Alkisah di dalam pewayangan, tersebutlah sebuah Kerajaan Amarta yang sedang mengadakan upacara selamatan. Kresna hendak menghadirinya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan pasukan raksasa, balatentara Durga.
“Hey, kamu para tentara Durga hendak ke mana?” tanya Kresna.
Rupanya para raksasa itu dalam perjalanan menuju Kerajaan Chedi. Orang-orang di kerajaan itu sudah lupa bersembahyang dan melakukan upacara.
“Kami diperintahkan oleh Durga untuk menghancurkan kerajan itu dan membuat mereka sakit,” jawab raksasa.
“Berapa kamu minta penduduk di sana untuk kamu buat sakit dan mati?” tanya Kresna lagi.
“Hanya seribu,” jawab raksasa.
Kresna lalu melanjutkan perjalanan ke timur, ke arah Amarta. Sementara pasukan raksasa juga berangkat untuk melaksanakan tugasnya.
Selesai acara di Amarta, Kresna kembali ke kerajaannya. Para raksasa juga pulang setelah selesai menunaikan perintah Bhatari Durga. Mereka bertemu lagi di jalan.
“Hey raksasa, mengapa kalian membunuh 5.000 orang? Katanya hanya 1.000?” tanya Kresna.
“Sebenarnya kami tetap membunuh 1.000. Tetapi 4.000 lainnya mati karena lari ketakutan. Mereka mati karena tak mengikuti perintah dari raja,” jawab raksasa.
Baca juga: Jakarta Mencegah Corona
Kisah itu dituturkan oleh dalang I Gede Wiratmaja Karang yang juga dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar dan guru SMKN I Bangli, dalam diskusi “Eksistensi Wabah: Fakta Masa Lampau Hadir pada Masa Kini”, yang diadakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melalui aplikasi Zoom di Jakarta, Selasa (21/4/2020). Di balik cerita itu, mungkin tersimpan jawaban mengapa kasus Covid-19 di Bali relatif lebih lambat dibandingkan wilayah lain.
I Gede Wiratmaja Karang menjelaskan bagi orang Bali, ada empat guru utama (catur guru) yang harus dipatuhi, yaitu pendeta sebagai guru pengajian, pemerintah sebagai guru wisesa, apa yang termuat dalam kitab sebagai guru swadhyaya, dan orangtua sebagai guru rupaka.
“Itu (catur guru, red.) patuhi saja. Kita tetap waspada, tidak usah dibesar-besarkan, hadapi dengan tenang, ikuti aturan yang sudah ditetapkan pemerintah, pasti berhasil,” katanya.
Selama hampir tiga bulan pandemik Covid-19, pada 21 April 2020 di Bali tercatat 150 orang postif, 42 orang sembuh, dan tiga orang meninggal dunia. Minimnya kasus Covid-19 di Bali bahkan sempat menjadi perhatian media asing. John Mcbeth memberitakannya lewat tulisan berjudul “Bali’s mysterious immunity to Covid-19” di asiatimes.com.
“Dua kematian Covid-19 di pulau itu sejauh ini adalah orang asing, termasuk seorang perempuan Inggris dengan masalah kesehatan yang mendasarinya,” tulisnya.
Baca juga: Keris Sakti dan Pagebluk Corona
Sementara itu, per 21 April 2020 di seluruh Indonesia tercatat 7.135 orang positif, 842 orang sembuh, dan 616 orang meninggal dunia.
Mcbeth menulis keheranannya melihat di Bali tak ada cerita luapan pasien di rumah sakit. Peningkatan jumlah yang tajam di krematorium atau bukti lainnya yang bisa menunjukkan merajalelanya virus ini di pulau itu juga tak tampak. Padahal dari 4,2 juta populasi di Pulau Dewata, ribuannya adalah warga negara asing. Lambatnya kasus Covid-19 di Bali pun disebut sebagai fenomena “kekebalan yang misterius” oleh media asing itu.
Bagaimana cara orang Bali mempertahankan diri dari wabah penyakit menjadi menarik. Mengingat pulau itu adalah tujuan wisata dari seluruh dunia. Ditambah lagi, berdasarkan keterangan Mcbeth, jumlah kedatangan wisatawan Tiongkok ke Bali meningkat sebesar 3 persen pada Januari 2020. Itu adalah bulan yang sama ketika Wuhan menetapkan kebijakan lockdown.
Kepercayaan tentang Wabah
I Gede Wiratmaja Karang menjelaskan bagaimana orang Bali pada masa lalu dan kini menyikapi dan melawan wabah. Wabah oleh orang Bali disebut dengan sasab atau grubug.
Istilah sasab diambil dari bahasa Sanskerta yang artinya terkunci dan tersembunyi. Jadi, penyakit yang ditimbulkan pun adalah penyakit yang tertutup. Pengobatannya juga sangat rahasia dan tertutup, susah untuk diselesaikan secara akal sehat.
Ada banyak mitologi yang dipercayai orang Bali untuk menjelaskan awal mula terjadinya wabah penyakit. Di antaranya tertulis di dalam beberapa lontar yang diwarisi hingga kini.
Baca juga: Mitos dan Tetenger Wabah Penyakit
Salah satunya yang menjelaskan kalau wabah berjangkit akibat Durga turun ke bumi. Setelah 12 tahun berada di dunia, Siwa pun turun menyusulnya dalam wujud ugra-nya. Keduanya pun bertemu di dunia. Mereka lalu berkasih-kasihan.
Saat keduanya bersenang-senang menghadap ke arah timur, ketika itulah terjadi grubug. “Saat keduanya menghadap timur, konon banyak orang yang sakit, biasanya muntah-muntah,” ujarnya.
Lalu ketika menghadap selatan, penduduk sakit terkena virus. “Sakitnya kena sasab dan merana,” katanya.
Saat sepasang dewa itu menghadap ke barat, penduduk akan terkena muntaber. Ketika menghadap ke utara, penduduk akan sakit seluruh badannya atau disebut gering lumintu.
Baca juga: Flu dan Penyakit Menular Zaman Kuno
“Kalau berada di tengah, biasanya penduduk sakit organ dalam, sakit telinga, hidung, dan tenggorokan yang diserang. Ini berdasarkan mitologi sakit di Bali,” jelasnya.
Dalam lontar lain juga ada cerita kisah Dewi Sri yang turun ke bumi karena dikejar dua raksasa kembar. Konon, inilah yang kemudian menyebabkan wabah penyakit atau sasab.
“Jadi banyak mitologi zaman dulu yang terwarisi di Bali, terkait dengan sasab,” ujarnya.
Tradisi Pengobatan
Sasab sudah dibicarakan oleh orang Bali Kuno sejak abad ke-11 berdasarkan Prasasti Pura Kehen yang tersimpan di Pura Kehen. Isinya menguraikan, kala itu di Desa Bangli merebak wabah penyakit yang disebut kegeringan atau grubuh. Banyak penduduk meninggal dunia.
“Karena banyak yang meninggal, desa di Bangli ini akhirnya di lockdown oleh raja,” jelas I Gede Wiratmaja Karang.
Sementara budaya pengobatannya, secara tradisional orang Bali mengenal dua kelompok lontar: kelompok usadha dan tutur. Tutur berisi tentang aksara gaib, anatomi tubuh manusia, falsafah sehat dan sakit, cara mendiagnosis penyakit. Sementara usadha berisi pengobatan, baik secara umum maupun dengan rajah atau benda bertuah.
Baca juga: Konsep Sakit dan Sehat dalam Primbon
Orang yang menjalankan usadha disebut balian. Istilah ini dalam sebutan baliyan atau prabaliyan disebut dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Haji Jayapangus (1177–1181).
“Dikeluarkan oleh Wangsa Warmadewa juga ada. Ini menandakan pada masa Bali Kuno sudah ada penanganan penyakit,” katanya.
Dalam naskah keagamaan, seperti Rig-veda, ditemukan pula cara menangani penyakit. Di antaranya mengkonsumsi makanan sehat dan bernapas dengan baik.
“Napas itu sumber kehidupan. Mengapa? Dalam hitungan orang Bali jantung adalah unsur utama kehidupan, selanjutnya napas, hati, usus, pankreas, empedu, dan diafragma, semua itu yang mengatur kehidupan manusia,” jelasnya.
Semua unsur dalam tubuh adalah simbol dari Tuhan, kehidupan, dan alam. Jadi, bagi orang Bali kalau sudah bisa menyeimbangkan alam kecil yang ada di tubuh dengan alam besar yang ada di dunia ini, kehidupan akan selalu berjalan aman dan bahagia. Tak akan sakit.
Baca juga: Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno
Bagi orang Bali, pengobatan cara tradisional ini masih relevan dengan masa kini. Bahkan, banyak orang Bali menjadikannya pilihan pertama alih-alih mereka menjalani pengobatan medis modern.
“Kita jangan berpandangan secara modern saja, karena banyak contoh tradisi yang sangat ampuh menghadapi permasalahan modern,” ujarnya. “Di Bali tradisi masih dijaga, masih dimanfaatkan, masih kami gunakan.”
Pun dalam menangani penyakit, selain berobat ke seorang baliyan, pendeta atau dokter, biasanya orang Bali selalu mengiringi prosesnya dengan doa. “Manusia itu beragama karena takut mati dan sakit. Jadi pendekatan agama dan budaya sangat diperlukan dalam menangani pandemi sekarang,” katanya.