Yogyakarta, 18 Maret 1947, Presiden Sukarno mengumumkan penyatuan nasional antara kekuatan tentara resmi yakni Tentara Repoeblik Indonesia (TRI) dengan kekuatan lasykar langsung di bawah pimpinan Jenderal Soedirman. Hal itu dilakukan demi mengikat kekuatan dalam menghadapi ancaman agresi militer Belanda.
“Rumor bahwa Belanda akan menyerang kedudukan Republik memang sudah santer terdengar saat itu,” ungkap sejarawan Robert B. Cribb.
Baca juga: Ketika Karawang Jatuh ke Tangan Belanda
Namun dalam kenyataannya, seruan itu hanya diikuti oleh 5 lasykar terbesar. Masing-masing adalah Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia (BPRI), Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Pemoeda Sosialis Indonesia (Pesindo), Lasjkar Boeroeh (LB) dan Markas Poesat Hizboellah Sabilillah (MPHS).
“Kelima kelompok lasykar itu lantas digabungkan ke dalam suatu unit bernama Detasemen Gerak Cepat bagi Badan Perjuangan...” ungkap buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya Sejarah Kodam Siliwangi.
Satu-satunya yang menolak adalah Lasjkar Rakjat Djawa Barat (singkatannya biasa disebut LR saja), organ bersenjata pimpinan Sutan Bahar yang anggotanya terdiri dari para pengikut Tan Malaka. Menurut Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949, bagi LR, bergabung dengan Divisi Siliwangi adalah sebuah mimpi buruk.
Baca juga: Tentara Rakyat Ikut Murba
“Itu terjadi tak lepas dari citra Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Nasution yang sudah kadung dikenal sebagai “tukang lucut” laskar,” ungkap sejarawan asal Australian itu.
Pembangkangan LR tentu saja membuat berang TRI. Terlebih setelah pos-pos TRI di sepanjang Lemahabang-Cikarang diserang oleh para gerilyawan LR dan satu kekuatan besar pasukan LR pimpinan Sudjono bergerak dari Lamaran ke dalam kota Karawang guna memperkuat kedudukan pasukan LR di sana.
“LR menuduh bahwa tentara akan merampas kehidupan mereka yang miskin,” ungkap Cribb.
Dua manuver LR tersebut sudah cukup menjadi alasan bagi Nasution untuk menggelar suatu operasi militer. Dan memang sejak TRI menuduh LR terlibat dalam penculikan para petinggi Divisi Siliwangi di Karawang (Letnan Kolonel Soeroto Koento dan Mayor Adel Sofyan) pada akhir November 1946, Nasution sudah merencakan untuk menghabisi LR.
Baca juga: Yang Hilang di Tengah Revolusi
Maka pada 24 Maret 1947, Nasution memerintahkan pasukannya untuk melancarkan operasi militer ke Karawang. Rencana itu dimatangkan dalam suatu rapat antara petinggi Siliwangi di markas besar Brigade III/Kian Santang dua minggu kemudian.
Bahkan demi melancarkan operasi penumpasan itu, komandan Brigade III Letnan Kolonel Sidik Brotoatmodjo mengirim telegram khusus kepada dua pertinggi militer Belanda di Jawa Barat (Mayor Jenderal Durst Britt dan Kolonel A.A.J.J. Thomson) berisi harapan akan adanya “pengertian” pihak Belanda untuk tidak ikut campur.
“Saya berencana membersihkan wilayah saya. Saya akan sangat menghargai sikap jantan anda di wilayah anda sendiri,” demikian isi pesan Sidik tersebut.
*
Operasi Karawang tahap awal melibatkan sekira 3.000 prajurit. Menurut Mohamad Rivai dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ada 8 unit yang menjadi bagian utama kekuatan pasukan. Mereka terdiri dari:
- 1 kompi polisi dari Batalyon 35 Resimen Sukapura Tasikmalaya
- Batalyon Beruang Merah pimpinan Mayor Abdullah Saleh Hasibuan
- Detasemen Siliwangi pimpinan Letnan Satu Suparman
- Detasemen Panah Merah pimpinan Letnan Satu Eman
- 2 kompi dari Batalyon 30 (eks Pesindo) pimpinan Letnan Cucu Ardiwinata
- Batalyon 33 Pelopor pimpinan Mayor S. Tobing
- Detasemen Kuda Putih
- 2 kompi dari Batalyon Tengkorak pimpinan Kapten A. Nasuhi.
Gerakan operasi militer itu diawali dengan menghabisi unit-unit kecil LR di perbatasan Purwakarta-Karawang. Di Rengasdengklok, pasukan penumpas sempat mengalami salah pengertian dengan satu unit kecil gerilyawan dari Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi (KRIS). Mereka sempat dilucuti senjatanya.
Pembersihan sekitar perbatasan Purwakarta-Karawang menyebabkan gerak pasukan penumpas bisa leluasa menyisir pinggiran Karawang. Begitu memasuki Karawang pada 17 April 1947, mereka langsung terlibat dalam pertempuran dengan gerilyawan LR pimpinan Harun Umar dan tanpa ampun langsung melibasnya.
Baca juga: Yang Raib Ditelan Bumi
“Secara bodoh, pasukan Harun Umar (yang kekuatannya tidak sebanding) menghujani pasukan TRI dengan mortir. Tentunya itu dijadikan alasan oleh TRI untuk menghabisi pasukan tersebut tanpa ampun,” ungkap Cribb.
Selanjutnya pertempuran brutal pun terjadi. Para gerilyawan LR maju bak macan kelaparan. Secara nekat, mereka menerabas apapun yang menjadi penghalang hingga menyebabkan banyaknya jatuh korban di pihak pasukan penumpas terutama dari Batalyon Beruang Merah yang kehilangan salah satu komandannya. (Bersambung)
Baca juga: Pasukan Bumiputera Pembela Ratu Belanda