KOLEKSI museum dengan nomor inventaris RV-3600-193 itu berasal dari Bali. Gagang dan sarungnya sudah cukup untuk menunjukkan benda itu khas Bali. Ya, benda dengan gagang berhias permata itu merupakan keris yang sudah lama menjadi bagian dari koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen (Museum Nasional Kebudayaan Dunia) di Negeri Belanda. Benda ini termasuk pusaka yang akan dikembalikan ke Indonesia.
Bagaimana keris asal Bali itu bisa sampai ke Negeri Belanda, kemungkinan terbesarnya adalah ia dibawa setelah dirampas oleh Tentara Kerajaan Hindia Belanda alias Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) pada April 1908. Ada dugaan keris itu milik Dewa Agung Jambe II, penguasa Klungkung. Pada Maret 1909, keris itu dibawa ke Museum Etnografi Akademi Militer Kerajaan (KMA) di Breda, lalu di tahun 1956 menjadi koleksi Museum Volkenkunde.
April 1908 adalah bulan yang panas antara tentara Belanda dengan orang-orang Bali di Klungkung. Pemerintah Hindia Belanda menginginkan Kerajaan Klungkung menjadi daerah pembayar pajak. Pada 18 April 1908, rumah candu dibakar di Gelgel dan mantri candu yang bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda juga dibunuh. Buku Sejarah Daerah Bali mennginformasikan, pihak Belanda lalu menuduh Cokorda Gelgel sebagai otak dari peristiwa tadi. Cokorda Gelgel adalah paman dari Dewa Agung Jambe II. Pemerintah Belanda lalu mengirim pasukan KNIL ke sana.
Baca juga: Repatriasi Bukan Sekadar Memulangkan Benda Bersejarah ke Tanah Air
Sosok Agung Jambe dikenal pihak Belanda di Bali sebagai orang paling berani terhadap Belanda. Dialah yang menjadi pemimpin perlawanan. Agung Jambe didukung para kerabatnya serta penghuni sekitar puri tempatnya tinggal.
Sebelum memasuki daerah pertahanan laskar Klungkung, pasukan KNIL memberikan tembakan-tembakan artileri terlebih dulu. Koran De Preanger-bode tanggal 27 April 1908 memberitakan, tembakan artileri Angkatan Laut (AL) Belanda itu mengarah ke pertahanan Klungkung. Agung Jambe dan pengikutnya hanya bertahan di dalam sebuah lubang besar ketika ditembaki artileri AL itu.
Raja Dewa Agung Jambe II dilaporkan sempat mengirim pesan kepada pejabat Belanda, meminta tembakan dihentikan. Namun, permintaanitu ditolak. Belanda tak akan berhenti menembak sampai Agung Jambe menyerah. Lantaran tembakan menakutkan itulah, seorang kerabat Agung Jambe memilih kabur dan masuk perlindungan pihak Belanda.
Sekitar malam 22 April 1908, laskar Klungkung menyerang sebuah jembatan di perbatasan Gianyar. Namun mereka dihalau oleh pasukan infanteri KNIL.
Baca juga: Di Balik Repatriasi Benda Bersejarah Indonesia dari Belanda
Perang penghabisan —yang biasa disebut puputan— terjadi pada 28 April 1908. Dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali, Made Sutaba dkk. menyebut Dewa Agung Jambe II bersama 108 pengikutnya terbunuh dalam Puputan Klungkung itu. Mayat-mayat bergelimang di sekitar Puri Smarapura. Beberapa anggota keluarga Agung Jambe, di antaranya keenam istrinya, bunuh diri dalam puputan itu.
Pada 30 April 1908, jenazah Dewa Agung Jambe II beserta pengikut yang gugur diabukan lalu dilarung ke Sungai Unda agar terbawa ke laut. Setelahnya, Klungkung dianggap aman. Koran De Preanger-bode tanggal 1 Mei 1908 menyebut setelah penyerangan 28 April itu hampir tak ada perlawanan berarti, kecuali tujuh tembakan.
Selain Klungkung, kerajaan-kerajaan Bali lain juga diduduki tentara KNIL. Pendudukan Bali itu dipimpin oleh Jenderal Mayor Marinus Bernardus Rost van Tonningen (1852-1927). Dia adalah ayah dari Meinoud Rost van Tonningen, salah satu tokoh fasis Belanda yang dalam Perang Dunia II bekerja sama dengan tentara Nazi Jerman di Negeri Belanda.*