SIAPA tak kenal Ikke Nurjanah? Penyanyi dangdut bersuara merdu dan berpenampilan sopan ini pernah kondang di blantikan musik Indonesia. Sejak usia remaja, dia memang sudah menjadi penyanyi profesional dan meluncurkan sejumlah album.
Namun, sebelum dikenal sebagai penyanyi dangdut, Ikke identik dengan lagu-lagu Jawa. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kesuksesan album Ojo Lali. Bahkan berkat album itu pula namanya melejit. Setelah itu sederet album Jawa pun dirilisnya. Salah satunya album Gelang Alit.
Album Gelang Alit diproduksi MSC Records dan dirilis tahun 1996 saat Ikke masih kuliah. Menariknya, di album ini, Ikke mencoba menginterpretasi lagu berbahasa Osing dari Banyuwangi berjudul “Gelang Alit” karya Fatrah Abal atau Faturahman Abu Ali. Kendati liriknya sudah diubah ke dalam bahasa Indonesia, aransemennya masih kental nuansa Banyuwangi.
Tumbuh indah di taman hati
Laut Ketapang airnya keruh
Pinggir kota Banyuwangi
Siang malam kurindu
Hati rasa setiap hari
Album Gelang Alit cukup mendapat sambutan dari penggemar musik tanah air. Album itu juga mengangkat kembali musik etnik Banyuwangi ke ranah musik nasional.
“Dan Ikke Nurjanah, penyanyi dangdut, memiliki hit nasional pada 1997 dengan sebuah lagu kendang kempul, yang merupakan sumber kebanggaan utama bagi banyak orang di Banyuwangi,” tulis Bernad Arps dalam “Osing Kids and the banners of Blambangan” di jurnal Wacana, April 2009. “Tampaknya ini adalah ungkapan keinginan untuk sebuah pengakuan.”
Kendang kempul adalah sebutan untuk musik etnik yang lahir dan berkembang di Banyuwangi, Jawa Timur.
Dari Gandrung
Musik kendang kempul tumbuh dan berkembang dari kesenian gandrung Banyuwangi. Alat musik yang digunakan pun dipakai pada kesenian gandrung. Ada yang menyebut kendang kempul telah ada dan berkembang pada 1920-an dengan munculnya lagu-lagu yang diciptakan untuk mengiringi kesenian gandrung.
“Musik kendang kempul pada awalnya disebut dengan kendang gong, yakni seni musik yang tumbuh dan berkembang dari tradisi kesenian gandrung,” tulis Ginanjar Wahyu Raka Siwi dalam tugas akhirnya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan judul “Musik Populer Kendang Kempul Banyuwangi”.
Namun, lagu-lagu gandrung dirasa kurang memanjakan telinga. Maka, sejumlah seniman mulai menciptakan lagu-lagu bertema alam dan rakyat kecil.
“Nah, setelah itu mulai berkembang lagu-lagu Banyuwangi dengan iringan angklung,” ujar Hasan Singodimayan, mantan aktivis Himpunan Seniman dan Budayawan Islam yang berafiliasi dengan partai Masyumi, dikutip Ikwan Setiawan dalam artikel “Merah Berpendar di Brang Wetan: Tegangan Politik 65 dan Implikasinya terhadap Industri Musik Banyuwangen”.
Baca juga: Gesekan Biola Gandrung
Salah satu lagu yang kemudian populer adalah Genjer-genjer, diciptakan musisi Mohamad Arief, pada 1953. Lagu ini menggambarkan kesulitan hidup pada masa pendudukan Jepang sehingga memaksa penduduk di Banyuwangi makan genjer yang dianggap pakan ternak –karenanya ada yang menyebut lagu ini diciptakan masa Jepang.
Sejak gabung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Mohammad Arief mendirikan grup angklung Srimuda (Seni Rakyat Indonesia Muda). Pada 1960-an, ketika singgah di Banyuwangi dan disuguhi pertunjukan angklung dengan lagu penutup Genjer-genjer, petinggi PKI dan Lekra Njoto berucap: “Lagu ini pasti akan segera meluas dan menjadi lagu nasional!”
Terbukti lagu itu populer. Disiarkan RRI dan TVRI. Dinyanyikan penyanyi-penyanyi nasional.
Selain Mohammad Arif, ada banyak seniman Banyuwangi era itu yang menulis lagu seperti Andang C.Y., Nasikin, B.S. Nurdian, Mahfud Hariyanto, Endro Wilis, A.K. Armaya, dan Fatrah Abal. Mereka umumnya bergabung dengan lembaga-lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan partai politik saat itu.
Baca juga: Barong Penjaga Desa
“Musik lokal Banyuwangi pada awalnya adalah kreativitas para seniman musik yang didorong oleh kepekaan sosial. Realitas sosial yang terjadi pada masyarakat Banyuwangi yang diungkapkan oleh seniman dalam bentuk syair lagu,” tulis Hervina Nurullita dalam “Stigmatisasi terhadap Tiga Jenis Seni Pertunjukan di Banyuwangi” di Jurnal Kajian Seni, November 2015..
Perkembangan musik lokal Banyuwangi surut setelah Peristiwa 1965. Lekatnya lagu Genjer-genjer dengan PKI berimbas pada stigma kiri terhadap semua musik Banyuwangi. Beberapa seniman yang selamat mengalami stigma, trauma, dan ketakutan.
Adaptif
Pada 1970-an, A.K. Armaya kembali ke Banyuwangi dari perantauannya di Jakarta. Dia mendapati suasana ketakutan masih membayangi para seniman untuk membuat lagu-lagu Banyuwangi. Sementara masyarakat Banyuwangi lebih familiar dengan musik-musik beraliran pop hingga dangdut. Armaya berhasrat untuk menghidupkan kembali lagu-lagu Banyuwangi. Inisiatifnya mendapat dukungan dari Bupati Joko Supaat Slamet.
“Hingga pada tahun 1975-an Banyuwangi sudah mulai berani merekam lagu-lagu berbahasa Osing namun dengan pengawasan dan fasilitas dari pemerintah,” tulis Akbar Satria Putra Mahendra dan Agus Trilaksana dalam “Musik Kendang Kempul Tahun 1980-2008” di jurnal Avatara, Oktober 2018.
“Pelukan mesra pendopo”, begitu istilah yang dipakai Ikwan, berwujud merekam lagu-lagu Banyuwangen karya mantan seniman Lekra maupun bukan dengan instrumen yang mengkolaborasikan angklung dan gandrung karena kedua jenis instrumen tersebut sangat populer.
“Dipakainya lagu-lagu ciptaan para seniman kiri menandakan bahwa persoalan stigma politis untuk sementara bisa diatasi, meskipun kontrol memang masih begitu ketat,” tulis Ikwan.
Baca juga: Kuda Lumping Gaya Banyuwangi
Terlepas dari kontrol rezim terhadap perkembangan kesenian Banyuwangen, lanjut Ikwan, nyatanya para seniman punya mekanisme sendiri untuk mengembangkan kesenian tradisi-lokal di Banyuwangi. Mereka tetap berkarya, meskipun harus bersiasat terus-menerus.
“Industri rekaman yang dibina oleh Pendopo, ternyata mempunyai peran strategis untuk menyemarakkan kembali kesenian beraroma rakyat di tengah-tengah masyarakat,” tulis Ikwan.
Sebenarnya, setelah 1965, dunia musik di Banyuwangi tetaplah semarak. Menurut Akbar dan Agus, sejarah musik di Banyuwangi pasca 1965 berawal dari grup orkes Gavilas yang digadang-gadang sebagai pionir orkes musik Melayu di Banyuwangi. Grup ini juga populer saat itu. Eksistensi Gavilas mendorong munculnya grup orkes lainnya. Salah satunya Arbas (Arek Banyuwangi Asli) pimpinan Sutrisno.
Pada 1980-an Sutrisno dan teman-temannya mempopulerkan kendang kempul namun dengan balutan musik yang berkembang saat itu. Mereka menggabungkan unsur instrumen dalam gandrung dengan peralatan musik modern untuk mendapatkan warna baru yang nantinya akan menjadi identitas khas Banyuwangi.
Nama kendang-kempul diambil karena dalam musik yang dibuat ada kendang dan kempul sebagai instrumen utama. Alat musik itulah yang membedakannya dari musik etnik lainnya. Kemudian ditambahkan organ, biola, dan gitar yang merupakan alat musik modern. Kekuatan utamanya terletak pada lirik-lirik lagunya yang berbahasa Osing. Ini pula yang membuat kendang kempul bisa diterima, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pada dasarnya, ujar Sutrisno kepada Ikwan, kendang kempul itu orkes versi Osing dengan memasukkan kendang dan kempul. Upaya Sutrisno dan kawan-kawan rupanya mendapat tempat di hati masyarakat Banyuwangi.
“Ketika sekitar 1980 kendang Kempul dibuat kira-kira dalam bentuknya yang sekarang, yaitu musik pop, ini adalah langkah yang cukup radikal,” tulis Arps.
Baca juga: Napas Baru Janger
Eksistensi kendang kempul di pentas nasional mencuat setelah “Ratu Kendang Kempul” Mbok Sumiati membuat album dengan pelawak kenamaan Jakarta, Doyok dan Cahyono.
“Walaupun mereka dari background komedi, namun untuk masalah olah vokal, mereka tak kalah dengan penyanyi dangdut papan atas. Warna vokal dan basa Osing Mbok Sumiati lah tetap yang mendominasi keunikan dari lagu-lagu yang mereka bawakan. Sebagai contoh, lagu Kenal Lare Osing yang dibawakan Doyok dan Sumiati dalam album Cinta Modal Sepeda,” tulis Akbar dan Agus.
Perkembangan ini kian menyemarakkan dunia musik Banyuwangi. Industri rekaman lokal pun tumbuh. Album rekaman dalam format VCD dibuat dan didistribusikan ke lapak-lapak penjual. Penjualannya pun lumayan. Lagu-lagunya, sebagian besar bertema cinta meski ada juga bermuatan “patriotisme”, mewarnai siaran-siaran radio di wilayah Banyuwangi. Bahkan pada 1990-an lagu-lagunya digemari untuk karaoke, baik pada perayaan maupun kontes.
“Bernyanyi kendang kempul adalah hobi populer di kalangan anak sekolah menengah. Saya telah berbicara dengan beberapa orang yang pikirannya menjadi salah satu ciri utama menjadi Laré Using adalah dapat menyanyikan kendhang kempul dan mengetahui lagu tersebut,” ujar Arps.
Namun badai melanda industri musik di manapun karena adanya perkembangan teknologi informasi, terutama internet. Akibatnya penjualan VCD turun. Mau tak mau, para produser rekaman pun merambah dunia digital.
Baca juga: Suara Angklung dari Timur
Siasat lain dilakukan dengan bergeser ke genre dangdut koplo yang lagi tren. Maklum, masa keemasan lagu Banyuwangi sempat turun pada 2006. Sandi Record, misalnya, berkreasi dengan mengkolaborasikan musik Banyuwangi dengan berbagai genre seperti koplo, house dan disco.
Kreasi Sandi Record ternyata diterima pasar. Album-album yang diproduksinya kembali meledak. Selain menggarap lagu-lagu Banyuwangi, dia mulai merambah pasar dangdut. Sandi Record membidik diva dangdut seperti Elvi Sukaesih dan Ikke Nurjanah untuk rekaman. “Lagu dangdut ini untuk nutupin kalau lagu Banyuwangi sepi,” ujarnya, dikutip Lokadata.
Kendati muncul kritik, kecenderungan semacam itu menunjukkan betapa dinamisnya musik Banyuwangi. Hal itu pula yang membuat kendang kempul bisa bertahan. Bagaimanapun, kendang kempul sudah didapuk sebagai musik daerah Banyuwangi. Upaya untuk melestarikan dan mengembankannya pun terus dilestarikan. Antara lain melalui Festival Gending Osing yang kembali digelar Pemkab Banyuwangi pada akhir tahun lalu.
“Kami semua sangat bersyukur musik Banyuwangi terus berkembang. Dan yang paling penting, tak hanya bergema di daerahnya, bahkan musik Banyuwangi mudah kita temui di daerah lain. Surabaya contohnya. Saya itu kerap terdengar musik Banyuwangi diputar atau dimainkan musisi jalanan jika berkunjung ke wilayah Jawa Timur lain,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dikutip laman Pemkab Banyuwangi.
Yuk, ikut berdendang.