Menonton film tak hanya menjadi hiburan favorit orang-orang masa kini. Pada zaman kolonial Belanda menonton film juga salah satu hiburan yang diminati penduduk di Batavia. Menonton gambar hidup, begitu kata penduduk Batavia saat hendak menonton film di bioskop. Kala itu film-film yang ditayangkan masih diputar di bioskop keliling. Baru pada awal abad ke-20, bioskop permanen didirikan di Jalan Tanah Abang Barat.
Pada 1920-an, tulis Tanu Trh dalam Kisah Jakarta Tempo Doeloe, di zaman pra film bersuara (soundfilm), jumlah bioskop di Batavia tak sebanyak seperti hari ini. Di daerah kota, yang biasa disebut benedenstad oleh masyarakat Belanda, hanya ada dua bioskop, yakni Gloaria Bioscoop di Pancoran dan Cinema Orion di Glodok. Sementara di bagian selatan kota, yang dinamakan bovenstad atau Weltevreden, terdapat Cinema Palace di Krekot, Globe Bioscoop di Pasar Baru, Deca Park di Gambir (sekarang Lapangan Monas), dan Dierentuin di Cikini (di kompleks TIM sekarang).
Penonton bioskop di kawasan bovenstad atau Weltevreden umumnya dari kalangan masyarakat atas, seperti orang-orang Belanda dan Eropa, para tuan toko (pemimpin perusahaan-perusahaan besar Belanda dan pegawai-pegawai stafnya), dan golongan berduit. Sementara penonton di bioskop-bioskop daerah kota umumnya dari kelas menengah ke bawah.
Baca juga: Yang Pertama dalam Sejarah Film dan Bioskop
Berbeda dengan bioskop zaman sekarang, bioskop di Batavia memiliki pengaturan tempat duduk penonton. Sejarawan Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi menulis, di zaman dahulu tempat duduk untuk penonton laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah lorong yang membelah sepanjang tengah-tengah bangsal dari depan ke belakang.
Hal senada diungkapkan Tanu bahwa sebagai penanda, papan dengan tulisan “perempuan” dipasang di bagian kiri bangsal untuk menunjukkan kursi-kursi itu disediakan bagi penonton perempuan. Sementara di sebelah kanan juga dipasang papan penanda bahwa kursi-kursi di bagian tersebut diperuntukkan bagi penonton laki-laki. Pemisahan tempat duduk kemungkinan pertimbangan moral dan sopan santun yang berlaku di masa itu.
Meski begitu pemisahan tempat duduk tak jarang merepotkan, khususnya bagi pasangan suami-istri, karena setelah selesai menonton mereka kesulitan mencari pasangannya. “Akibatnya, seringkali ketika bioskop bubar suami-istri harus saling mencari, sambil berteriak-teriak, tidak jarang pula mereka terpaksa pulang sendiri-sendiri karena tidak bisa bertemu,” tulis Alwi Shahab.
Baca juga: Bioskop Garuda, Dulu Primadona kini Tinggal Nama
Pemisahan tempat duduk penonton laki-laki dan perempuan tak berlangsung lama. Menurut Tanu, salah satu penyebabnya karena aturan itu tak dipatuhi dengan ketat oleh penonton. “Biasanya mereka yang membawa istri duduk bersama di bagian ‘perempuan’ atau bagian ‘laki-laki’, tanpa ada yang menghiraukan, melarang, atau memrotes,” sebutnya.
Para pasangan suami-istri tak ingin duduk terpisah agar tak kesulitan mencari pasangan satu sama lain setelah pertunjukan selesai dan penonton meninggalkan ruangan. Terlebih pertunjukan kala itu hanya berlangsung malam hari.
Walau sempat diberlakukan pemisahan tempat duduk penonton laki-laki dan perempuan, suasana dalam bangsal pertunjukan terbilang santai. Sampai-sampai cara berpakaian para penonton pun santai pula. Meski ada sejumlah penonton perempuan yang berdandan sesuai dengan kebiasaan bersolek serapi mungkin sejauh isi kantong mengizinkan, kaum pria berpakaian cenderung lebih santai. Memang ada yang mengenakan setelan jas komplet (jas tutup menurut mode zaman itu dan pantalon) lengkap dengan sepatu, namun ada pula yang hanya mengenakan piyama.
Baca juga: Cerita dari Gedung Bioskop Elite Metropole
Aturan mengecilkan suara saat menonton film juga belum diberlakukan. Tanu berkisah tak jarang ditemukan penonton yang mengobrol keras-keras diselingi gelak tawa, dan ada juga yang tiba-tiba mengenali seorang teman di kejauhan lalu berteriak-teriak memanggil namanya sambil melambaikan tangan.
Di sisi lain, Alwi Shahab menyebut tak adanya aturan pembatasan usia penonton membuat orang-orang yang menonton di bioskop kerap membawa anak-anak mereka. “Waktu itu hal yang biasa kalau ada ibu-ibu yang menyusui bayinya di bioskop,” sebutnya.
Hal unik lain terkait bioskop tempo dulu, yang tak lagi ditemukan di masa kini, adalah kehadiran orkes mini. Beberapa menit menjelang pertunjukan, mereka yang sebelumnya bermain di luar gedung bioskop, akan beriringan masuk ke dalam bangsal dan menempati tempat yang telah disediakan.
“Tugas mereka sekarang berubah: di luar untuk menarik perhatian khalayak, di dalam sebagai pengiring adegan film yang sebentar lagi akan terbentang di layar putih,” sebut Tanu.
Baca juga: Merekam Sejarah Musik Ilustrasi Film
Namun, sebelum pertunjukan dimulai, pemain orkes mini lebih dulu menghibur para penonton dengan beberapa lagu. Musik juga mengiringi setiap adegan dalam film yang diputar. Pasalnya, di masa itu kebanyakan film yang diputar merupakan film bisu hitam-putih dan berukuran layar kecil. Kehadiran orkes mini yang memainkan musik untuk mengiringi tiap adegan dalam film tentu menjadi nilai tambah bagi para penonton. Biasanya lagu-lagu yang dimainkan orkes mini disesuaikan dengan corak adegan yang sedang berlangsung di layar.
“Adegan-adegan serius diiringi lagu-lagu tenang, misalnya walz atau irama lambat,” kata Tanu, “Adegan-adegan mengharukan atau sedih dikuatkan dengan lagu-lagu sedih pula.” Sementara lagu-lagu mars yang berirama cepat dimainkan untuk mengiringi adegan-adegan seperti kejar-kejaran di atas kuda atau perkelahian dan sebagainya.
Baca juga: Menelisik Sejarah Musik Ilustrasi Film di Indonesia
Tanu menyebut pertunjukan film tempo dulu berlangsung selama satu jam lebih tanpa istirahat seperti kebiasaan sekarang. Waktu istirahat tak diperlukan karena pada masa itu bioskop-bioskop belum menggunakan proyektor ganda (masing-masing berkapasitas empat reel). Proyektor yang digunakan berkapasitas satu reel, yang jika sudah habis terputar terpaksa berhenti dulu untuk memasang reel baru pada proyektor. Waktu menunggu bagi penonton ini diisi dengan penampilan slide-slide film-film yang akan datang. “Waktu itu istilah populernya ‘gambar mati’ kata Tanu.
Oleh karena itu, jika dalam satu kali pertunjukan diputar enam reel film, maka lima kali selingan “gambar mati” selama beberapa menit. “Kalau beberapa menit itu dikali lima, maka kita akan mendapatkan jumlah waktu yang kira-kira sama dengan jangka waktu istirahat dalam pertunjukan-pertunjukan film sekarang,” kata Tanu.*