PAGI 6 April 1917. Kopral Tom Blake (diperankan Dean-Charles Chapman) dan sahabatnya, Kopral Will Schofield (George MacKay), dari Batalyon ke-8 pasukan Inggris tetiba dibangunkan dari istirahat singkatnya oleh Jenderal Erinmore (Colin Firth). Keduanya diberi misi berbahaya: menyampaikan pesan berisi perintah langsung.
Blake dan Schofield diperintahkan menerobos garis kubu Jerman guna mengantarkan pesan untuk Kolonel Mackenzie (Benedict Cumberbatch). Opsi itu diambil Erinmore lantaran jaringan telegram sudah diputus oleh Jerman.
Sebelumnya Mackenzie, komandan batalyon ke-2 Resimen Devonshire, berencana mengejar sisa-sisa pasukan Jerman yang mundur. Namun laporan pengintaian udara menginformasikan, ternyata Jerman mundur secara teratur dan teroganisir membentuk kekuatan baru di Hindenburg Line. Jadi 1.600 pasukan Mackenzie, termasuk Letnan Joseph Blake, kakak Kopral Tom Blake, akan masuk ke perangkap Jerman.
Demikianlah premis lima menit awal film 1917 karya sutradara Sam Mendes. Karya itu terinspirasi dari kisah kakeknya, Alfred Mendes, yang juga pernah bertugas di Perang Dunia I (PD I) sebagai kurir di pasukan Inggris.
Baca juga: Memori yang Membekas dalam 1917
Sebagaimana subjudul yang dicantumkan Mendes dalam 1917, “Time is the Enemy”, Mendes menggulirkan alur cerita dengan sangat cepat. Tak payah ia harus membangun emosi karakter-karakter pemerannya seperti film-film bertema perang lain semisal Saving Private Ryan (1998).
Penonton akan diajak hanyut dalam petualangan Schofield dan Blake yang hanya punya waktu satu hari untuk melintasi beragam medan bermil-mil panjangnya dari markas mereka ke Hutan Croisille, tempat kubu terdepan pasukan Resimen Devonshire. Walau tak menghadirkan adegan perang secara kolosal, bisa jadi secara tak sadar semangat Anda akan ikut terpacu oleh aksi mereka dan itu jadi bagian menariknya.
Hal menarik lainnya yakni beberapa scene menegangkan. Mulai dari scene keluar dari parit terdepan pertahanan Inggris hingga aksi sprint Schofield di tengah ledakan dalam pertempuran gelombang pertama Resimen Devons, demi menemui Kolonel Mackenzie. Berhasilkah ia? Saksikan sendiri lengkapnya di layar bioskop yang sudah tayang di Indonesia sejak Januari 2020.
Akurasi Sejarah
Beberapa kritikus film angkat jempol. Terutama karena Mendes menggarapnya dengan teknik continuous shot/one-shot alias kameramen mengambil gambar close-up maupun zoom-out dengan mengikuti si karakter utama. Memang tidak full 119 menit kameramen non-stop mengikuti pemerannya. Tapi setidaknya, 1917 hanya menerapkan sekali break dan kemudian “dijahit” dengan pengambilan gambar one-shot berikutnya, yakni scene Schofield terjatuh dari tangga dan pingsan usai mengenyahkan seorang sniper Jerman. Menjadikannya film perang pertama yang menggunakan teknik one-shot.
“Saya ingin mengisahkan jalan ceritanya dalam waktu yang sebenarnya dalam dua jam. Jadi saya merasa kisahnya akan menjadi natural, di mana penonton akan hanyut dalam pengalaman yang dialami pemerannya,” cetus Mendes dalam wawancaranya dengan Alissa Wilkinson yang dimuat Vox, 10 Januari 2020.
Music scoring garapan Thomas Newman kendati minimalis namun terasa pas mengiringi adegan-adegan menegangkan dalam 1917. Hal menarik lainnya, Mendes menyelipkan dua puisi sebagai pengganti ekspresi di dua adegan berbeda. Pertama, ketika Blake dan Schofield hendak berangkat menjalankan misi. Blake bertanya, apakah hanya mereka berdua yang mengemban tugas genting itu? “Down to Gehenna or up the Throne. He travels the fastest who travels alone,” jawab Jenderal Erinmore. Mendes mengutip dua kalimat terakhir bait pertama puisi “The Winners” dari buku The Story of the Gadsbys karya Rudyard Kipling.
Baca juga: Kolase Hidup Manusia dalam Perang Dunia I
Puisi kedua diselipkan Mendes di saat Schofield bertemu seorang gadis dan bayi terlantar di rumah yang hancur di kota Écoust. Schofield yang teringat putrinya di kampung halaman, menyenandungkan syair: “They went to the sea in a Sieve, they did. In a Sieve they went to the sea. In spite of all their friends could say. On a winter’s morn, on a stormy day. In a Sieve they went to sea...,” yang merupakan potongan puisi bertajuk “The Jumblies” karya Edward Lear.
Agar tak bikin “sakit mata” penonton yang paham sejarah, Mendes cukup berhati-hati pada wardrobe, properti film, dan sikap-sikap militer di era tersebut. Ia menggandeng sejarawan Andy Robertshaw dan konsultan sejarah militer Paul Biddiss.
Alhasil semua detail artistik dalam 1917 nyaris sempurna. Contohnya, penggunaan senapan Lee Enfield Mk. III yang memang digunakan Inggris saat itu, senapan Gewehr 98 untuk serdadu Jerman, dan pistol Webley Mk. IV yang acap jadi pegangan perwira Inggris. Mendes juga tak lupa menggambarkan latar beberapa horor dan kengerian korban-korban perang, mulai dari bangkai kuda hingga mayat-mayat yang membusuk terpendam baik di dalam tanah maupun kubangan air.
Pun dengan detail lain untuk latar filmya, karena ia harus membuat kondisinya seperti asli lantaran menggunakan teknik one-shot tanpa CGI (Computer-Generated Imagery) atau ilusi buatan komputer. Seperti kondisi parit kubu Inggris yang berlumpur dan berantakan dan parit kubu Jerman yang rapi. Mendes juga menghadirkan tank asli seperti Tank Mk. II yang dipinjam dari The Tank Museum di Dorset, Inggris.
Namun, namanya film pasti disarati dramatisasi sehingga membuat beberapa fakta sejarahnya kurang detail dan bahkan melenceng. Toh memang Mendes menggarapnya berdasarkan kisah kakeknya, Alfred Mendes, bukan kisah nyata. Oleh karenanya semua nama karakternya pun fiktif.
Hindenburg Line dan Pasukan Koloni Inggris
Yang melenceng adalah pengambilan latar waktu. Mendes memulainya dengan keterangan waktu 6 April 1917, ketika pasukan Jerman mulai mundur dari front utara Prancis. Latar itu merujuk pada Unternehmen Alberich (Operasi Alberich) yang terjadi sudah sejak 9 Februari 1917.
Mengutip Haig’s Enemy: Crown Prince Rupprecht and Germany’s War on the Western Front karya sejarawan Universitas Birmingham Jonathan Boff, Operasi Alberich digulirkan setelah perdebatan antara Jenderal Erich Ludendorff, putra mahkota Pangeran Rupprecht, dan Jenderal Fritz von Below. Hasilnya yakni perintah mundur taktis setelah pasukannya mengalami kerugian besar di Pertempuran Somme (1 Juli-18 November 1916).
Pun dengan detail tentang respons pasukan Inggris saat mengetahui Jerman mengundurkan diri dari posisinya. “Ketika Jerman bermanuver mundur taktis, pihak Entente (Sekutu) tak segera menyadarinya. Saat mereka mulai insyaf, mereka maju dengan sikap hati-hati karena banyak jebakan dan perangkap di parit-parit Jerman yang ditinggalkan,” ungkap Boff. Fakta itu kontradiktif dengan sikap Kolonel Mackenzie dalam film yang ingin buru-buru mengejar pasukan Jerman yang mundur.
Dalam faktanya, Jerman mundur ke Hindenburg Line (Jerman: Siegfriedstellung) untuk mempersempit garis pertahanan mereka pasca-Pertempuran Verdun dan Pertempuran Somme. Jerman mundur dan membentuk garis pertahanan baru yang membentang dari Arras ke Laffaux sepanjang 140 kilometer.
Di sinilah epilog Perang Dunia I. Hingga Jerman sudah menyiapkan diri di garis pertahanan baru itu, Inggris/Sekutu akhirnya tetap menyusul hingga meletuskan sejumlah bentrokan, mulai dari Pertempuran Arras (9 April-16 Mei 1917) hingga Pertempuran Meuse-Argonne (26 September-11 November 1918) yang sudah mulai mengikutsertakan Amerika Serikat, yang berlangsung sampai berakhirnya Perang Dunia I.
Terlepas dari beberapa kekurangan itu, menariknya Mendes menghadirkan “warna” lain dalam pasukan Inggris. Satu di antaranya, karakter prajurit Jondalar (Nabhaan Rizwan), seorang tentara Sikh dari unit British India. Tentara yang khas mengenakan turban dan berkumis itu dijumpai Schofield kala diberi tumpangan Kapten Smith (Mark Strong) untuk ikut truk militer pasukannya ke kota Écoust, hingga harus terhenti gegara sebuah jembatan dihancurkan Jerman.
Juga dihadirkannya serdadu Inggris berkulit hitam, Prajurit Grey (Elliot Edusah), yang tengah mengangkat tandu, sebelum adegan pertemuan Schofield dengan Letnan Joseph Blake (Richard Madden), kakak sahabatnya yang tewas di tengah jalan. Dua detail ini jarang ditampilkan berbagai film perang sebelumnya macam Dunkirk (2017).
Baca juga: Dunkirk yang Dramatis Tanpa Adegan Sadis
Padahal, menukil The Indian Army 1914-1947 karya Ian Sumner, pasukan “sukarela” dari India dan negara koloni Inggris lain seperti Nepal (Gurkha), Jamaika, Barbados, Tobago, Trinidad (kakek sang sutradara berasal dari Trinidad), Grenada, British Guiana, punya andil besar dalam pasukan Inggris di Perang Dunia I.
Mulanya, Inggris punya jumlah personil terkecil ketimbang negara lain, yakni 250 ribu personil. Sekira 450 ribu lainnya didatangkan dari negara-negara koloni untuk menggenapi jumlah 700 ribu serdadu. Dari India jumlahnya sekira 130-140 ribu personil, terbagi masing-masing ke dua unit infantri dan kavaleri. Mereka sudah dikirim ke front sejak 1914, sebagai hasil dari rekrutmen sukarela Menhan Herbert Kitchener.
Para serdadu India itu lebih dulu terlibat di Pertempuran Somme sampai Pertempuran Cambrai (20 November-7 Desember 1917) dalam rangka Inggris menembus Hindenburg Line. Mereka dipindahkan ke front Afrika Utara pada Maret 1918. Dari arsip laporan Commonwealth War Graves Commission on India 2007-2008, dari sekira 140 ribu tentara India yang terlibat di front Barat, nyaris sembilan ribu di antaranya tewas.
Baca juga: Konflik Keluarga dalam Perang Dunia