Dalam amanatnya pada peringatan ulang tahun ke-19 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1965, Presiden Sukarno berkisah tentang Pak Jagus. Sukarno bertemu Pak Jagus ketika ibu kota berada di Yogyakarta. Ia menugasi petani dari Klaten itu untuk mengembangkan padi jenis baru.
Kepada Pak Jagus, Sukarno memberi tiga syarat dalam mengembangkan padi jenis baru ini. Pertama, padi tidak boleh menghabiskan banyak air. Kedua, meski minim air, hasil panennya harus sama dengan padi sawah biasa. Ketiga, padi baru ini rasanya harus enak.
Suatu hari, Pak Jagus datang menemui Sukarno. Ia membawa padi jenis baru hasil penelitiannya. Sukarno memerintahkan padi baru itu ditanam secara luas dan diberikan kepada rakyat untuk dicoba. Namun, ternyata hasilnya tidak memuaskan.
“Jawabnya yang makan nasi model baru ini: Ya betul Pak, padi ini tidak memerlukan air banyak, betul produksinya hampir dua kali, betul, tapi rasanya kok baik untuk diberikan kepada kuda saja,” kata Sukarno dalam amanat berjudul “P.W.I. Benar-Benar Mendjadi Alat Revolusi” itu.
Baca juga: Sediono Tjondronegoro, Profesornya Kaum Tani
Pak Jagus kemudian mengembangkan padinya lagi agar rasanya enak. Lalu pada suatu hari, ia memberanikan diri datang menghadap Sukarno dengan padi jenis baru lagi. Pak Jagus melaporkan telah berhasil membuat padi yang diharapkan Sukarno.
“Malahan sekaligus saya perintahkan supaya bibit yang dibawa oleh Pak Jagus ini ditanak, dimasak, di dapur Istana dan saya coba, rasanya memang lezat,” ucap Sukarno.
Sukarno kemudian memerintahkan Departemen Pertanian agar mempopulerkan padi yang dikembangkan Pak Jagus itu. Saking senangnya, Sukarno kemudian bernyanyi:
Siapa bilang aku ini orang Blitar,
Aku ini orang Prambanan,
Siapa bilang rakyat kita lapar,
Rakyat kita cukup makanan.
Lirik itu belakangan populer sebagai bagian dari lagu Bersuka Ria. Lagu berirama lenso itu digubah oleh musikus Jack Lesmana dan menjadi satu-satunya lagu yang dikarang oleh Sukarno.
Baca juga: Senandung Lenso ala Bung Karno
Pak Jagus memang bukan petani biasa. Ia merupakan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI). Menurut Bintang Timur, 2 September 1959, Pak Jagus merupakan pimpinan Lembaga Seleksi Tanaman di Klaten. Seturut laporan anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas) Dr. Tjokronegoro, penelitian padi di Klaten sendiri setidaknya telah dilakukan sejak 1941.
“Mulai tahun ‘41 butir-butir padi dalam setiap malai (tangkai) berhasil ditambah dari jumlah 350 butir menjadi 500 butir,” tulis Bintang Timur.
Pengembangan bibit padi terus berlanjut dan menghasilkan jenis-jenis baru pada 1944, 1947, 1955, dan 1956. Pada 1959, gabah kering berukuran 16 mm dari Lembaga Seleksi Tanaman Klaten memiliki berat 51 gram, di mana rata-rata berat padi biasa saat itu adalah 29 gram. Padi baru ini disebut memecahkan rekor padi dari Italia dengan berat 49 gram.
Baca juga: Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai
Lembaga Seleksi Tanaman yang dimaksud Bintang Timur, merujuk artikel Grace Leksana “Jagus dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita” yang diterbitkan Indoprogress.com, adalah Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan Pembibitan (JLPKPP) Klaten yang dipimpin oleh Pak Jagus.
Grace Leksana menyebut bahwa Jagus sendiri telah melakukan riset seleksi tembakau pada 1935. Ia kemudian mulai meriset padi dan mengembangkan jumlah butir padi pada 1941. Beragam penemuan Jagus kemudian menarik perhatian Sukarno pada 1947. Hingga pada 1959, dengan dukungan Sukarno melalui Dr. Tjokronegoro, JLPKPP didirikan.
“Di sinilah pada 1961, Jagus dan para koleganya menemukan empat varietas berikutnya, yaitu Bintang Ladang, Bimokurdo, Bimopakso, dan Retnodumilah. Jagus pun sempat menerima kunjungan Presiden Sukarno di rumahnya di Klaten,” tulis Grace.
Pak Jagus tak hanya menarik perhatian Sukarno. Menurut Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno Ideology and Politics, 1959–1965, keberhasilan Pak Jagus ini kemudian juga menjadi inspirasi Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam program meningkatkan produksi sandang dan pangan.
“Meminjam dari slogan-slogan dan kebijakan China, PKI meminta para anggotanya dan kaum tani untuk ‘membajak dalam-dalam, menanam lebih dekat, menggunakan lebih banyak pupuk, meningkatkan benih dan irigasi’, dan meniru karya perintis para inovator pertanian seperti Dr. Tjokronegoro dan Pak Jagus,” tulis Rex.
Baca juga: Cerita di Balik Tujuh Setan Desa
Dalam wawancara yang diterbitkan Bintang Timur, 20 November 1959, Ketua CC PKI D.N. Aidit mengatakan bahwa ia telah mengikuti perkembangan penelitian Pak Jagus dan Dr. Tjokronegoro selama bertahun-tahun melalui BTI Klaten.
“Mereka berhasil karena ada kerja sama yang akrab antara Sdr. Jagus yang sangat kaya pengalaman dengan Dr. Tjokronegoro yang rajin mempelajari teori ahli botani Mitjurin (ahli botani Ivan Vladimirovich Michurin, red). Sukses-sukses mereka adalah demonstrasi daripada perlunya ada perpaduan teori dengan praktik,” kata Aidit.
Pada awal 1962, program sandang pangan PKI berkembang menjadi “Gerakan 1001” yang menunjukan bahwa banyak cara kecil yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi sandang dan pangan.
Baca juga: Lumbung Padi yang Jadi Kawasan Industri
Pada tahun yang sama, menurut laporan Mingguan Djaja Isu 11-20, bibit padi Pak Jagus telah ditanam di Ciracas, Pasar Rebo oleh Yayasan Balai Pendidikan Tani. Bibit yang dinamai Sridono itu merupakan hasil penyilangan bibit Si Gadis dan Sridorodasih yang sebelumnya juga dikembangkan Pak Jagus. Bibit Sridono menghasillam 58 kg padi pada tanah percobaan 100 m2.
“Hasil yang dicapai itu bukan merupakan hasil maksimum, mengingat bahwa penanaman percobaan itu tidak dilakukan seintensif-intensifnya,” tulis Mingguan Djaja.
Pada saat yang sama, di Klaten, bibit padi Sridono telah menghasilkan 100 kwintal padi pada tanah seluas satu hektar.
Baca juga: Alkisah Beras Sintetis dari Zaman Orde Baru
Tahun 1965 tampaknya menjadi titik balik bagi Pak Jagus. Menurut Grace Leksana, Pak Jagus turut ditangkap bersama ratusan ribu orang yang dituding terlibat G30S.
“Tuduhannya tidak jelas, namun hampir pasti hal tersebut terjadi karena keterlibatannya dalam BTI. Nasibnya bisa dikatakan lebih baik, karena ia dilepaskan dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. Detail penahanan Jagus belum terlalu jelas,” tulis Grace.
Meski masih disebut-sebut dan dibanggakan Sukarno pada Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada 15 Januari 1966, nama Pak Jagus kemudian hilang sejak Orde Baru berkuasa. Padi-padi Pak Jagus juga tak dikenal hingga hari ini. Pak Jagus meninggal dunia pada 5 Oktober 1975 di Klaten.