Nama Matheus Sihombing mengisi halaman suratkabar Belanda sepanjang pekan terakhir bulan Oktober hingga awal November 1948. Pemberitaannya sehubungan dengan aksi kekerasan dan saling melucuti di antara pasukan TNI dan laskar. Banyak korban berjatuhan dalam pertempuran antara saudara sebangsa itu.
Het Dagblad, 23 Oktober 1948, melaporkan bahwa Matheus Sihombing berhasil lolos dari upaya penangkapan. Ia bersama tokoh laskar lainnya macam Timur Pane yang tergabung dalam Divisi Banteng Negara disebut-sebut bertanggung jawab atas tindakan pelucutan terhadap Korps Polisi Militer di Tarutung. Mayor Bedjo, komandan Brigade B, yang ditugaskan untuk menangkap. Timur Pane dikabarkan tertangkap bersama pasukannya di Sibolga, Tapanuli Tengah.
“Menurut informasi terakhir, Banteng Negara kini terkonsentrasi di Tapanuli Utara,” lansir Het Dagblad.
Baca juga: Timur Pane: Lakon Sang Bandit
Sementara itu, suratkabar Nieuw Nederland, 11 November 1948, membubuhkan predikat khusus kepada Matheus Sihombing, yakni “Bung Mitraliur”. Mitraliur adalah istilah dalam palagan untuk menyebut pistol senapan mesin. Namun, bila merujuk Matheus Sihombing maknanya jadi berbeda. Julukan Si Mitraliur pada diri Matheus berkenaan dengan kebiasaannya yang doyan meludahi senapannya untuk menguji nyali lawan. Ludah berarti liur, sehingga mitraliur boleh berubah pengertiannya menjadi orang yang suka meludahi senapan.
Letkol Alex Kawilarang ditunjuk pemerintah untuk menertibkan sejumlah komandan pasukan di Tapanuli. Dalam memoarnya Untuk Sang Merah Putih: Pengalaman 1942—1961, Kawilarang menyebut Laskar Banteng Negara, sebelum Agresi Militer Belanda I, berada di front Medan Area. Ia juga mencatat nama Matheus Sihombing alias “Mitraliur” sebagai salah satu pimpinan kelompok laskar itu.
“Nama-nama yang memang kedengarannya istimewa,” kata Kawilarang.
Baca juga: Alkisah Senjata Berludah
Sastrawan Sitor Situmorang dalam otobiografinya Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba, mengatakan Matheus Sihombing pernah mengancam Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan. Ia memaksa sang gubernur untuk menyerahkan sejumlah uang sebelum ludah pada ujung pistolnya mengering. Begitulah gaya eksentrik ala Matheus Sihombing.
Namun, gertakannya tak selalu mempan. Setelah November 1948, Matheus Sihombing pernah melakukan aksi serupa terhadap Mayor Ibrahim Adjie. Saat itu, Matheus Sihombing menjadi komandan Batalion V Sub Sektor Padang Lawas Sipirok. Sementara, Adjie yang didatangkan dari pusat bertugas membantu Panglima Alex Kawilarang. Waktu diperintahkan Adjie untuk berpindah basis, Matheus Sihombing malah meludahi pistolnya. Ia lalu menghardik Adjie dan memintanya pergi sebelum ludahnya kering. Belum selesai menggertak, tiba-tiba Si Mitraliur kena todong balik.
“Tak perlu menunggu ludah itu kering, sekarang juga kau ku tembak jika tidak ikut perintahku,” bentak Adjie.
Baca juga: "Tak Perlu Menunggu Ludah itu Kering, Kau Kutembak!"
Meski berangsan, Matheus Sihombing termasuk pimpinan laskar yang cukup diperhitungkan. Sejak mula revolusi kemerdekaan, ia telah mengorganisasi barisan laskar dalam Pertempuran Medan Area. Menurut buku Sejarah Daerah Sumatra, Matheus Sihombing termasuk salah satu pentolan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), laskar terkuat di Sumatra Utara yang terpecah ke dalam delapan kelompok. Matheus menamakan kelompoknya Napindo Penggempur.
Pasukan Matheus Sihombing, sebagaimana diungkap Forum Komunikasi Ex Teritorium VII Komando Sumatra dalam Perjuangan Semesta Rakyat Sumatra Utara, berasal dari pemuda-pemuda Tapanuli yang bermukim di Medan. Kebanyakan dari mereka bukanlah kombatan profesional, melainkan bekas preman atau pemuda pengangguran yang menggabungkan diri secara sukarela.
Di bawah Matheus Sihombing, Laskar Napindo Penggempur diakui pemerintah setempat. Ia sendiri menyandang pangkat kapten. Menurut S.M. Amin, gubernur pertama Sumatra Utara, dalam memoarnya Kenang-Kenangan dari Masa Lampau, Matheus Sihombing menjadi salah satu figur yang sangat ditakuti, di samping nama-nama lain seperti Inoue –bekas tentara Jepang–, Payung Bangun, Jamat Ginting, dan Timur Pane.
Baca juga: S.M. Amin, Gubernur Pertama Sumatra Utara
Dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi, Maraden Panggabean menyebut kekuatan pasukan Matheus Sihombing setara resimen, atau terdiri dari beberapa batalion. Meski demikian, Matheus Sihombing bersama kelompok laskarnya sukar dikendalikan seperti kebanyakan laskar. Napindo Penggempur yang dipimpin Matheus Sihombing dan berkedudukan di Tanah Merah (Galang), disebut Kementerian Penerangan dalam Republik Indonesia: Sumatra Utara, menyerang Ksatria Pesindo serta melucuti persenjatannya.
Ketika Belanda melancarkan agresi pertamanya medio 1947, Wakil Presiden Mohammad Hatta sedang berada di Pematang Siantar. Di sana, Bung Hatta berpidato mengobarkan semangat mempertahankan kemerdekaan. Sebagai Komandan Napindo Penggempur, Kapten Matheus Sihombing datang melapor.
Matheus Sihombing, seperti dikisahkan Midian Sirait, eks tentara pelajar Sumatra Utara, memberitahu pasukannya akan memasuki Kota Medan. Ia juga menjanjikan begitu pasukannya mengalahkan tentara Belanda, Bung Hatta dapat memasuki kota dan menginap di Hotel de Boer (kini Hotel Dharma Deli). Bung Hatta mengangguk saja menanggapi sang kapten.
Baca juga: Timur Pane Pejuang yang Terbuang
Matheus lalu menyambung, “Suma satu yang kurang, Bapak.”
“Kurang apa yang satu itu?” tanya Bung Hatta.
“Ya, Bapak, suma satu,” jawab Matheus.
“Sebut saja yang satu itu,” balas Bung Hatta.
Setelah ada yang membisiki, barulah Bung Hatta paham bahwa yang dimaksud suma satu oleh Matheus Sihombing adalah “cuma catu”. Catu berarti jatah beras. Dengan kata lain, Matheus Sihombing sedang menagih jatah beras kepada Bung Hatta untuk menyerang Belanda.
Baca juga: Gubernur Jawa Barat Menolak Beras Belanda
Sebagaimana aksen Batak yang kental, “Rupanya lidah khas Komandan Matheus Sihombing bisanya menyebut ‘suma satu’. Semua huruf ‘c’ menjadi huruf ‘s’. Bung Hatta hanya bisa tersenyum, soal ‘suma satu’ pun menjadi jelas,” tutur Midian Sirait dalam catatannya Revitalisasi Pancasila – Catatan-catatan Tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial.
Namun, Matheus Sihombing tak berhasil menunaikan janjinya terhadap Bung Hatta. Pematang Siantar jatuh ke tangan Belanda. Bung Hatta batal ke Medan dan mundur ke Sumatra Barat lewat perjalanan darat.
Nama Matheus Sihombing sendiri hanya bertahan hingga akhir tahun 1948. Menjelang Agresi Militer Belanda II, kelompok laskar di Sumatra Utara saling bentrok dan bertempur sama lain memperebutkan wilayah kekuasaan. Matheus Sihombing dikabarkan terbunuh oleh rekannya sesama pimpinan kelompok laskar. Tamatlah riyawat Si Mitraliur yang kesohor dengan aksi pistol berludahnya.
Baca juga: Perang Salib Zaman Revolusi