Pahlawan Revolusi Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada 28 Agustus 1922. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, Sutoyo menjalani pendidikan di HIS dan AMS di Semarang.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutoyo mengikuti pendidikan di Kenkoku Gakuin atau Balai Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta. Ia kemudian menjadi Pegawai Menengah/III di Kabupaten Purworejo. Namun, Sutoyo mengundurkan diri pada 31 Maret 1944.
Karier kemiliteran Sutoyo diawali pada masa perjuangan kemerdekaan dengan bergabung ke Badan Keamanan Rakyat. Setelah BKR bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, Letda Sutoyo di dalam TKR memilih bergabung dengan Polisi Tentara.
Pada Januari 1946, Sutoyo mendapatkan kenaikan pangkat menjadi letnan satu dan diangkat menjadi ajudan Komandan Divisi V Gatot Soebroto. Dari Gatot Soebroto, Sutoyo mempelajari karakter kepemimpinan militer.
“Ayah sangat percaya, tidak ada satu pun prajurit yang jelek. Kesimpulan yang dipetiknya ketika mendampingi Jenderal Gatot Soebroto sebagai ajudan. Keyakinan Jenderal Gatot Soebroto inilah yang kemudian juga diyakininya dengan teguh,” ujar Nani Nurrachman Sutoyo, putri Sutoyo, dalam Saya, Ayah, dan Tragedi 1965.
“Ayah diingat anak buahnya sebagai pemimpin yang tak alpa berada di tengah mereka. Ia senantiasa memberi instruksi dengan kebijaksanaan dan rasa toleransi yang tinggi. Ia memberi contoh dengan selalu hidup sederhana, namun selalu memerhatikan kesejahteraan anak buah. Ia paling tahu, sampai di mana batas kemampuan mereka, sehingga segala tugas yang dibebankan dapat terlaksana dengan baik dan sampai pada tujuannya,” lanjut Nani.
Tak sampai setahun menjadi ajudan Gatot Soebroto, Sutoyo diangkat menjadi Kepala Bagian Organisasi Polisi Tentara Resimen II Purworejo dengan pangkat kapten. Jabatan ini diemban Sutoyo hingga Mei 1948.
Baca juga:
Profil Pahlawan Revolusi: MT Haryono, Calon Dokter yang Memilih Jadi Tentara
Sutoyo lalu ditugaskan menjadi Kepala Staf Corps Polisi Militer di Yogyakarta dan sebulan setelahnya ditugaskan menjadi komandan CPM Detasemen III Surakarta. Saat itulah Sutoyo terlibat mengatasi pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948.
Sesaat kemudian, Desember 1948, Sutoyo kembali turun ke medan pertempuran menghadapi Agresi Militer II Belanda yang dimulai dengan pendudukan ibukota Yogyakarta. Sutoyo juga meninggalkan Solo untuk bergerilya.
Sutoyo diangkat menjadi Kepala Staf Batalyon CPM Yogyakarta usai Perjanjian Roem-Royen (April 1949). Setelah ibukota pindah kembali ke ke Jakarta pada 17 Agustus 1950, Sutoyo ditarik ke Jakarta untuk menjabat Komandan Batalyon I CPM dengan pangkat mayor.
Pada 1955-1956, Sutoyo diperbantukan di Staf Umum Angkatan Darat I dengan pangkat letnan kolonel. Ia kemudian dipercaya sebagai asisten Atase Militer di Kedutaan Besar Indonesia di London. Setelah kembali ke Tanah Air, Sutoyo mengikuti pendidikan Kursus C di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung pada 1959-1960.
Pada 1961, Sutoyo mendapatkan kenaikan pangkat menjadi kolonel dan diserahi jabatan Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD). Pada waktu yang sama, Sutoyo juga menjabat Direktur Akademi Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer (AHM/PTHM).
Di masa itulah Sutoyo dipercaya Menko Hankam/KSAB Jenderal AH Nasution untuk membantunya dalam menjalankan Operasi Budhi. Operasi Budhi mulanya merupakan program yang dilancarkan Kolonel AE Kawilarang untuk mendisiplinkan Divisi Siliwangi. Saat itu mulai banyak politisi yang mengkritik tentara karena banyak kedapatan korupsi. Selain untuk membersihkan divisnya, menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Operasi Budhi dijalankan Kawilarang untuk menangkis serangan-serangan PKI.
Kesuksesan Operasi Budhi di Jawa Barat mengesankan Nasution. “Pada tahun 1963 setelah melihat Siliwangi melancarkan ‘Operasi Budhi’ guna konsolidasi hasil-hasil pemulihan keamanan, maka saya tarik usaha itu ke tingkat nasional dengan skope yang lebih luas,” kata Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas Julid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.
Baca juga:
Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis
Untuk menjalankannya, Nasution menunjuk Sutoyo. Untuk itu Sutoyo kerap mengadakan rapat di rumahnya. Hal itu diingat oleh putri Sutoyo, Nani. “Sejauh pengamatannya pertemuan demi pertemuan memang sering terjadi di rumah, tetapi itu terjadi di sekitar tahun 1963 bukan di sekitar tahun 1965. Seingatnya peserta-pesertanya adalah Bapaknya sendiri dan sejumlah perwira dan dan staf. Pembicarannya pun hanya berkisar sekitar Operasi Budhi, bukan tingkat ‘Dewan Djenderal’,” ujar putra-putri Sutoyo dalam “Ilham Bagi Pembelajaran Manusia Berkarakter”, termuat di Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam.
Kerja keras para awak Operasi Budhi berhasil menyelematkan uang negara 11 milyar rupiah. Nas amat terkesan pada kinerja Sutoyo. “Kolonel Sutoyo, Inspektur Kehakiman banyak jasanya untuk menyusun program operasi ini,” sambung Nasution.
Sutoyo mendapatkan kenaikan pangkat menjadi brigadir jenderal pada 1964. Jabatan Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat adalah jabatan terakhir Sutoyo di dunia kemiliteran Indonesia.
Pada sekitar pukul 04:00 WIB 1 Oktober 1965, pasukan berseragam Cakrabirawa menculik dan membawa Brigjen Sutoyo ke Lubang Buaya. Di sana, sekitar pukul 07:00 WIB, Sutoyo ditembak mati pasukan G30S. Jenazahnya bersama jenazah lima jenderal SUAD lain serta satu perwira AD dimasukkan ke sumur tua yang ditutup dengan batang pohon pisang, sampah, dan daun-daun.
“Semua berlangsung amat cepat. Ayah telah dibawa pergi oleh sepasukan tentara yang mengaku bagian dari pasukan pengawal Presiden Sukarno: Cakrabirawa. Ayah masih mengenakan pakaian tidur bermotif batik saat pergi dari rumah. Saat itu, belum tebersit sedikit pun, kami tidak akan pernah bertemu lagi dengannya,” tulis Nani.
Jenazah Sutoyo, lima jenderal lain, dan satu perwira pertama AD ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965 dan baru berhasil diangkat keesokan harinya. Pada 5 Oktober 1965, tujuh jenazah itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Lihat juga: