komentar
Belum ada komentar