Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959, Presiden Sukarno menyinggung mengenai imperialisme kebudayaan. Ia menyebut pemuda-pemudi Indonesia yang katanya anti-imperialisme ekonomi dan imperialisme politik, justru membiarkan imperialisme terhadap kebudayaan.
Sukarno menyebut musik ngak-ngik-ngok, rock ‘n roll, dan dansa-dansi ala cha-cha-cha sebagai produk-produk imperialisme di lapangan kebudayaan. Sebagai gantinya, ia mendorong tari dan irama yang disebut lenso.
Baca juga: Senandung Lenso ala Bung Karno
Sukarno tak menganggap remeh invasi kebudayaan imperialis. Selain mendorong pemuda untuk turut membasminya, ia juga mengerahkan aparat untuk menindak mereka yang masih ngeyel menggemarinya.
“Saya telah memberi instruksi kepada menteri muda Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan untuk mengambil tindakan-tindakan di bidang kebudayaan ini, untuk melindungi kebudayaan nasional dan menjamin berkembangnya kebudayaan nasional,” kata Sukarno dalam pidato berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” itu.
Belakangan diketahui grup musik Koes Plus dipenjara pada 1965 karena membawakan lagu The Beatles, grup musik asal Inggris. Selain itu, bukan hanya musiknya, pada tahun yang sama gaya rambut The Beatles dan gaya rambut sasak juga kena larangan.
Di Makassar misalnya, Team Komando Gerakan Penertiban Kotapradja Makassar menggelar razia terhadap gaya rambut The Beatles, sasak, dan rok ketat. Mula-mula mereka memberikan peringatan kepada muda-mudi Makassar hingga melakukan pencegatan. Tak hanya ditegur, mereka juga kena pengguntingan di tempat.
Baca juga: Selamat Tinggal Penyanyi Tua
Pencegatan juga dilakukan di depan bioskop-bioskop di mana muda-mudi mudah ditemui. Mengetahui di pintu bioskop telah siap petugas yang akan menggunting rambut, mereka buru-buru mengubah penampilan.
“Ialah serentak setelah para penonton yang masih berada dalam gedung bioskop mengetahui adanya pencegatan di pintu, maka para wanita yang berambut sasak lari terbirit-birit masuk WC, bukan untuk membuang air tetapi untuk membongkar rambut yang disasak pada kepalanya masing-masing,” tulis Suara Merdeka, 23 Juni 1965.
WC yang biasanya digunakan untuk buang air, berubah jadi kamar rias yang menyelamatkan rambut mereka. Keluar dari bioskop, mereka pun lolos dari gunting aparat.
Baca juga: Kutu Subversif dalam Rambut Gondrong
“Sementara itu, dari pimpinan Komando Gerakan Penertiban Kotapradja Makassar diperoleh keterangan, bahwa tindakan-tindakan terhadap rambut The Beatles, rambut sasak, dan rok ketat ini pada waktu-waktu yang akan datang akan dilakukan lebih keras lagi,” tulis Suara Merdeka.
Menurut Suara Merdeka, Komando Gerakan Penertiban dibentuk dari Angkatan Bersenjata dalam kota, hansip, pemerintah kotapraja, serta jawatan-jawatan yang dianggap berkaitan dengan pembangunan mental masyarakat.
Baca juga: Razia Celana Jengki Pakai Botol Bir
Jika di Makassar rambut-rambut kena screening, di Jakarta ratusan piringan hitam dan tape recorder yang berisi lagu-lagu The Beatles juga kena razia. Aset yang diperkirakan senilai puluhan juta rupiah itu terjaring Operasi Hapus oleh Angkatan Kepolisian VII/Jaya.
Koran Pedoman, 10 Juli 1965 seperti dimuat Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI, melaporkan peringatan kepada para pedagang piringan hitam agar menyerahkan semua piringan hitam yang bernadakan ngak-ngik-ngok dan The Beatles mulai saat ini sampai batas waktu 22 Juli 1965. Tindakan ini diambil sesuai dengan instruksi presiden untuk kembali kepada kepribadian dan kebudayaan sendiri sesuai dengan Trisakti Tavip (tahun vivere pericoloso atau tahun menyerempet-nyerempet bahaya) di bidang kebudayaan.*