Bagi orang Karawang, nama Suroto Kunto tidak asing lagi. Selain ditabalkan pada satu monumen, dia juga diabadikan sebagai nama jalan di kota penghasil beras itu. Namun, tak banyak orang mengetahuinya. Yang jelas, sejarah mencatat bahwa pemuda yang hidup di era revolusi itu ternyata memiliki banyak peran dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945.
Suroto mengenyam pendidikan AMS-B di zaman Hindia Belanda. Ketika Jepang datang, ia melanjutkan ke Ika Daigaku. Ia tak menuntaskan pendidikan kedokteran itu karena menolak digunduli sebagai syarat menjadi dokter di era kekuasaan militer Jepang.
Yudi Latif dalam Indonesian Muslim Intellegentsia and Power menyebutkan, Suroto bersama Bagja Nitidiwirja, Bahrum Rangkuti, M. Sjarwani, Siti Rahmah Djajadiningrat, Anwar Harjono, Karim Halim, serta Djanamar Ajam, lantas memimpin kelompok pemuda Sekolah Tinggi Islam. Mereka salah satu kelompok muda yang kemudian mendesak Proklamasi segera dilakukan Sukarno.
Suroto juga ikut dalam perundingan dengan kelompok pemuda lainnya di Laboratorium Bakteriologi Cikini (kini di samping Universitas Bung Karno) pada petang selepas berbuka puasa pada 15 Agustus 1945. Irna Hadi Suwito dalam Chairul Saleh: Tokoh Kontroversial, menuliskan rapat yang dipimpin Chaerul Saleh tersebut membahas strategi untuk menghadapi golongan tua: Sukarno dan Mohammad Hatta.
Sebagai pemuda radikal, mereka tidak ingin kemerdekaan dicapai dalam kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) karena dianggap berbau Jepang. Pasca rapat, empat pemuda kemudian diutus untuk menyambangi Sukarno di kediamannya malam itu juga.
“Mereka serentak menyatakan kesepakatan: merdeka sekarang juga. Empat pemuda diutus menghadap Bung Karno; Suroto Kunto, Ahmad Aidit (kemudian dikenal dengan nama DN Aidit), Subadio Sastrosatomo dan Wikana,” ungkap Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang.
Di situ pula kemudian muncul “drama” antara Wikana dan Bung Karno. Saat pemuda kerempeng asal Sumedang itu menggertak Sukarno, dengan marah Si Bung lalu berteriak, “Seret aku ke pojok sana, bunuh aku malam ini juga. Tidak usah menunggu sampai besok!” Nyali Wikana pun meleleh.
Gagal mendesak Sukarno-Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan sesegera mungkin, keesokan harinya, para pemuda radikal itu “menculik” keduanya ke Rengasdengklok. Belakangan diketahui, “penculikan” itu ternyata diotaki oleh Chaerul Saleh dan Sukarni.
Akhirnya, Proklamasi tercetus pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bersama ratusan pemuda lainnya, Suroto hadir sebagai saksi hidup kelahiran bayi Indonesia. Selanjutnya, ia terjun dalam kancah revolusi sebagai tentara republik.
Di TKR (Tentara Keamanan Rakjat), karier Suroto termasuk moncer. Setelah sempat menjadi bawahan Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min (Komandan Resimen V Jakarta Raja yang kemudian berubah jadi Resimen Cikampek), Suroto Kunto kemudian mengambil alih jabatan Moeffreni pada pertengahan 1946.
Sayang, kariernya tak berlangsung lama. Letnan Kolonel Suroto Kunto yang saat itu baru berusia 24 tahun, justru hilang secara misterius di kawasan Warungbambu, Karawang pada 28 November 1946. Diduga kuat Suroto Kunto beserta kepala stafnya Mayor Adel Sofyan serta dua pengawalnya, Kopral Muhajar dan Murod, diculik dan dibunuh oleh salah satu kelompok lasykar.
Bermula dari adanya konflik antara Suroto dengan Laskar Rakyat Djakarta Raja (LRDR), terkait wilayah pertahanan front Jakarta Timur. Her Suganda dalam Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 mengungkapkan, dalam suatu perundingan di Bekasi, LRDR meminta kepada TKR agar daerah dekat Stasiun Karawang diserahkan kepada LRDR.
Tuntutan tersebut ditolak keras oleh Suroto. Setelah penolakan itu dalam perjalanan kembali ke Cikampek, Suroto dan ketiga anak buahnya diculik di kawasan Warungbambu. Jasad mereka tak pernah ditemukan, hanya tersisa satu mobil Ford yang sebelumnya mereka kendarai teronggok di tepi jalan raya Karawang-Cikampek.
Peristiwa itu menggerakkan segenap kekuatan Resimen Cikampek untuk menghabisi LRDR. Padahal menurut sejarawan Robert B. Cribb, aksi itu belum tentu didalangi oleh LRDR. Namun, bisa jadi itu ulah intelijen Belanda untuk menggerus secara perlahan kekuatan Republik.
“Saya pikir bukan suatu hal yang mustahil jika intelijen Belanda bermain dalam konflik TKR-LRDR dan mereka memang berkepentingan dengan itu,” ujar sejarawan asal Australia yang mendalami tema revolusi Indonesia tersebut kepada Historia.