Nama kerajaan kuno itu kini bertahan sebagai nama kabupaten di Sumatra Barat. Di tepi Sungai Batanghari yang mengalirinya terdapat kompleks bangunan bata yang menjadi bukti keberadaannya. Bangunan yang tersisa bagian pondasinya itu dikenal sebagai situs percandian Padangroco. Di sana pula ditemukan alas arca paduka Amoghapasa, salah satu perwujudan Lokeswara.
Arca itu hadiah dari Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa di Kerajaan Singhasari kepada Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa hampir delapan abad yang lalu.
"Bahagia!" kata itu mengawali prasasti yang terpahat pada lapik arca.
Tepat 733 tahun yang lalu, arca Amoghapasa dikirim sebagai hadiah supaya ditegakkan di Dharmmasraya. Arca itu diantar oleh empat pejabat Kertanagara.
"Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahmaṇa, ksatrya, waisa, sudra dan terutama pusat segenap para aryya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa," kata Prasasti yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Dharmasraya (Padang Roco).
Baca juga: Menolak Penaklukkan Jawa atas Malayu
Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkenas, mengatakan prasasti itu menandai bahwa nama Dharmmasraya telah disebut sejak abad ke-13. Yang menyebutnya adalah raja terbesar Singhasari. Artinya, nama itu sudah dikenal sampai ke Singhasari di tanah Jawa.
Utusan dari Jawa datang ke Kerajaan Malayu-Dharmasraya untuk menjalin persatuan dalam rangka menjalankan cita-cita politis Kertanagara, yaitu menyatukan wilayah Dwipantara. Tujuan lain waktu itu Kertanagara mendapat ancaman dari Kaisar Mongol di Tiongkok, Khubilai Khan. Untuk membendung serangan yang akan segera datang, Kertanagara menggandeng negara tetangga dengan mendatangi kerajaannya. Kekuatan Kerajaan Malayu-Dharmasraya diperhitungkan karena letaknya menguasai Selat Malaka dan Selat Karimata.
Baca juga: Kertanagara Melawan Khubilai Khan
"Ini antisipasi serangan Mongol di mana dia melihat bahwa Khubilai Khan mau memperluas cakrawala mandalanya keluar dari daratan Tiongkok," kata Bambang.
Kertanagara menempuh penyatuan dengan wilayah di luar Jawa bukan dengan peperangan. Melainkan dengan Pamalayu atau ekspedisi persahabatan ke wilayah Sumatra.
"Tentunya di Sumatra waktu itu ada Malayu-Dharmasraya," kata Bambang. "Sriwijaya sudah hancur akibat masalah internal dan serangan Kerajaan Chola dari India. Lalu muncul Dharmasraya."
Baca juga: Persiapan Kertanagara Hadapi Khubilai Khan
Lahir dan Berkembang
Menurut Bambang, Malayu-Dharmasraya berkembang dari sebuah kota yang terbentuk paling tidak sejak abad ke-10. Waktu itu, nama Malayu dicatat oleh pelaut-pelaut asing untuk menyebut seluruh Pulau Sumatra.
“Banyak yang belum tahu kalau Malayu itu dulu sebutan untuk Sumatra, selain sebutan Swarnadwipa atau Swarnabhumi,” ujar Bambang.
Di Pulau Malayu, ada beberapa pusat pemerintahan yang nantinya berkembang menjadi kerajaan. Misalnya, pada abad ke-7, pusat pemerintahan di bantaran Sungai Musi berkembang menjadi Kerajaan Sriwijaya. Pusat pemerintahan di Sungai Batanghari menjadi Kerajaan Malayu yang berpusat di Jambi. Dari Jambi kemudian berkembang menjadi Malayu di Dharmasraya, Sumatra Barat.
Baca juga: I-Tsing Mencatat Letak Ibu Kota Sriwijaya
Bambang menyebut penelitian terbaru bahwa pada abad ke-10 telah ada permukiman di Dharmasraya. Masyarakatnya sudah mengadakan hubungan dengan wilayah luar. Buktinya, penelitian arkeologis menemukan banyak pecahan keramik Tiongkok.
“Ada perdagangan jarak jauh. Maknanya, permukiman itu sudah dapat dikategorikan sebagai kota, bukan lagi desa,” kata Bambang.
Pun sudah ada tulisan. Buktinya ada banyak prasasti singkat dari abad ke-10-11, jauh sebelum Prasasti Dharmasraya dituliskan di lapik Arca Amogapasha.
“Tepatnya di Hulu Sungai Batanghari, ada permukiman yang disebut Dharmasraya berdasarkan Prasasti Padangroco,” kata Bambang.
Ada pula petunjuk Dharmasraya didiami bermacam suku bangsa. Salah satu buktinya, Prasasti Bandar Bapahat yang berbahasa Tamil ditemukan di Jorong Bukik Gombak, Nagari Baringin, Lima Kaum, Tanah Datar, Sumatra Barat. Isinya soal saluran air kuno. Diperkirakan ia dibuat pada masa pemerintahan Raja Adityawarman di Tanah Datar.
“Ada prasasti berbahasa Tamil artinya ada sekelompok masyarakat dari suku bangsa Tamil yang perlu diinfokan soal saluran air. Jadi rakyat sudah multietnis, bukan cuma multikultur,” kata Bambang.
Diperkirakan, perantau yang mendiami Dharmasraya masuk melalui Sungai Batanghari. Sungai ini secara umum merupakan pintu masuk budaya luar ke Sumatra Barat.
“Sudah memenuhi kriteria kota, sudah ada hubungan jarak jauh, sudah ada bentuk pemerintahan, sudah kenal tulis-menulis dan administrasi. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa dari abad ke-10 Dharmasraya sudah berupa kota,” kata Bambang.
Baca juga: Pindah Ibu Kota Sudah Biasa
Jika lapik arca Amoghapasa ditemukan di Dharmasraya, maka arcanya ditemukan terpisah di Tanah Datar. Di punggungnya ada pahatan prasasti lainnya yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Adityawarman pada 1347. Di sana, Adityawarman menyatakan dirinya sebagai raja bergelar Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
“Ini pun mengindikasikan perpindahan pemerintahan dari Dharmasraya ke Tanah Datar. Mungkin oleh Raja Adityawarman,” kata Bambang.
Sayangnya, alasan perpindahannya belum begitu jelas. Pun keberadaan bukti peninggalan permukimannya. Padahal telah ada sekira 20 prasasti Adityawarman yang ditemukan di Tanah Datar. Satu di antaranya bahkan berkisah tentang pembangunan sebuah vihara. Namun, vihara itu belum diketahui keberadaannya.
“Beda dengan di Dharmasraya ada lima kelompok bangunan suci yang sudah diketahui keberadaannya," kata Bambang. "Di Tanah Datar, bahkan sisa permukiman, pecahan tembikar misalnya, tak ditemukan, sedangkan di Dharmasraya banyak."