Masuk Daftar
My Getplus

Kolase Hidup Manusia dalam Perang Dunia

Tanpa narasi dan protagonis. Rangkaian cerita humanis dari tuturan 120 veteran di front Barat.

Oleh: Randy Wirayudha | 03 Jan 2019
Judul: They Shall Not Grow Old | Sutradara: Peter Jackson | Produser: Clare Olssen, Peter Jackson | Produksi: WingNut Films | Distributor: Warner Bros. Pictures | Genre: Dokumenter | Durasi: 99 Menit | Rilis: 11 November 2018 (Inggris), 11 Januari 2019 (Amerika Serikat)

GELAP. Warna hitam yang ditemani suara beberapa veteran Perang Dunia I (PD I) menjadi scene pembuka film dokumenter besutan sutradara Peter Jackson berjudul They Shall Not Grow Old ini.

Satu per satu veteran PD I bertutur secara bergiliran. “Saya menjalani segenap muda saya melakukan sebuah tugas dan melewati sebuah peperangan yang ganas,” tutur seorang veteran dalam rekaman suara itu. “Jika waktu bisa kembali, tentu saya akan mengulangnya lagi karena saya menikmati masa-masa itu,” timpal seorang veteran lain.

Menjelang menit pertama, scene berubah. Kesaksian-kesaksian para veteran sudah diiringi rangkaian footage asli hitam-putih. Kolase arsip video, foto maupun pampflet yang bergantian muncul itu baru berubah menjadi berwarna saat menginjak menit ke-25.

Advertising
Advertising

Sutradara membuka filmnya dengan penggambaran PD I dari “meminjam mulut” ratusan veteran. Tuturan dari 120 veteran itu mengisahkan mengenai apa yang tersisa dari pengalaman mereka dalam perang yang berlangsung selama 1914-1918 itu, bagaimana antusiasme mereka saat bergabung ke kemiliteran, horor dalam perang, hingga apa yang mereka rasakan setelah perang itu usai.

Kesaksian mereka juga menjangkau hal yang lebih makro, mulai dari bagaimana Inggris menyatakan perang terhadap Jerman, ajakan dan himbauan kepada para pemuda wajib militer berusia 19-35 tahun, hingga antusiasme mengikuti pendidikan dasar militer. Meski usia wajib militer 19 tahun, banyak yang bergabung justru berusia di bawah antara 15-18 tahun.

Para pemuda yang bergabung ke dalam militer bukan hanya pelajar tapi pemuda dengan beragam latar belakang profesi, mulai dari juru tulis, penjaga toko hingga petani. Mereka rela mengubah gaya hidup mereka dengan rutinitas kemiliteran yang sangat ketat dan kaku demi apa lagi kalau bukan nasionalisme.

Baca juga: Kisah penyelamatan serdadu Inggris di Dunkirk digarap tanpa adegan sadis

Antusiasme mereka bertambah saat diberangkatkan ke front Barat, tempat di mana jutaan pemuda Inggris Raya (Inggris, Skotlandia, Wales, Irlandia, Australia, Selandia Baru) belajar menjadi dewasa dengan cara yang keras. Mereka belajar tentang bagaimana bertahan hidup di parit-parit berkondisi buruk yang mengancam kesehatan dan dalam keadaan dihujani tembakan senapan maupun kanon musuh, tentang bagaimana bisa makan seadanya, hingga jatah libur paling lama seminggu di garis belakang.

“Setiap habis kembali dari front terdepan, kami diberi (diupah) lima franc. Satu franc setara 10 sen (poundsterling). Jadi kami mendapatkan 50 sen (poundsterling) selama berminggu-minggu di garis depan,” aku seorang veteran.

Beberapa veteran juga berkisah tentang bagaimana mereka melakukan sebuah raid yang berhasil di satu kubu pertahanan Jerman. Banyak tawanan yang mereka ciduk. Mereka mulai insyaf bahwa para serdadu Jerman ternyata tak seburuk yang dipropagandakan para perwira mereka.

“Aslinya mereka orang-orang baik yang juga sama seperti kami. Orang-orang yang awalnya hanya pekerja biasa dan harus wajib militer,” ujar seorang veteran. “Para tawanan (etnis) Saxon dan Bavaria paling baik dan bisa berbaur dengan kami. Mereka justru membenci para perwira (etnis) Prussia mereka,” timpal veteran lainnya.

Kisah perang makin seru saat para veteran mengisahkan sebuah operasi ofensif besar. Dramanya makin terasa karena Peter Jackson mengiringinya dengan tata suara yang pas. Satu per satu veteran kembali mengisahkan tentang bagaimana kegugupan mereka jelang serangan ke parit musuh dengan bayonet terhunus hingga kepedihan mereka saat menceritakan rekan-rekan yang kehilangan nyawa.

“Ada seorang teman yang terkena pecahan peluru meriam. Tangan dan kaki kirinya putus. Matanya mengeluarkan darah. Saya harus menembaknya. Saya harus. Dia tetap akan mati perlahan jika saya tidak melakukannya. Saya harus mengakhiri penderitaannya, walaupun melukai hati saya,” tutur seorang veteran seraya menangis.

Jackson melanjutkan narasi filmnya dengan scene pengumuman gencatan senjata 11 November 1918. Momen itu tak disambut gelak tawa, pesta, atau sekadar raut muka ceria para serdadu Inggris. “Suasananya hening. Banyak dari kami justru bingung mau apa setelah perang ini selesai,” ungkap seorang veteran anonim lainnya.

Kebingungan para veteran menjadi pilihan Jackson untuk menutup dokumenter berdurasi 99 menit ini. Alih-alih disambut bak pahlawan, para veteran justru mendapati para keluarga mereka minim kepedulian terhadap pengalaman mereka. Mayoritas veteran kesulitan mencari kerja setelah demobilisasi.

“Ketika saya berada di sebuah bar, seseorang yang kenal saya sejak lama bertanya pada saya, ‘Ke mana saja selama ini begitu lama menghilang?’,” kata seorang veteran mengenang.

Kolase manusia dalam Perang Dunia

Dalam kolase foto di film ini, Jackson tidak lupa menyelipkan foto dua kakeknya, Sersan William Jackson dan Sersan Sidney Ruck, serta Letda Thomas Walsh yang merupakan kakek dari istrinya, Fran Walsh. Ketiganya veteran PD I yang bertugas di Angkatan Darat Inggris (Jackson dan Ruck) dan Selandia Baru (Walsh).

Bagi penonton awam, film ini akan sangat membosankan dan bikin ngantuk. Selain ketiadaan action laiknya film-film perang box office, hampir seluruh film juga tak diselipi narasi. Semua hanya sekadar penuturan dari 120 veteran.

Baca juga: Pengisahan sisi lain Perdana Menteri Inggris di masa perang

Penonton juga takkan menemukan protagonis atau antagonis dari 120 veteran yang bertutur. Bahkan tak satu veteran pun yang namanya disebutkan. Pun dengan nama lokasi dan waktu. Menurut sineas yang sohor dengan trilogi Lord of the Rings dan The Hobbit itu, dokumenter ini bukan penggambaran satu kisah tentang PD I, juga bukan kisah bersejarah. Jackson juga tak menjanjikan keakuratan sejarah.

“Kami memutuskan tidak mengidentifikasi para serdadu (veteran). Karena akan ada sangat banyak nama yang harus dimunculkan setiap kali terdengar rekaman suara mereka. Kami juga membuang referensi tanggal dan tempat karena kami tak ingin film ini hanya berpusar pada momen di satu hari atau di satu tempat. Ada banyak buku yang bisa menjelaskan itu semua. Saya ingin film ini berkisah tentang pengalaman humanis dan agnostik,” kata Jackson dikutip flicks.com.au, 10 November 2018.

Proyek cuma-cuma

They Shall Not Grow Old sedianya sudah direncanakan dan lantas dieksekusi sejak 2015, di mana Jackson ditawari langsung oleh Imperial War Museum (IWM) yang bekerjasama dengan BBC dalam kerangka program 14-18 NOW. Kendati tak diupah alias cuma-cuma, Jackson tertarik dan lantas memproduksinya di bawah rumah produksi WingNut Films.

Menggarap They Shall Not Grow Old memberi keuntungan tersendiri buat Jackson. Dia yang sejak kecil acap didongengi ayahnya tentang kisah kakeknya, William Jackson, yang bertugas di Resimen South Wales Broderers, mendapat gambaran lebih jelas tentang apa yang dialami serdadu Sekutu dalam PD I.

Keuntungan lain yang diperoleh Jackson, disuplai oleh IWM footage berdurasi 100 jam dan rekaman suara wawancara 200 veteran (Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat). Maka dengan senang hati Jackson dan timnya merestorasi semua arsip itu kendati hanya 99 menit footage dan 120 rekaman yang dipakai dalam They Shall Not Grow Old. Tim tak hanya merestorasi tapi juga mengedit dan memberi warna footage-footage yang dipilih agar lebih hidup dan bisa dihayati generasi kekinian.

Selain tidak menyisipkan suara narasi, Jackson juga tidak menambahkan efek suara senapan, meriam hingga percakapan-percakapan untuk menyesuaikan situasi adegan. “Saya hanya ingin ada suara-suara orang yang mengalami pengalaman itu. Dari rekaman 120 veteran, semua punya cerita yang serupa,” tambah Jackson.

Judul They Shall Not Grow Old diambil Jackson dari potongan puisi karya Laurence Binyon tahun 1914, “For the Fallen”. Bait puisi lengkapnya berbunyi: “They shall grow not old, as we are left grow old.”

Baca juga: Inggris peringati 100 tahun momen gencatan senjata yang mengakhiri Perang Dunia I

Penayangan premier They Shall Not Grow Old pada 16 Oktober 2018 di British Film Institute London Film Festival turut disaksikan Pangeran William. Dokumenter ini hanya disiarkan luas BBC Two pada 11 November 2018, bertepatan dengan Peringatan Gencatan Senjata 11 November 1918. Di Amerika Serikat, film ini baru ditayangkan secara terbatas pada 17 Desember 2018. Namun respons positif dan kesuksesannya membuat distributor Warner Bros akan menayangkan They Shall Not Grow Old di bioskop-bioskop mulai 11 Januari 2019.

TAG

Film Dunia Perang-Dunia-I Inggris Dokumenter

ARTIKEL TERKAIT

Jalan Perjuangan Tak Berujung dalam Perang Kota Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api Empat Film Korea Selatan yang Menggambarkan Darurat Militer Senna Si Raja Lintasan Basah The Children’s Train dan Nasib Anak-anak Korban Perang di Italia Tiga Supir Palang Merah yang Jadi Pesohor Dunia Mengenal Tang Soo Do dari Cobra Kai Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis) Munculnya Si Doel (Bagian II) Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier