Masuk Daftar
My Getplus

Ketahanan Pangan Masyarakat Jawa Kuno

Strategi ketahanan pangan masyarakat Jawa Kuno dalam menghadapi berbagai ancaman.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 13 Mar 2021
Ilustrasi pasar tradisional di Ubud, Bali. (Edmund Lowe Photography/Shutterstock).

PADA awal pandemi Covid-19, banyak orang panik dan memborong bahan makanan pokok di pusat perbelanjaan. Mereka khawatir pasokan bahan pangan terganggu akibat pandemi. Strategi ketahanan pangan pun diperlukan untuk menghadapi masa sulit.

"Karena pada kondisi luar biasa seperti sekarang, yang biasanya normal jadi tidak normal, bagaimana strategi persiapan kita menghadapi kondisi ini? Apakah strategi itu sudah dilakukan oleh masyarakat Jawa Kuno?" kata Agni Sesaria Mochtar, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam diskusi daring berjudul "Ketahanan Pangan pada Masa Jawa Kuna" yang diadakan Balai Arkeologi Yogyakarta, Rabu (10/3/2021).

Advertising
Advertising

Baca juga: Di Balik Lambatnya Kasus Covid-19 di Bali

Agni mengatakan, ancaman yang dihadapi masyarakat Jawa Kuno dapat diketahui dari catatan prasasti dan tinggalan arkeologi. Respons atau persiapan mereka dalam menghadapi ancaman salah satunya dengan teknologi pangan. Mereka diperkirakan sudah memiliki sistem ketahanan pangan.

"Sistem itu mungkin tak dapat memenuhi kriteria ketahanan pangan modern tapi sudah berjalan pada kurun waktu tertentu. Tapi mengalami trial and error setiap perubahan kekuasaan," kata Agni.

Ancaman Bencana

Ancaman yang dihadapi masyarakat Jawa Kuno tercatat dalam Prasasti Rukam (907 M) yang ditemukan di Desa Petarongan, Parakan, Temanggung. Disebutkan letusan gunung berapi mengubur sebuah desa yang berstatus sima atau bebas pajak. Desa sima yang hilang oleh lahar itu kemudian digantikan dengan ditetapkannya Desa Rukam sebagai desa sima.

"Ini berbeda pendapat dengan para ahli yang bilang kalau Desa Rukam adalah Situs Liangan. Kalau pendapat saya, Situs Liangan yang sekarang itu kemungkinan itu desa yang hilang, tapi bukan Rukam," kata Agni.

Baca juga: Bencana Gunung Api Menghantui Majapahit

Ancaman lain berupa banjir disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan (1037 M). Akibat luapan aliran Sungai Brantas, area persawahan di beberapa desa rusak.

Raja Airlangga membangun bendungan untuk mengatasinya. Aliran sungai terpecah, tak lagi membanjiri sawah. Sungai kembali bisa dilalui perahu yang membawa barang dagangan ke pedalaman di delta Kali Brantas.

"Bagaimana cara leluhur kita beradaptasi, berdamai dengan situasi lingkungan hidupnya?" ujar Agni. "Saya melihat adanya diversifikasi subsistensi untuk penyediaan variasi sumber pangan."

Variasi Sumber Pangan

Agni menjelaskan, ada mata pencaharian yang berhubungan langsung dengan penyediaan bahan pangan, yaitu pertanian. Sebagian besar pertanian sawah dengan irigasi, tapi dalam prasasti juga disebutkan pertanian sawah kering (gaga), ladang (tegal), dan kebun (kebwan).

Ada juga mata pencaharian pendukung tersedianya bahan pangan, seperti petugas irigasi dan tukang perahu dalam distribusi pangan.

"Misalnya, di Kerajaan Majapahit, kadang keadaan jalan sulit dilewati saat cuaca buruk. Jadinya, sungai diandalkan agar barang-barang [komoditas pangan] tetap bisa terdistribusikan," kata Agni.

Baca juga: Bertani Zaman Kuno

Cara masyarakat Jawa Kuno mengumpulkan makanan terdokumentasikan dalam relief candi. Mereka bertani, berburu, dan menangkap ikan. Ada indikasi mereka juga beternak ayam, ikan, dan babi, seperti digambarkan dalam relief Karmawibhangga di dinding kaki Candi Borobudur.

"Tapi, ini tampaknya aktivitas ternak kecil yang dilakukan di sekitar rumah. Sepertinya belum ada peternakan masif," kata Agni.

Baca juga: Ikan, Kuliner Favorit Sejak Dulu

Sejak abad ke-11 sudah ada masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Indikasinya penyebutan perahu menggunakan alat penangkap ikan, seperti mayang dan pukat.

"Walau digambarkan dalam relief ada aktivitas penangkapan ikan tapi belum jelas sebelum abad ke-11 apakah penangkapannya dilakukan di kolam, sungai, atau laut," kata Agni. "Tapi hampir yakin setidaknya sejak abad ke-11 sudah ada nelayan yang pergi ke laut."

Menyimpan Bahan Makanan

Masyarakat Jawa Kuno menyimpan hasil panen yang melimpah untuk menghadapi perubahan cuaca dan tidak berproduksi sepanjang tahun. Selain beras atau padi, mereka juga menyimpan singkong dan sumber bahan makanan kering lainnya.

Bahan makanan basah disimpan setelah diawetkan dengan cara pengeringan, pengasinan, dan pengasapan. "Pengasapan dalam prasasti jumlahnya lebih sedikit dibanding pengeringan dan pengasinan," kata Agni.

Baca juga: Cara Kuno Mengawetkan Makanan

Prasasti menyebutkan jenis-jenis makanan yang dikeringkan seperti ikan, daging, dan telur. Umumnya disebutkan dalam daftar sajian upacara penetapan sima. "Bentuk telur yang dikeringkan saya sendiri masih bingung membayangkannya," kata Agni.

Sementara ikan dan daging diawetkan dengan cara diasinkan. Pengasinan dan pengeringan sering disebutkan sebagai kombinasi teknik pengawetan. "Telur tidak disebut sebagai diasinkan walaupun paling sering dilakukan kombinasi pengasinan dan pengeringan. Apakah telur itu artinya dikeringkan dengan diasinkan?" kata Agni.

Bahan Pangan untuk Perdagangan

Sumber pangan masyarakat Jawa Kuno juga menjadi komoditas perdagangan regional dan interregional, baik hasil bumi segar maupun sudah diawetkan.

Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi menjelaskan, salah satu hasil bumi yang menjadi komoditas adalah beras, baik hasil pertanian sawah maupun padi dari ladang (gaga).

Pada era Mataram Kuno, beras menjadi tulang punggung kerajaan. Begitu pula pada masa Majapahit, padi menjadi tanaman komersial dan komoditas ekspor.

Baca juga: Nasi Sejak Dulu Kala

"Melalui sistem irigasi, hasil pertanian dapat ditingkatkan sehingga mencapai surplus," tulis Titi. "Karena sudah dapat memenuhi kebutuhan sendiri, kelebihannya menjadi komoditas di luar daerahnya."

Agni menyimpulkan, sistem ketahanan pangan diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber pangan masyarakat Jawa Kuno, terutama dalam menghadapi berbagai ancaman. Keberhasilan ketahanan pangan juga bergantung pada akses distribusi baik darat maupun sungai.

"Sampai sekarang tinggal di Indonesia dengan musim panas dan musim hujan, ada banjir, gunung berapi, angin kencang tak bisa melaut. Ini kondisi yang sudah terjadi sejak masa lalu," kata Agni.

TAG

bencana alam pertanian

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Padi Pak Jagus Perluasan Lahan Pertanian pada Zaman Kuno Mohammad Sardjan dan Islam Hijau Nasi Sejak Dulu Kala Cerita di Balik Tujuh Setan Desa AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Menapak Tilas Ken Angrok Ratu Kalinyamat Menjadi Pahlawan Nasional