UNTUK kali kedua, peristiwa evakuasi sekira 400 ribu pasukan Sekutu dari Dunkerque (Dunkirk), sebuah kota kecil di pantai utara Prancis, pada 1940 naik ke layar lebar. Kali ini tanpa adegan berdarah-darah. Tak ada duel tangan kosong atau adu rentetan senjata. Bahkan sosok serdadu Nazi-Jerman nyaris tak dihadirkan.
Film dengan tema dan judul yang sama pernah dibuat sutradara Leslie Norman pada 1958. Tapi, berbeda dari pendahulunya, sutradara Christopher Nolan ingin menggambarkan bagaimana pasukan Sekutu, terlebih Pasukan Ekspedisi Inggris (BEF), tengah berada di ujung tanduk dan nyaris dihancurkan Nazi-Jerman. Dia mengedepankan drama.
Tiga Plot
Film ini punya tiga plot yang terkait satu sama lain. Pertama, plot “The Mole” atau tanggul di pantai Dunkirk yang jadi tujuan pasukan Sekutu melarikan diri dari kejaran Jerman.
Tommy (diperankan Fionn Whitehead), seorang prajurit Angkatan Darat (AD) Inggris, kelimpungan melewati beragam rintangan menakutkan untuk bisa pulang ke Inggris dengan selamat. Sama seperti serdadu Inggris lainnya, dia kelaparan, kehausan, dan harus menghindari desingan peluru Jerman. Selamat dari hujan peluru, Tommy tiba di pantai Dunkirk dan bertemu Gibson (Aneurin Barnard), prajurit AD Inggris lainnya.
Gibson belakangan diketahui ternyata serdadu Prancis yang sengaja memakai seragam AD Inggris agar bisa ikut dievakuasi. Pasalnya, para perwira Inggris ingin mendahulukan tentara mereka, sebelum serdadu Sekutu dari negara-negara lain.
Proses evakuasi di bibir tanggul itu dipegang Commander Bolton (Kenneth Branagh), perwira Angkatan Laut (AL) Inggris. Dari “kacamata” Bolton, penonton disajikan tragedi kapal-kapal Inggris yang kerap jadi mangsa pesawat pembom Jerman Heinkel He 111 dan torpedo-torpedoU-Boot atau kapal selam Kriegsmarine (AL Jerman). Serdadu-serdadu Inggris di pantai Dunkirk selalu “menyilangkan jari” setiap kali mereka disasar pembom tukik Stuka (Junkers Ju 87 Sturzkampfflugzeug).
Namun mukjizat terjadi. Ketika kapal-kapal besar Inggris karam beserta ribuan serdadu di dalamnya ke dasar laut, muncul gelombang perahu, feri, hingga kapal berukuran sedang yang sebagian besar dikemudikan para pelaut sipil Inggris. Sorak-sorai serdadu Inggris di pantai membuncah.
Kedatangan mereka jadi klimaks atas plot kedua, “The Sea”. Plot ini fokus pada tokoh Mr Dawson (Mark Rylance) untuk mendeskripsikan bagaimana pihak sipil Inggris tak berpangku tangan atas peristiwa Dunkirk, meski tetap enggan perahunya diambil-alih AL Inggris.
Namun kengerian evakuasi belum berhenti sampai di situ. Dari “kacamata” Dawson pula, para pilot RAF (Angkatan Udara Inggris) berupaya mengamankan jalur evakuasi di Selat Inggris.
Keseruan terjadi saat duel udara. Farrier (Tom Hardy) dan Collins (Jack Lowden) berhadapan dengan pesawat-pesawat pemburu Messerschmitt Bf 109 dari Luftwaffe (AU Jerman). Ini jadi titik klimaks plot ketiga, “The Air”. Collins jatuh di laut tapi diselamatkan Dawson dengan perahu. Sementara Farrier mendarat darurat di salah satu pantai Dunkirk yang dikuasai Jerman setelah pesawatnya kehabisan bahan bakar dan ditangkap.
Nolan menutup film dengan menggambarkan bagaimana Tommy pulang ke Inggris dengan tetap dielu-elukan rakyat Inggris dan Commander Bolton yang tetap bertahan di tanggul pantai Dunkirk demi menunggu “jemputan” lain.
Menengok Fakta Sejarah
Barangkali tak salah jika Christopher Nolan menyebut film ini karya terbaiknya. Sejumlah situs kritik film rata-rata menyanjung karyanya.
Sound illusion yang dihadirkan lewat beragam scene patut diacungi jempol. Dramatisasinya menyentuh penonton. Belum lagi pengambilan beberapa adegan riil di lokasi terbuka, bukan dengan green screen atau layar hijau. Menurut beberapa media Inggris, pengambilan gambar semacam itu menambah keintensitasan tempo, drama, dan tautan batin penonton.
Terlepas dari itu, entah sengaja atau tidak, Nolan mengesampingkan beberapa fakta penting terkait evakuasi Dunkirk. Salah satunya soal penghentian ofensif Jerman di darat berlandaskanHalt Order dari Adolf Hitler.
Hitler ingin mesin-mesin perangnya berhenti menguber pasukan Sekutu sampai ke bibir pantai demi memberi kesan baik dan bisa berdamai dengan Inggris. Hitler ingin berhenti sampai di Prancis agar bisa memusatkan ofensif besar berikutnya ke Uni Soviet. Sayang, Inggris menolak mentah-mentah niat Hitler.
Nolan juga tak mengeksplorasi eksistensi pasukan Inggris asal India. Juga para serdadu Afrika dari negeri-negeri jajahan Prancis macam Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Belum lagi nyaris tak ada kendaraan-kendaraan tempur Sekutu di pantai Dunkirk yang pada kejadian sebenarnya ditinggalkan demi mengefisiensikan evakuasi ratusan ribu serdadu.
Pengesampingan itu sah-sah saja. Menjadi persoalan bila mengabaikan fakta sejarah. Itu terlihat pada keberadaan Laksamana Madya Bertram Ramsay dari AL Inggris. Di film, Ramsay berada di ujung tanggul, meski pada kenyataannya dia tak pernah menyeberang ke Dunkirk dalam proses evakuasi dan tetap berada di Dover.
Nolan juga tak akurat. Yang cukup mencolok adalah adegan duel udara antara pesawat Spitfire milik RAF dan Messerschmitt kepunyaan Luftwaffe. Di film, hidung pesawat Messerschmitt Bf 109E bercat kuning. Padahal, saat evakuasi Dunkirk, Mei-Juni 1940, tak satu pun burung besi andalan Luftwaffe itu dicat kuning. “Penyeragaman” baru dilakukan sebulan setelah Dunkirk dan kemudian jadi ciri khas Messerschmit selama Perang Dunia II.
Ketidakakuratan lainnya tampak dalam adegan seorang perwira memberikan hormat tanpa baret militernya. Sebuah laku menyimpang dari protokol kemiliteran, menurut para veteran Inggris.
Toh, dengan menghabiskan dana USD150 juta, Nolan berhasil menyuguhkan drama yang tak biasa. Kekacauan dan kengerian peristiwa Dunkirk benar-benar terasa. Film ini lantas menjadi box office.