Masuk Daftar
My Getplus

Bandit Medan Berjuang dalam Perang Kemerdekaan

Dalam Pertempuran Medan Area, para bandit bergabung dengan sejumlah badan kelaskaran. Watak kriminal tetap menonjol di tengah perjuangan sehingga ada yang ditembak mati.   

Oleh: Martin Sitompul | 19 Jul 2023
Pawai militer bersama masyarakat di Kota Medan, 1948. Sumber: Nationaal Archief.

Jauh sebelum begal berkeliaran seperti sekarang, Kota Medan pernah lebih mencekam dengan keberadaan gerombolan begundal. Sebermula ketika Belanda angkat kaki dan Jepang menguasai kota. Ada saja kelompok berandalan liar yang memanfaatkan masuknya serdadu Jepang untuk memperkaya diri lewat cara-cara kriminal.

“Kelompok bandit ini melakukan penjarahan, perampokan dan mencuri harta benda, terutama milik Belanda si pecundang perang,” kenang Matiur Tambunan seperti ditulis Herry Gendut Janarto dalam biografi Matiur M. Panggabean, Bunga Pansur dari Balige: Pengabdian dan Keteguhan Iman Seorang Istri Prajurit. Matiur kelak lebih dikenal sebagai istri dari Jenderal Maraden Panggabean (Panglima ABRI 1973-1978).

Di masa pendudukan Jepang, kehidupan sosial masyarakat sangat memprihatinkan. Disebutkan dalam Sejarah Daerah Sumatra Utara yang ditulis tim peneliti Depdikbud, masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sandang. Untuk itu, pemerintah pendudukan Jepang mengerahkan masyarakat untuk proyek kerja paksa (kingrohosi).

Advertising
Advertising

Baca juga: Kota Medan dari Sarang Preman hingga Begal

Kondisi demikian menimbulkan penyakit sosial macam gelandangan dan maraknya pelacuran. Gelandangan dengan borok-borok besar di badan selalu berkeliaran mencari sesuatu yang bisa dimakan, termasuk anjing jalanan. Tidak pelak, krimininalitas meningkat tinggi sehingga bermunculanlah bandit-bandit penggarong. Dari Medan, aksi para bandit ini menjalar ke kota-kota lain di Sumatra Utara, seperti Pematang Siantar, Tarutung, dan Sibolga.

Memasuki masa kemerdekaan, para bandit di Medan tergabung dalam sejumlah badan kelaskaran. Salah satu tokoh bandit pejuang yang paling disegani ialah Timur Pane. Dia mengorganisasikan pemuda-pemuda berandalan ke dalam Laskar Napindo “Naga Terbang”. Napindo sendiri merupakan organ pemuda Partai Nasional Indonesia (PNI). Timur Pane tercatat sebagai anggotanya di cabang Medan.   

Dalam Pertempuran Medan Area, Laskar Naga Terbang turut bertempur menghadapi pasukan Inggris di Sukaramai, bagian dari front Sektor III Medan Timur—Tembung. Anak-anak Naga Terbang ini merupakan kelompok laskar yang paling mengetahui setiap seluk jalanan hingga lorong-lorong di kota Medan. Mereka termasuk unsur penting dalam Pertempuran Medan Area yang berlangsung hingga 1947.

Baca juga: Timur Pane: Lakon Sang Bandit

Timur Pane menurut pengakuannya sendiri telah banyak menjagal musuhnya di medan pertempuran. Soal latar belakangnya, kepada wartawan Antara Muhamad Radjab, Timur Pane juga blak-blakan pernah menjadi pedagang jengkol, lada, dan sayur-sayuran di Medan. Selain berdagang sayur, Timur Pane punya keahlian lain, yakni mencopet.  

“Asalnya yang rendah tidak hendak disembunyikannya […] dan ditegaskannya pula bahwa kedudukannya sekarang dicapainya dengan keberanian dan kenekatannya,” tutur Radjab dalam Catatan dari Sumatra.   

Namun, menjelang Agresi Militer Belanda pertama, Timur Pane lebih banyak mengacau ketimbang berjuang di garis depan. Dia keluar dari Napindo lalu membentuk pasukan sendiri, dan kemudian mengangkat dirinya jadi jenderal mayor. Bersama pasukannya, Timur Pane menyerobot tanah-tanah perkebunan bekas milik Belanda. Gubernur Muda Sumatra Utara S.M. Amin pernah dibikin repot oleh permintaan ngawur Timur Pane yang memalak uang sebesar 120 juta gulden tiap bulan untuk kebutuhan pasukannya. Permintaan itu tentu saja ditolak kendati Timur Pane menggertak akan terjadi banjir darah.

Baca juga: Timur Pane Si Jenderal Bohongan

Nama Timur Pane meredup memasuki tahun 1949. Komandan Sub Teritorium VII Sumatra Letkol Alex Kawilarang, dalam koran Het Nieuwsblad voor Sumatra, 23 Agustus 1949 menyatakan bahwa gerombolan yang dipimpin Timur Pane telah dibubarkan oleh TNI. Lebih lanjut, Kawilarang mengatakan Timur Pane hanya memiliki beberapa pengikut yang tersisa, dan hampir tidak memiliki pengaruh sama sekali.

Kelompok Timur Pane digempur habis-habisan oleh Komandan Sektor III Mayor Selamat Ginting. Setelahnya, jejak Timur Pane menghilang. Namun, Het Nieuwsblad voor Sumatra 5 Februari 1955 memberitakan tentang pembentukan panitia Kongres Seluruh Indonesia, tempat Timur Pane duduk di dalamnya bersama M. Ginting dan A. Simanjuntak.  

Orang kedua setelah Timur Pane ialah Matheus Sihombing. Menurut Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatra dalam Perjuangan Semesta Rakyat Sumatra Utara, Matheus adalah pembina para jagoan yang tergabung dalam Laskar Napindo Penggempur. Mereka adalah pemuda-pemuda Tapanuli yang bermukim di Medan. Kebanyakan bekas preman atau pengangguran yang menggabungkan diri secara sukarela. Setelah barisan laskar dilebur ke dalam TNI, Matheus Sihombing menyandang pangkat kapten.

Baca juga: Kapten Matheus Sihombing, Jago Revolusi dari Tapanuli

Kapten Matheus Sihombing punya ciri khas meludahi ujung senapannya. Atas kebiasaannya itu, dia dijuluki “Si Mitraliur” yang bermakna orang yang suka meludahi senapan. Biasanya ludah di ujung senapan itu kalau sudah mengering sebagai tanda Matheus akan menembak lawannya. Menjelang Agresi Militer Belanda kedua, Matheus Sihombing dikabarkan terbunuh dalam bentrok antar-pimpinan laskar yang saling berebut kekuasaan.

Bandit yang paling bengis barangkali melekat pada sosok Amat Boyan. Namanya disebut-sebut sebagai raja bandit Kota Medan. Koran-koran Belanda sepanjang dekade 1930-an acap memberitakan kasus perampokan yang dilakukan Amat Boyan dengan tindak kekerasan. Kebanyakan korbannya adalah orang Tionghoa kaya atau rumah-rumah orang Jepang di zaman pendudukan.

Pada 1945, Amat Boyan direkrut oleh pimpinan Pesindo Medan, Sarwono Sastro Sutardjo. Amat Boyan diharapkan menjadi ujung tombak penggempur Laskar Pesindo. Dia pun membentuk pasukannya sendiri yang dinamakan Pasukan Cap Kampak. Namun, sepak terjang Amat Boyan justru bikin malu Pesindo.

Baca juga: Kisah Amat Boyan, Raja Bandit dari Medan

Menurut Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, Pasukan Cap Kampak di bawah pimpinan Amat Boyan melakukan berbagai perampokan, penggedoran, bahkan pemerkosaan terhadap orang Tionghoa di Medan. Pesindo terpaksa menindak tegas Amat Boyan. Pada pertengahan April 1946, pasukan Markas Pengawal Pesindo bersama Tentara Republik menumpas Pasukan Cap Kampak. Di dekat Berastagi, Tanah Karo, Amat Boyan dinyatakan tewas terbunuh. Tamatlah riwayat si raja bandit asal Medan itu. 

TAG

laskar sumatra medan timur pane matheus sihombing amat boyan

ARTIKEL TERKAIT

Brigjen M. Noor Nasution di Panggung Seni Hiburan Westerling Nyaris Tewas di Tangan Hendrik Sihite Menculik Pacar Westerling T.D. Pardede Kota Medan dari Sarang Preman hingga Begal Helvetia, Tanah Tuan Kebun Swiss di Medan Kisah Amat Boyan, Raja Bandit dari Medan Kisah Tarigan, Laskar Buronan Westerling di Medan Cerita di Balik Cadas Pangeran Hikayat Amat Boyan dan Pasukan Cap Kampak