Kota Medan dari Sarang Preman hingga Begal
Wali Kota Medan Bobby Nasution meminta polisi tembak mati pelaku begal. Dulu, seorang jenderal Angkatan Darat menabuh genderang perang terhadap preman.
KOTA Medan darurat begal. Mereka beraksi di jalanan, merampok dan menganiaya korban mereka bahkan hingga meninggal dunia. Walikota Bobby Nasution mendesak aparat kepolisian untuk menindak tegas pelaku begal. Bila perlu, seru Bobby, tembak mati saja pembegal di tempat.
“Begal dan pelaku kejahatan tidak punya tempat di Kota Medan karena sangat mengganggu ketenangan dan keamanan masyarakat,” tulis Bobby dalam akun Instagram-nya, @bobbynst, setelah polisi berhasil menembak mati seorang pelaku pembegalan pada 9 Juli 2023.
Kendati menuai kontra dari kelompok aktivis HAM, Bobby tidak meralat ucapannya. Masyarakat Medan tampaknya mendukung kebijakan Bobby tersebut. Keberadaan begal di Medan memang sudah sangat meresahkan.
Sedari dulu Medan tergolong kota dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Sebelum begal, Medan disebut-disebut sebagai kota preman. Jurnalis senior Rosihan Anwar membuktikannya kala berkunjung ke Medan dalam sebuah liputan kota pada 23 Maret 1984. Berita Antara edisi 22 Maret 1984 mewartakan, “Kodam II Bukit Barisan Hendak Memberantas Premanisme”.
Baca juga: Preman Medan dari Zaman ke Zaman
“Siapa dapat bercerita tentang preman di Medan?” tanya Rosihan.
“Nanti kita ke Jalan Sambu. Bapak lihat sendiri kaum preman itu,” kata pemandunya yang merupakan orang setempat. Sambu terletak di sebelah timur Kota Medan yang menjadi pusat pasar –orang Medan menyebutnya pajak– sekaligus terminal dengan kepadatan lalu-lintasnya.
“Apa yang mereka lakukan?” tanya Rosihan lagi.
“Mencopet, mencoleng, memeras, bahkan merampok di tempat-tempat pinggiran kota,” jawab si pemandu. “Kalau ada orang lewat yang dikira mudah jadi mangsa, mereka beraksi.”
“Apa Saudara merasakan premanisme sebagai ancaman dalam kehidupan sehari-hari?”
“Ah, tidak, sudah biasalah pula,” balas sang pemandu dalam nada santai.
Baca juga: Kisah Amat Boyan, Raja Bandit dari Medan
Di Sambu, Rosihan menyaksikan jalanan yang semrawut. Disiplin orang dalam berlalu-lintas jangan dicari di sini. Belum lagi persoalan tumpukan sampah dan krisis air bersih. Mana orang preman dan mana yang bukan, tak jelas lagi. Semuanya sudah bercampur. Menurut Rosihan, buruknya sistem prasarana di Medan jadi lahan subur keberadaan preman. Catatan reportasenya di Medan terekam dalam Perkisahan Nusa: Masa 1973—1986 dengan judul “Premanisme dan Prasarana Medan”.
Sejak dekade 1960-an hingga 1980-an, kelompok preman di Medan banyak terserap dan terstruktur dalam organisasi kepemudaan. Tenaga mereka digunakan untuk berbagai tujuan. Mulai dari penjaga tempat hiburan dan perjudian, pengawal pengusaha kaya, termasuk menjadi tukang pukul. Lambat laun aktivitas preman merembet ke dalam kriminalitas.
Antar-kelompok preman acapkali saling bertikai hingga bentrokan fisik. Itulah mengapa Medan terkenal dengan semboyan “Ini Medan Bung”, yang terpampang besar ketika kita keluar dari Bandara Polonia. Ia menjadi penanda betapa kerasnya kehidupan sosial di Kota Medan, tempat banyak orang beradu nyali.
Baca juga: Duel Preman Medan Zaman Perang Kemerdekaan
Bagi masyarakat, preman lebih dianggap sebagai pengganggu. Mereka suka memalak –dalam istilah Medan disebut "dikompas"– hingga mencuri, merampok, bahkan membunuh. Pada paruh kedua 1980, Kompas tanggal 30 November melansir premanisme menjadi satu dari 53 jenis kejahatan yang setiap 24 jam harus dilaporkan Polda Sumatra Utara ke Mabes Polri.
Pada Februari 1996, prajurit TNI sampai turun tangan untuk menumpas aksi preman. Bermula dari pertikaian antara Praka Sukardi, prajurit kesatuan Kavaleri 6/Serbu, dengan seorang preman berinisial ASM yang dikenal sering bikin onar di depan rumah makan Rindu Minang di Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru. Ketika itu Sukadi berusaha menghalangi ASM yang hendak mengutip uang keamanan di rumah makan tersebut. Duel pun terjadi. Tiba-tiba sebuah belati menghujam tubuh Praka Sukadi yang mengakibatkannya tewas. Berbalas teror berlangsung sejak peristiwa itu.
Setiap malam oknum TNI yang mengaku teman-teman Praka Suadi mencari-cari preman yang membunuh rekan mereka itu. Siapa saja yang dicurigai sebagai preman dihajar oleh mereka. Puncaknya terjadi pada 28 Februari 1996, warga Padang Bulan balik menyerang. Mereka melempari asrama Kavaleri sehingga meletuslah kerusuhan. Akibatnya sebanyak 40 kendaraan rusak, 12 orang luka-luka, dan 20-an rumah serta kedai hancur. Kerusuhan berangsur-angsur padam setelah Komandan Kodim 021/Medan Letkol Inf. Mulyono, Wakil Kapoltabes Medan Letkol Pol. Radjiman Tarigan, serta Komandan Provos Mayor S. Pinem ikut menenangkan massa.
Baca juga: Jaringan Preman Sisa Orde Baru
Atas kerusuhan itu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Raden Hartono buka suara. Kepada wartawan, Hartono menyatakan aksi perusakan asrama Kavaleri di Medan yang dilakukan oleh ratusan pemuda itu ditunggangi oleh kelompok preman. Karena itu, pihaknya akan melakukan operasi pemberantasan preman. Dia juga berjanji akan menindak anggotanya yang melanggar aturan.
“Tetapi kita tidak akan berhenti di situ. Mengapa sampai anak-anak muda menjadi beringas seperti itu. Oleh karena itu, dari awal saya sudah bilang habisi preman. Mari berikan informasi. Kalau kalian tidak berani, beritakan kepada Angkatan Darat, akan kita habisi,” ucap Hartono dikutip Majalah Dharmasena edisi Maret 1996.
Markas Besar ABRI menyerahkan kasus itu sepenuhnya kepada Pangdam I/Bukit Barisan. Pelaku penusukan Praka Sukadi pun akhirnya diringkus aparat kepolisian. Kendati demikian, premanisme tidak benar-benar hilang di Medan. Ia terus ada entah karena tekanan ekonomi atau ajang unjuk diri mewarnai kriminalitas di Kota Medan. Dan kini, setelah preman, Walikota Bobby Nasution pun masih berjuang menghabisi pelaku begal.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar