PROKLAMATOR dan Presiden pertama RI Sukarno, dikenal sebagai seorang pencinta. Tidak hanya pencinta seni, Bung Besar juga pencinta makhluk Tuhan bernama wanita. Tidak heran sepanjang hidupnya acap diramaikan kisah-kisah percintaan dengan sembilan istri.
Ada yang bertahan sampai akhir hayat Putra Sang Fajar, ada pula yang akhirnya menggugat cerai. Dari kesembilan istri Bung Karno, enam di antaranya berakhir dengan perceraian; Siti Oetari, Inggit Garnasih, Kartini Manoppo, Haryati, Yurike Sanger dan Heldy Djafar.
Sukarno dan Oetari
Lantaran menumpang di rumah “mentornya”, HOS Tjokroaminoto di Gang Paneleh, Surabaya, Sukarno muda bisa dekat dengan keluarganya. Termasuk dengan Siti Oetari, putri sulung HOS Tjokroaminoto. Sukarno memutuskan untuk menikahinya pada 1921. Ketika itu, Oetari belum lama ditinggal mati ibunya dan membuat kondisi keluarga Tjokroaminoto tertekan.
“Bila aku perlu menikahi Oetari guna meringankan beban orang yang kupuja itu (Tjokroaminoto), itu akan kulakukan,” cetus Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams. Ketika itu, usia Bung Karno belum 21 tahun dan Oetari juga masih 16 tahun. Keduanya seolah “kawin gantung” karena Sukarno muda belum berniat hidup seperti lazimnya suami-istri. Keduanya pun secara usia sejatinya belum matang untuk melepas masa lajang.
Baca juga: Apa kata Maia Estianty tentang kakeknya, HOS Tjokroaminoto
Di tahun itu pula Sukarno pindah ke Bandung untuk berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung/ITB). Namun baru dua tahun di Bandung, Sukarno memilih menceraikan Oetari. Gara-garanya, Sukarno muda menemukan kepincut istri orang yang merupakan cinta sejati pertamanya –Inggit Garnasih, hingga memutuskan menceraikan Oetari pada 1923 dan menikahi Inggit.
“Ini cinta yang sebenarnya. Cinta dewasa yang sudah ada birahi di dalamnya. Akhirnya Inggit bilang ke Sanusi, Sukarno bilang ke Tjokro. Jadi Sukarno memulangkan Oetari ke Pak Tjokro baik-baik. Sanusi juga berpesan pada Sukarno, jangan sia-siakan Inggit,” tutur Roso Daras, Sukarnois dan penulis buku-buku Sukarno kepada Historia.
Sukarno dan Inggit Garnasih
Kisah percintaan Sukarno dan Inggit berawal dari asmara terlarang di Kota Kembang. Sukarno yang pada 1921 baru pindah ke Bandung, statusnya suami orang (Siti Oetari). Inggit yang usianya juga lebih tua 13 tahun, berstatus istri orang (H Sanusi, politisi Sarekat Islam). “Tapi ya sifatnya kawin gantung karena keduanya (Sukarno dan Oetari) masih sangat muda,” cetus Roso Daras.
Di rumah kos di Bandung milik Inggit itulah benih-benih cinta tersemai. Sampai akhirnya mereka memutuskan menikah pada 24 Maret 1923. Tentunya setelah Sukarno menceraikan Oetari dan Inggit menceraikan H Sanusi. Susah senang dilalui bersama. Termasuk ketika Sukarno dibui di Penjara Banceuy, hingga mesti diasingkan ke banyak tempat, salah satunya Bengkulu, di mana Sukarno pertama kali bertemu Fatmawati.
Baca juga: Inggit Garnasih yang menyayangi Sukarno
Nama terakhir ini memincut hati Sukarno yang ketika itu belum jua punya keturunan dari Inggit. Keinginan Sukarno menikahi Fatmawati “digugat” Inggit. Istri yang setia menemaninya sekitar dua dekade itu memilih minta cerai ketimbang dimadu. Bahtera rumah tangga mereka pun berakhir pada 1942, disertai sejumlah perjanjian perceraian. Seperti janji Sukarno membelikan rumah di Bandung, maupun pemberian nafkah seumur hidup.
“(Tapi) Inggit tidak pernah sekalipun menanyakan, apalagi menuntut suatu hal yang dijanjikan Sukarno dalam surat perjanjian cerai, yang juga disaksikan dan ditandatangani oleh Moh Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan KH Mas Mansoer pada 1942,” tulis Ramadhan KH dalam Soekarno: Ku Antar ke Gerbang
Sukarno dan Kartini Manoppo
Dari seni turun ke hati. Bung Karno jatuh hati pada seorang model dan mantan pramugari. Namanya Kartini Manoppo. Bidadari jelita asal Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara yang sempat jadi salah satu model lukisan karya Basoeki Abdullah yang dikagumi sang Pemimpin Besar Revolusi. Setelah ditanya siapa modelnya dan alamatnya, Sukarno mendekati Kartini.
“Kartini yang menjadi pramugari pesawat Garuda, lantas dimintanya ikut terbang setiap kali Presiden Sukarno ke luar negeri,” ungkap Peter Kasenda dalam Bung Karno: Panglima Revolusi. Rayuan maut Sukarno juga melelehkan hati Kartini yang berkenan dipinang sebagai istri kelima. Walau pada akhirnya, mereka tak menikah secara resmi, melainkan hanya nikah siri pada 1959.
Baca juga: Pramugari yang menolak cinta Sukarno
“Keluarga tidak menyetujui. Pantang bagi keluarga terpandang putri kesayangannya jadi istri kelima meski dia seorang presiden. Itulah kenapa saya tidak menikah secara resmi dengan Bung Karno,” kenang Kartini di buku Bung Karno! Perginya Seorang Kekasih, Suamiku dan Kebanggaanku.
Namun perubahan situasi politik pasca-Tragedi 1965, turut mengguncang hubungan Sukarno dan Kartini, hingga Kartini diminta Sukarno “menyelamatkan” diri ke Eropa. “Kartini diminta ke Eropa demi keselamatan mereka. Bung Karno tidak mau Kartini yang sedang hamil, terjadi sesuatu di Indonesia,” ujar Roso Daras.
Di Nurnberg, Jerman pada 17 Agustus 1966, Kartini melahirkan seorang putra yang dinamai Bung Karno, Totok Surjawan. Dua tahun berselang, keduanya memutuskan berpisah.
Sukarno dan Haryati
Sejak mengagumi keindahan tarian dan kemolekan tubuh Haryati pada suatu momen, Sukarno langsung jatuh hati. Tak pelak segala jurus rayuan dilontarkan hingga menjerat pula hati sang penari yang juga merupakan staf Sekretariat Negara Bidang Kesenian itu. Sukarno lantas menikahinya gadis berusia 23 tahun itu pada 21 Mei 1963 dengan hajatan sederhana.
“Bapak berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak diumumkan kepada masyarakat luas,” terang Haryati saat ditanya Cindy Adams yang dituangkan ke buku keduanya tentang Sukarno, My Friend the Dictator. Sayangnya di antara yang lain, Haryati termasuk yang paling tidak akur dengan istri atau keluarga istri Sukarno yang lain.
Baca juga: Pertemuan Soeharto dan Dewi di lapangan golf
“Ibu Dewi (Ratna Sari Dewi, istri keenam Sukarno) pernah berang dan naik pitam melihat kehadiran Ibu Haryati dan perkataannya. Memang demikian aku pun pernah tersinggung karena ucapan-ucapannya,” ungkap Rachmawati Sukarnoputri di buku Bapakku, Ibuku.
Gonjang-ganjing Tragedi 1965 juga mempengaruhi hubungan Sukarno dan Haryati, hingga akhirnya Sukarno memilih menceraikannya pada 1966. “Perceraianku dengan engkau ialah karena kita rupanya tidak ‘cocok’ satu sama lain,” tulis Sukarno dalam surat perceraiaannya yang dikutip Reni Nuryanti dalam Perempuan dalam Hidup Sukarno.
Sukarno dan Yurike Sanger
Kisah cinta Putra sang Fajar dengan seorang pelajar. Bung Karno mengenal Yurike semasa sang gadis masih tergabung di Barisan Bhinneka Tunggal Ika, di sebuah acara kenegaraan pada 1963. Pemimpin kharismatik itu juga tak ayal bikin Yurike jatuh hati lewat beragam perhatiannya, hingga memutuskan menghalalkan hubungan mereka ke hadapan penghulu pada 6 Agustus 1964.
Sebagaimana dengan istri-istrinya yang lain, Yurike kian kesulitan bertemu suaminya pasca-Tragedi 1965. Terlebih setelah Bung Karno mulai sakit-sakitan. Pada suatu ketika Yurike bisa membesuk suaminya di Wisma Yaso, Bung Karno melayangkan permintaan yang menusuk hatinya. Yurike diminta bercerai demi masa depan Yurike sendiri. Permintaan yang awalnya ditolak sang istri muda.
Baca juga: Rahasia Bung Karno dan perempuan Filipinanya
“Dengan terpaksa kupenuhi permintaannya. Kami bercerai secara baik-baik (pada 1967). Sungguh mengharukan karena kami masih sama-sama mencintai. Kami berpisah saat kami sedang rapat bersatu,” kenang Yurike dalam Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA: Biografi Cinta Presiden Sukarno dengan Yurike Sanger karya Kadjat Adra’i.
Sukarno dan Heldy Djafar
Sebagaimana pula Yurike Sanger, Heldy Djafar bisa bertemu dan dekat dengan Sukarno semasa tergabung di Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Tarian lenso keduanya pada sebuah acara di Istana Negara, seolah jadi titik balik kisah mereka yang sama-sama jatuh hati. Keintiman keduanya kian rapat dari waktu ke waktu, sampai Sukarno meminangnya dan menikahinya pada 11 Juni 1966 di Istana, tepatnya di Wisma Negara.
Namun bahtera rumah tangga mereka hanya bertahan dua tahun. Selain karena sudah dimakzulkannya Sukarno, sang pemimpin besar revolusi pun mulai sakit-sakitan. Untuk bisa bertemu saja harus di rumah Yurike, di Jalan Cipinang Cempedak, Polonia, Jakarta Timur. Di sisi lain, Heldy mulai gundah karena ada “orang ketiga”. Di antara para pengagum Heldy, ada seorang pemuda yang paling gigih, Gusti Soeriansjah Noor, putra Pangeran Mohammad Noor, mantan Menteri Pekerjaan Umum.
Baca juga: Sukarno dan skandal diplomat 20 Persen
Hingga suatu ketika kala keduanya bertemu di masa sulit, Heldy meminta izin untuk menjauh dari Sukarno. “Mas, maafkan saya, kalau saya boleh menjauh dari Mas untuk melepaskan diri. Kondisi dan suasana saat ini sangat menyakitkan hati saya. Tidak bisa begini terus. Harus ketemu di rumah orang lain,” lirihnya dalam Heldy: Cinta Terakhir Bung Karno karya Ully Hermono dan Peter Kasenda.
Kata-kata itu menyiratkan Heldy minta cerai. Namun ditolak Sukarno yang belum ingin berpisah. Seiring waktu, status mereka kian tak jelas. Dibilang istri sulit, cerai pun tidak. Sampai akhirnya Heldy menerima pinangan Gusti Soeriansjah pada 19 Juni 1968.