Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Sumatra Menjadi Pusat Peribadatan Tantrayana

Tantrayana pernah menjadi sekte utama yang berkembang di Sumatra. Pusat-pusat peribadatan yang beraliran Tantrayana muncul bersamaan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 28 Jun 2020
Kompleks Percandian Muara Takus. (Wikipedia).

Di tepi Sungai Batang Hari terhampar gugusan percandian Muaro Jambi. Tak jauh dari Sungai Kampar Kanan di Riau ada lagi kompleks percandian Muara Takus. Semuanya menunjukkan kesamaan latar belakang agama, yakni Buddha Mahayana aliran Vajrayana.

Jika diperluas hingga ke Sumatra Utara, ada pula tinggalan yang punya kesamaan latar belakang kepercayaan, yaitu di kawasan Padang Lawas dekat aliran Sungai Sirumambe, Sungai Batang Pane, dan Sungai Barumun.

“Pada rentang waktu yang sama di Pulau Sumatra ini ada pusat-pusat peribadatan yang dilatarbelakangi agama Buddha Vajrayana,” kata Ery Soedewo, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Utara, dalam diskusi via zoom tentang “Candi Muara Takus: Dulu, Kini, dan Esok, yang diadakan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat beberapa waktu lalu.

Advertising
Advertising

Berkembangnya Sekte

Ery menjelaskan, Vajrayana atau Tantrayana merupakan salah satu sekte dalam Buddha Mahayana. Tantrayana merupakan sekte utama di Sumatra sejak abad ke-8. Waktu keberadaannya bersamaan dengan di Jawa.

Menurut John Miksic, arkeolog dan sejarawan Asia Tenggara dari National University of Singapore dalam “The Buddhist-Hindu Divide in Premodern Souhteast Asia” yang terbit di Nalanda-Sriwijaya Centre Working Paper Series No.1 (September 2010) pengaruh Buddha Mahayana sudah tampak dalam Prasasti Talang Tuo dari tahun 684 yang ditemukan di Palembang.

Baca juga: Ritual Minum Tuak Raja Singhasari

Isi prasasti itu tentang harapan penguasa semua yang ada di kebun, termasuk kelapa, pinang, aren, sagu, buah-buahan, bambu, kolam, dan bendungan bisa membawa kesejahteraan semua makhluk.

“Keinginan agar pemikiran Bodhi akan lahir pada semua orang, lalu penyebutan tiga permata (ratna) dan tubuh intan mahasattva, diakhiri dengan harapan bahwa semua akan mencapai pencerahan, konsep ini dapat dihubungkan dengan Vajrayana atau Tantrayana yang muncul di Nalanda dari sekolah Yogacara tidak lama sebelum tahun ini,” tulis Miksic.

Miksic menyebut walaupun pada abad ke-11 hingga ke-13 aliran Theravada terlihat di Situs Kota Cina, timur laut Sumatra, aliran ini tidak berdampak besar. “Arca-arca Buddha, Wisnu, dan Siva lingga ditemukan di sana. Gambar-gambar Buddha menyerupai gaya dari Sri Lanka dan India Selatan, memungkinkan kehadiran Theravada di situs Pelabuhan itu,” jelasnya.

Sebaliknya, lanjut Miksic, aliran Vajrayana berkembang di Sumatra selama beberapa abad berikutnya. Selama periode ini, kecuali untuk Kota Cina, semua biara dan kompleks candi yang terkenal dibangun di Sumatra. Sisa-sisanya memberikan banyak indikasi evolusi lokal. Kendati tetap ada hubungan dengan wilayah India Selatan, ditandai dengan prasasti Tamil.

Baca juga: Serbuan Kerajaan Cola ke Sriwijaya

Maraknya aliran itu pun membawa Sumatra sebagai salah satu pusat studi Tantrayana pada masanya. Hingga seorang tokoh penting dalam penyebaran Tantrayana di Tibet, Atisa Dipankara, datang ke Sumatra pada abad ke-11.

Atisa berlayar ke Sumatra untuk berguru pada seorang pakar dalam tradisi Boddhisatva yang dikenal sebagai Guru Suvarnadvipa. Seusai menamatkan pendidikannya, Atisa diundang penguasa Tibet untuk meluruskan kesalahpahaman berkaitan dengan ajaran Hinayana, Mahayana, dan Tantrayana. Di Tibet, India Utara, Nepal, dan Bhutan, Buddhisme Tantrayana masih dipraktikkan hingga saat ini.

Percandian di Padang Lawas

Menurut Miksic, salah satu daerah yang sangat penting untuk melacak jejak ajaran Buddha di Sumatra adalah Padang Lawas. Banyak pakar purbakala sepakat bahwa kepurbakalaan di Padang Lawas adalah peninggalan dari peradaban yang banyak dipengaruhi aliran Vajrayana.

Sukawati Susetyo, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang pernah meneliti Padang Lawas, menjelaskan bahwa stupa, stambha, arca-arca Dhyanibuddha, dan Dhyani Boddhisatva di situs itu menunjukkan percandian bernapas ajaran Buddha. Lebih khusus lagi ditemukan Prasasti Tandihat yang bersisi mantra upacara Tantra. Lalu di halaman biaro-nya ditemukan arca raksasi bertaring dengan mata melotot.

Baca juga: Persiapan Kertanagara Hadapi Khubilai Khan

“Ini mengindikasikan ada unsur Tantra,” kata Sukawati dalam diskusi via zoom tentang “Percandian di Padang Lawas Potensi Budaya Untuk Kemajian Bangsa” yang diadakan BPCB Aceh.

Prasasti Si Sangkilon juga menyebut pemujaan terhadap arca Yamari, tokoh yang sangat dipuja dalam Buddha Tantrayana. Ditambah lagi arca Heruka di Biaro Bahal II. Heruka adalah dewa terpenting dalam Buddha Tantrayana yang dipuja saat upacara Bhairawa.

Sementara itu, relief Yaksha menari berbentuk manusia berkepala hewan di Biaro Pulo saat ini masih dijumpai dalam festival keagamaan di Bhutan, Nepal, dan Tibet. “Di Buthan juga terdapat tarian yang menggambarkan pengadilan setelah meninggal. Malaikatnya ada yang digambarkan berkepala hewan,” kata Sukawati.

Penduduk di Sepanjang Sungai Batanghari

Napas kepercayaan yang sama juga teridentifikasi di situs-situs arkeologi di sepanjang Sungai Batanghari, mulai dari hilir hingga hulu di Dharmasraya, Sumatra Barat. Hampir semua situs menunjukkan masyarakatnya penganut ajaran Buddha, khususnya Vajrayana.

Menurut arkeolog Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo, konon aliran Buddha di sini dipercaya sebagai aliran yang kemudian berkembang di Kepulauan Jepang. Keberadaannya seiring dengan aktivitas pelayaran niaga dengan Tiongkok. Dari Tiongkok, aliran ini dibawa oleh para biksu dalam rombongan saudagar melalui jalan darat, menyebrang ke Kepulauan Jepang.

“Keberadaan aliran ini terlihat pada arca-arca Buddha yang ditemukan di DAS Batanghari, terutama arca-arca logamnya,” tulis Bambang dalam Rumah Peradaban Sriwijaya di Muarojambi: Persinggahan Terakhir.

Baca juga: Mengunjungi Tempat Belajar I-Tsing

Di Muaro Jambi terdapat Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Gedong I dan II, Candi Kedaton, Candi Astano, dan kepurbakalaan lainnya.

Hariani Santiko, arkeolog Universitas Indonesia, dalam “The Structure of Stupas at Muara Jambi” termuat di majalah arkeologi Kalpataru, Vol. 23 No. 2, November 2014, menjelaskan temuan sisa-sisa bata dengan inskiripsi “bija-mantra”, torehan-torehan bunga padma, dan beberapa arca, menunjukkan Muaro Jambi bernapaskan ajaran Buddha.

Khususnya pada Candi Gumpung, ahli epigrafi Boechari pada 1985 pernah membaca inskripsi yang menjadi peripih candi itu. Ia berpendapat bahwa peripih itu berupa susunan dewa-dewa dalam Vajradhatu-mandala. Artinya, Candi Gumpung bersifat Buddha Vajrayana.

Baca juga: Dharmasraya, Kerajaan Kuno di Sumatra Barat

Entah siapa yang memulai, sekira abad ke-13, penduduk Batanghari rupanya menjalin hubungan dengan Kerajaan Singhasari di Jawa. Pada 1286, Raja Singhasari, Sri Maharaja Kertanegara yang juga menganut Tantrayana mengutus pejabat tingginya untuk membawa dan mempersembahkan arca Amoghapasa sebagai hadiah kepada rakyat Dharmasraya.

Menurut Bambang, persahabatan ini tampaknya terjalin cukup lama. Terindikasi dari gaya seni arca Prajnaparamitha yang ditemukan di reruntuhan Candi Gumpung. Prajnaparamitha adalah dewi ilmu penetahuan dalam ajaran Buddha Mahayana. Gayanya mirip dengan arca tokoh yang sama dari Candi Singhasari.

Artefak Vajrayana dari Muara Takus

Aliran Vajrayana juga dianut oleh penduduk yang berabad lalu menghuni wilayah sekitar Sungai Kampar Kanan, Riau. Tampak dari hasil penggalian oleh Ery Sadewo dan tim Balai Arkeologi Medan pada 2013.

Dari gundukan tanah di kawasan sekitar candi utama Muara Takus, mereka menemukan artefak perunggu berwujud manusia berkepala gajah yang diidentifikasi sebagai Ganapati atau Ganesha.

Baca juga: Ritual Darah Raja Nusantara

Selain itu, cermin perunggu yang salah satu sisinya dilapisi emas dengan presentasi mencapai 83 persen, artinya hampir 24 karat.

Temuan lain, vajra adalah alat upacara khas agama Buddha aliran Tantrayana. Bentuknya serupa dengan yang ditemukan di sekitar Candi Borobudur, Jawa Tengah dan di muatan kapal karam di pantai utara Cirebon.

Lalu temuan bata bertulis yang secara paleografis menunjukkan pertanggalan antara abad ke-11 hingga ke-13. Isinya mantra Buddha berbunyi: “om ah bighnanta kr hum phat svaha”.

Menurut Ery, mantra itu adalah varian suatu mantra Amrtakundali(n), sosok dewa pelindung yang berkaitan dengan Kuvera maupun Vinayaka (Ganesha). Dalam suatu mandala atau diagram magis Buddha Amrtakundali(n) berada di arah mata angin utara.

“Nah, artefak-artefak tadi fungsinya apa dalam konsep Buddha Vajrayana?” kata Ery.

Baca juga: Biaro-Biaro Padang Lawas dan Kerajaan Panai di Sumatra Utara

Ery menjelaskan makna artefak-artefak itu dalam Buddha Vajrayana: cermin adalah simbol kebersihan hati dan vajra (petir atau berlian) adalah simbol pencerahan, sama dengan tokoh Ganapati atau Ganesha.

“Dalam tradisi Buddha Mahayanan sosok ini adalah salah satu Boddhisatva yang mendampingi Avalokitesvara,” kata Ery.

Maka, jelas candi yang oleh pihaknya disebut sebagai Candi Vajra di Kompleks Percandian Padang Lawas itu adalah candi yang dilatarbelakangi Buddha Mahayana, khususnya sekte Vajrayana.

Berdasarkan data arkeologis yang ada di situs-situs tadi, belum bisa dipastikan apakah ada hubungan secara langsung. Namun, situs-situs itu diperkirakan berasal dan punya rentang waktu yang kurang lebih sama.

Baca juga: Menolak Penaklukkan Jawa atas Malayu

Berdasarkan pertanggalan Candi Vajra di Muara Takus misalnya, diketahui aktivitas di sana terjadi sejak abad ke-10 hingga abad ke-17. Lalu biaro-biaro di Padang Lawas kemungkinan besar sudah ada sejak abad ke-11 hingga abad ke-14.

“Apakah (Candi Muara Takus, red.) difungsikan sebagai rumah ibadah sepanjang masa itu, ini belum bisa ditentukan. Muaro Jambi pun sama, sejak abad ke-10 akhir atau ke-11 awal sampai abad ke-14 M,” kata Ery.

Begitu pula latar belakang agamanya yang sama. Menurut Ery, ketika masa dibangunnya situs-situs itu, Buddhisme aliran Vajrayana atau Tantrayana memang tengah populer.

“Nanti pada masa yang lebih muda lagi itu lebih Tantris lagi sifatnya, lebih demonic, muncul penggambaran-penggambaran raksasa dan sebagainya. Seperti yang di Sumatra Barat di Pulau Sawah, di Dharmasraya, kemudian Singhasari di Jawa,” kata Ery.

TAG

sumatera sriwijaya

ARTIKEL TERKAIT

Dari Manggulai hingga Marandang Cerita dari Negeri Segantang Lada Nama Lain Sumatra Tempo Dulu Arab dan Tiongkok Berebut Rempah di Riau Tanpa Pajak, Palembang Kaya Catatan Tentang Kerajaan Tulang Bawang Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Sosok Itu Bernama Hamka Sungai yang Membangun Peradaban di Sumatra Angin Muson, Mesin Perkembangan Budaya