BARONG-barong menari. Di sekelilingnya warga desa asyik menonton sembari mengarak barong. Dengan membawa obor berkaki empat, warga desa mengiringi rombongan barong sebagai bagian dari perayaan Tumpeng Sewu.
Setiap rumah setidaknya mengeluarkan satu hidangan tumpeng untuk dimakan bersama-sama. Diterangi obor, orang-orang duduk bersila di depan rumah. Di hadapan mereka tersedia tumpeng yang ditutup daun pisang, lengkap dengan lauk khas Kemiren: pecel pitik dan sayur lalapan. Begitu doa selesai dipanjatkan, kenduri massal dimulai.
Tumpeng Sewu adalah tradisi adat warga Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Disebut Tumpeng Sewu karena jumlah tumpeng yang disajikan amat banyak. Dalam kultur Jawa, kata “sewu” merupakan metafor untuk menggambarkan jumlah yang tak terhitung.
Baca juga: Masjid di Jantung Banyuwangi
Perayaan ini merupakan ritual bersih desa yang dilakukan satu tahun sekali seminggu sebelum Idul Adha. Tradisi ini sudah hidup di masyarakat Osing Desa Kemiren sejak berpuluh-puluh tahun.
Buyut Cili
Tumpeng Sewu merupakan upacara slametan warga Kemiren, yang ditetapkan sebagai Desa Wisata Osing, untuk mengungkapkan rasa syukur sekaligus selamatan tolak bala. Tradisi ini tak bisa dilepaskan dari keberadaan makam Buyut Cili, dhanyang atau pendiri Desa Kemiren.
Sosok Buyut Cili hidup dalam tradisi lisan. Konon, Buyut Cili yang bernama asli Marjanah adalah seorang petani. Bersama istrinya, ia melarikan diri dari Kerajaan Macan Putih (kini letaknya di sekitar Rogojampi) agar tak dijadikan makanan bagi macan piaraan penguasa. “Dalam istilah Osing mereka menyingkir atau ngili,” tulis Siti Maria dalam Komunitas Adat Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.
Pelarian Marjanah berhenti di sebuah hutan lebat yang ditumbuhi pohon durian dan kemiri. Di situlah dia membabat alas, mengubah hutan jadi sebuah desa. Kini desa itu dinamakan Kemiren. “Karena ia pernah ngili, lantas masyarakat menyebutnya Buyut Cili atau Bo Cili,” tulis Siti Maria.
Baca juga: Kuda Lumping Gaya Banyuwangi
Versi lain menyebut Buyut Cili semula seorang patih Mataram yang mengungsi (ngili) ke Blambangan setelah terjadi geger Mataram. Setiba di Blambangan, ia mengabdikan diri di Kerajaan Macan Putih. Di kerajaan ini terdapat tradisi bahwa setiap tahun raja memakan manusia, khususnya perempuan bertubuh tinggi dan gemuk. Karena istrinya masuk daftar tumbal, Buyut Cili dan istrinya mengungsi.
Varian dari cerita tutur menyebut Buyut Cili sebagai orang sakti Majapahit yang beragama Hindu, pendeta, atau begawan. Terlepas dari beragam versi itu, Buyut Cili dipercaya masyarakat Kemiren sebagai pendiri sekaligus penunggu desa.
Untuk menghormatinya, warga Kemiren kerap berziarah ke makam Buyut Cili untuk meminta berkah. Begitu pula jika ada pesta atau selamatan desa seperti Barong Ider Bumi dan Tumpeng Sewu.
Menurut Dwi Ratna Nurhajarini dalam “Selametan Desa Tumpeng Sewu” di buku antologi Satu Bendera Beda Warna, ritual Tumpeng Sewu belum lama hadir di masyarakat Kemiren. Semula masyarakat memiliki tradisi selamatan desa yang dilakukan setiap hari Kamis atau Minggu sore pada minggu pertama Bulan Besar atau Bulan Haji. Hari Kamis dan Minggu sore dalam perhitungan Jawa sudah masuk hari Jumat dan Senin. Selamatan dilakukan sebagai ucap syukur kepada Yang Kuasa, yang telah menjauhkan warga Kemiren dari segala marabahaya. Selamatan juga diniatkan sebagai persembahan kepada Buyut Cili yang telah menjaga desa.
Baca juga: Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi
Semula kegiatan itu melibatkan warga satu lingkungan terdekat. Namun kemudian berubah menjadi ritual satu desa yang dilakukan serentak. “Acara yang semula hanya berupa selamatan pecel pithik yang digelar tiap lingkungan, kemudian dijadikan satu dan serentak dengan ruang utama di sepanjang jalan utama Desa Kemiren dan jalan-jalan kecil yang menghubungkan Kemiren dengan daerah lain,” tulis Dwi.
Sarat Makna
Persiapan acara dilakukan sejak dini hari. Pada pukul enam pagi, para lelaki di Desa Kemiren sibuk mengupas kelapa. Setelahnya para ibu mulai memasak dan menyiapkan hidangan untuk perayaan Tumpeng Sewu.
Selain menyiapkan makanan, pada tengah hari warga desa menjemur kasur (mepe kasur) di halaman masing-masing. Tradisi ini diyakini bisa mengusir penyakit. Sebab, masyarakat Osing percaya sumber penyakit datangnya dari tempat tidur.
Kasur warga Kemiren berbeda dari kasur di tempat lain karena warnanya yang unik, yaitu merah dan hitam. Warna merah menyimbolkan keberanian sementara warna hitam melambangkan ketenteraman atau kelanggengan.
Baca juga: Buto Menari di Banyuwangi
“Secara umum warna merah hitam merupakan perlambang agar orang yang berumah tangga berani menghadapi tantangan kehidupan dan menjaga ketenteraman rumah tangganya,” tulis Wiwin Indiarti dkk dalam penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas PGRI Banyuwangi tahun 2013.
Keluarga kelompok barong yang akan tampil pada acara Tumpeng Sewu adalah pihak yang paling sibuk. Mereka harus menyiapkan sesaji sebagai syarat utama ritual. Masyarakat percaya sesaji yang kurang lengkap bisa berdampak buruk.
Begitu tenda untuk perayaan Tumpeng Sewu dibangun, sesaji sudah siap di depan rumah dan gending Kebo Giro akan terus ditabuh hingga arak-arakan dilakukan. Pada siang hari, dengan membawa sesaji, keluarga kelompok barong berziarah ke makam Buyut Cili untuk meminta izin.
Sesaji makam Buyut Cili dihidangkan sego gurih yang ditata di atas tampah beralas daun pisang. Di atasnya ditutup daun pisang untuk menaruh lauk, seperti gimbal jagung, telur dadar, sate aseman daging sapi, abon ayam, irisan mentimun, paha dan sayap ayam goreng masing-masing dua dan ditata dalam empat penjuru mata angin. Ada pula jeroan ayam goreng yang diletakkan di tengah dan kerupuk rambak. Semua hidangan ini ditutup lagi dengan daun pisang yang bagian pinggirnya disemat dengan lidi sehingga tertutup.
Baca juga: Menak Jingga yang Ganteng
Penataan ayam yang menghadap empat penjuru mata angin, menurut Wiwin Indiarti dalam “Makna Kultural: Ritual Hidangan Tumpeng Sewu di Kemiren” dalam buku antologi Jagat Osing, menyimbolkan keyakinan mengenai dulur papat lima pancer hang bareng lahir sedina. Maksudnya, manusia konon terdiri atas empat anasir, yakni getih abyang (api), getih putih (air), getih kuning (udara), dan getih cemeng (tanah). Dari situlah wujud kasar yang mewadahi sukma manusia dibentuk. Harapannya, orang yang memakan hidangan tersebut akan punya keharmonisan antara empat unsur tersebut dan sukma.
Pada sore hari dilakukanlah arak-arakan barong mengelilingi desa. Setelah itu diadakan selamatan barong dengan menu utama tumpeng serakat yang bentuknya tak kerucut sempurna. Tumpeng ini dialasi daun ilalang, klampes, dan sriwangkat. Tiap daun mengandung pengharapan berbeda. Daun ilalang menjadi simbol doa agar warga Kemiren dapat mengatasi masalah dengan baik. Daun klampes bermakna agar tak mengalami apes. Dan daun Sriwangkat bermakna agar selalu mengalami keberhasilan. Tumpeng serakat yang habis dimakan warga juga dimaknai sebagai lenyapnya malapetaka. Sebab ada idiom ilango serakate kariyo selamete (malapetaka hilang dan kita selamat).
Baca juga: Temu Legenda Banyuwangi
Puncak acara adalah selamatan Tumpeng Sewu setelah Maghrib. Setiap rumah mengeluarkan minimal satu tumpeng yang di letakkan di depan rumah. Lauk khasnya: pecel pitik.
Bentuk tumpeng yang mengerucut punya makna pengabdian pada Sang Pencipta. Sementara pecel pitik punya arti “ngucel-ucel barang sithik”. Wiwin Indiarti menyebut, pecel pitik punya beragam makna yang hidup di masyarakat Osing. Ada yang mengartikannya sebagai meski hanya sedikit, orang harus senantiasa bersyukur dan berhemat. Ada pula yang memaknainya sebagai “mugo-mugo barang hang diucelucel dadio barang hang apik” (semoga segala yang diupayakan membuahkan hasil baik).
Hidangan lain yang umum ditemui dalam peringatan Tumpeng Sewu ialah ayam kampung kuah lembarang, jenang merah putih, dan jajan pasar, seperti rengginang, peyek kacang, onde-onde, nagasari, dan lain-lain.
Ritual Tumpeng Sewu, yang dulu dilakukan di lingkungan terbatas, sudah berubah penuh kemeriahan tanpa mengurangi makna ritual itu sendiri. Pada 2013, tradisi Tumpeng Sewu diangkat dalam agenda pariwisata Banyuwangi Festival. Sejumlah wisatawan baik asing maupun dalam negeri bisa ikut menikmati tradisi ini. Mereka berbaur dengan warga menikmati pecel pitik. Warga pun tak sungkan menyambut mereka dan mengajak makan bersama.