KENDATI diperlakukan sebagai properti seperti umumnya budak-budak asal Afrika yang dipekerjakan orang-orang Belanda di Suriname, budak Wally dan dua saudaranya, Mingo dan Baratham, diberi “bonus”. Majikan mereka memberi hari libur tiap pekan dan satu hari khusus untuk perayaan ritual setiap pascapanen tebu.
Menurut Eveline Sint Nicolaas dalam “Wally: Surviving on a Plantation” yang termaktub di buku katalog Slavery: The Story of João, Wally, Oopjen, Paulus, Van Bengalen, Surapati, Sapali, Dirk, Lohkay, Wally merupakan satu dari 156 budak yang bekerja di satu dari tiga perkebunan tebu di Palmeneribo di hulu Sungai Suriname yang berjarak satu hari perjalanan perahu dari ibukota koloni Nederlands-Guiana (kini Suriname). Dua perkebunan lain berada di Waterland dan Surimombo.
Tiga perkebunan itu milik Elisabeth Basseliers, nyonya Belanda yang tinggal di Amsterdam. Elisabeth mempercayakan operasional perkebunannya kepada para manajer atau semacam mandor di Suriname. Elisabeth mewarisi tiga perkebunan itu secara turun-temurun dari keluarga besarnya.
Baca juga: Manisnya Kekayaan Oopjen dari Pahitnya Perbudakan
Sint Nicolaas mencatat, perkebunan dirintis Johan van Scharphuijzen, yang membuka perkebunan di Waterland. Ia membuka lagi dua perkebunan di Surimombo dan Palmeneribo pada 1671 dengan bantuan adiknya, Sara, dan suaminya, pastur Joan Basseliers. Ketiganya disatukan pengelolaannya oleh Van Scharphuijzen ketika Joan wafat pada 1689 dan diikuti Sara pada 1693.
“Johan van Scharphuijzen meninggal pada 1699 di Amsterdam dan mewarisi tiga perkebunan itu kepada Elisabeth Basseliers yang merupakan putri dari Joan-Sara sekaligus keponakan Van Scharphuijzen. Elisabeth kemudian dipinang seorang juru tulis dewan kota Amsterdam, Jonas Witsen dan Witsen mewarisi harta 88 ribu gulden serta tiga aset perkebunan tersebut saat Elisabeth meninggal kala melahirkan pada 23 Februari 1702,” ungkap Sint Nicolaas.
Dengan meninggalnya sang majikan utama, Elisabeth, dan propertinya diwariskan pada Witsen, suaminya, Wally mengira situasi di perkebunan akan lebih kondusif. Maka pada suatu pagi selepas mendengar kabar majikannya wafat, Wally memprovokasi para budak lain.
“Majikan lama kita di Belanda sudah meninggal; majikan baru kita sudah cukup kaya; kalian semua tak perlu bekerja begitu keras,” serunya pada sejumlah budak yang dari pagi buta sudah bekerja di kebun tebu.
Baca juga: Kisah Untung Surapati di Pameran Perbudakan Belanda
Ucapan Wally itu tercatat dalam sebuah berkas examinatie gedaan (pemeriksaan berita acara) ketika ia diinterogasi Sociëteit van Suriname medio Agustus 1707. Arsip bernomor 1.05.03, inv. no. 234 di Arsip Nasional Den Haag yang dikutip Sint Nicolaas itu menggambarkan kronologinya yang lantas membuahkan vonis hukuman mati pada Wally dan tiga budak lain pada 11 Agustus 1707.
Kisah dalam arsip langka dan beberapa sumber lain tentang Wally itu turut diungkap dalam pameran bertema perbudakan, “Slavery: Ten True Stories of Dutch Colonial Slavery”. Pameran hasil kolaborasi Rijksmuseum, pemerintah Belanda, dan PBB itu dibuka untuk umum di lobi tamu markas PBB di New York, Amerika Serikat sepanjang 27 Februari-30 Maret 2023.
Menuntut Keadilan dari Majikan Zalim
Pekerjaan budak dari perkebunan hingga ke tempat pengolahan tebu sama sekali bukan perkara enteng. Van Scharphuijzen mengerti betul itu. Ia sudah merantau ke Suriname sejak negeri itu masih koloni Inggris. Ketika Kongsi Dagang Hindia Barat WIC mulai menguasai Suriname, ia pun turut dalam proyek-proyek perluasan koloni. Perluasan itu dilakukan Sociëteit van Suriname, sebagai otoritas koloni setempat, bekerjasama dengan pemerintah kota Amsterdam sebagai pemberi izin segala kegiatan perkebunan, dan WIC sebagai penyuplai pekerja budak.
Dalam manajemen perkebunan, tidak semua pemiliknya berlaku keji. Van Scharphuijzen hanya satu dari sedikit dari pemilik perkebunan yang berkenan memberi beberapa kelonggaran pada para budaknya. Ia menyadari betul beratnya beban pekerjaan budak.
Baca juga: Budak Bukan Manusia?
Para budak, lanjut Sint Nicolaas, biasanya diberi dua hari libur, yakni pada Sabtu dan Minggu. Mereka dibebaskan melakoni apapun, yang umumnya dimanfaatkan untuk mengurus kebun sendiri atau beternak ayam dan babi guna dijual. Ada juga yang menemui famili serta pasangan yang diperbudak di perkebunan lain, seperti yang acap dilakoni Mingo saudara Wally. Mingo memiliki istri seorang budak di perkebunan milik Josua Serfatijn Pina yang berjarak setengah hari perjalanan dengan korjaal (perahu kano) via Sungai Suriname.
“Karena memang hanya di dua waktu akhir pekan itulah para budak punya waktu bertemu kerabat dan menanami kebun mereka sendiri. Para budak itu juga biasanya diberi izin melakukan perayaan sekali dalam setahun pascapanen. Mereka diperbolehkan bermain musik, menari, dan mempraktikkan ritual-ritual keyakinan mereka,” tambah Sint Nicolaas.
Namun, kebijakan yang diterapkan turun-temurun dari Van Scharphuijzen hingga Elisabeth itu berakhir ketika semua aset dan properti diwariskan pada Witsen. Realitas kehidupan Wally dan sesama budak di perkebunan itu berubah jadi lebih pahit.
Baca juga: Van Bengalen, Potret Para Budak dari Teluk Benggala
Sebagai “orang baru” di bidang perkebunan, Witsen setidaknya harus belajar dari nol tentang pengelolaan perkebunan dan sistem perbudakan. Ia mempelajarinya dari sebuah panduan pengelolaan perkebunan yang dituliskan pemilik perkebunan lain, Magdalena Boxel-van Gelre. Janda kaya itu menulis panduan untuk para pendatang baru Eropa yang ingin membuka perkebunan pada permulaan abad ke-18, bertajuk Aanwijzingen voor plantage-onderneming in Suriname.
“Membuka perkebunan baru adalah usaha yang sulit pada awalnya, apalagi dengan para budak baru yang belum berpengalaman. Jika memiliki budak-budak yang lebih tua dan terlatih, segalanya akan lebih mudah,” tulis Boxel-van Gelre.
Memulai perkebunan, lanjut Boxel-van Gelre, bukan sekadar menanam dan memanen. Itu mesti didahului oleh reklamasi tepi sungai, menggali kanal-kanal irigasi, membangun akses-akses pengangkutan hasil perkebunan serta drainase, dan membuka lahan dengan cara membakar semak-semak atau rerumputan. Pembakarannya harus dilakukan setidaknya tiga kali demi mendapatkan panen tebu berkualitas baik. Lantas, pengolahan tebu yang memadai untuk mengolah tebu menjadi gula padat baik yang mentah atau setengah jadi harus dibuat.
Baca juga: Gula dari Tulang-Belulang Prajurit di Waterloo
Rangkaian proses pengolahannya pun bukan pekerjaan mudah untuk dilakoni para budak. Di tempat pengolahan, tebu harus direbus untuk menghasilkan lika (sari tebu). Setelah itu, lika dimasak dengan kappa –atau semacam wajan besar– di atas tungku untuk mengubah sari tebu menjadi gula padat mentah atau setengah jadi. Gula mentah dan setengah jadi itulah yang dijadikan komoditas yang akan dikirim ke Belanda untuk diolah lagi menjadi beragam produk di pabrik gula.
Proses panjang perniagaan gula itu, menurut Boxel-van Gelre, tak bisa dilepaskan dari peran besar para manajer atau mandor yang tentu dari kalangan kulit putih. Manajer berperan besar mengatur sistem pekerjaan yang ketat berikut semacam rewards dan punishments kepada para budak di dalamnya.
“Mesti berlaku adil kepada para negro (budak, red.) selain harus bisa mengatur dan mengawasi. Beri mereka daging asin atau ikan kod asin saat mereka bekerja dengan baik; manajer kami yang baik, Van der K. sangat ketat menjaga kedisiplinan tapi dia tak pernah menghukum para budak kecuali jika memang mereka pantas dihukum, tetapi juga harus selalu menyediakan makanan melimpah dan saat mereka bekerja dengan lebih giat, mereka akan dihadiahi sebuah topi, atau sepasang celana panjang, atau gaun,” tukas Boxel-van Gelre.
Baca juga: Konflik Perbudakan Belanda-Portugis dari Mata João
Witsen mencoba menerapkannya, namun ia mencabut segala kelonggaran yang pernah dirasakan para budak di masa majikan sebelumnya. Lantas untuk pengelolaannya, Witsen menunjuk eks-dokter bedah Christiaan Westphaal sebagai manajer pada 1702. Witsen juga menugaskan Dirk Valkenburg, pelukis kenalan lamanya, untuk mendokumentasikan semua aset dan propertinya.
Alhasil para budak yang hanya mendapat satu hari jatah libur pada hari Minggu, mesti menelan getir. Tak terkecuali Wally dan dua saudaranya. Beberapa konflik antara Wally cs. dan Westphaal pun terjadi. Salah satunya dipicu aksi Westphaal menembak seekor ayam ternak peliharaan Baratham. Kemarahan Baratham dikompori Wally yang mengajak sejumlah budak, termasuk kedua saudaranya, berontak dan kabur ke hutan setelah mencuri beberapa pucuk senapan serta busur dan panah pada Desember 1706.
Tetapi setelah lima hari kabur di hutan, gerombolan Wally kembali ke perkebunan setelah dibujuk kepala pengawas perkebunan Sociëteit van Suriname, Jan van der Beek. Mereka setuju kembali setelah mendapat jaminan takkan dihukum oleh Westphaal.
Kendati demikian, kegusaran para budak itu tak berhenti sampai di situ. Klimaksnya terjadi pada medio Juni 1707. Kronologinya bermula dari Westphaal melarang Mingo menemui istrinya di perkebunan lain lantaran hari libur para budak cuma satu hari. Westphaal justru menyarankan Mingo mencari istri di perkebunan setempat. Khawatir Mingo bakal kabur, Westphaal lalu menghancurkan korjaal milik Mingo dengan kapak dibantu Valkenburg.
Baca juga: Suramnya Perbudakan Belanda di Suriname
Wally ikut “panas” melihat saudaranya ditindas. Sebanyak 22 budak diprovokasinya untuk kembali memberontak. Setelah melukai Westphaal dan Valkenburg, kelompok Wally lagi-lagi kabur ke hutan. Namun mereka berhasil ditangkap pada Juli 1707 dengan bantuan pasukan WIC dari Paramaribo. Mereka pun diinterogasi di Fort Zeelandia, Paramaribo selama Juli-Agustus 1707.
Usai interogasi, pemeriksaan silang dari kesaksian Westphaal dan Valkenburg, dua bersaudara Wally dan Mingo serta dua budak Joseph dan Charle dibawa ke meja hijau. Keempatnya divonis hukuman mati oleh hakim Cornelis de Huijbert.
Gubernur Nederlands-Guiana Willem de Gruijter menentukan eksekusinya dengan cara dibakar hidup-hidup di muka umum. Setelah itu kepala mereka dipenggal dan dipamerkan di tiang-tiang besi sebagai contoh kepada para budak lain.
“Hanya Baratham yang diberi pengampunan karena dia mengaku bersalah. Ke-19 budak lainnya ikut melarikan diri juga diampuni lewat surat gubernur dan dikembalikan ke perkebunan. Seiring hukuman (Wally) itu, hari libur Sabtu bagi para budak di semua perkebunan dihapuskan pada Agustus 1707. Seperti biasa, para pemilik budaklah yang menang,” tandas Sint Nicolaas.
Baca juga: Permintaan Maaf Belanda atas Praktik Perbudakan di Masa Lalu