Masuk Daftar
My Getplus

Awal Mula Kemunculan Hidangan Penutup

Di masa lalu harga gula yang mahal menjadi penentu status sosial masyarakat Eropa. Dianggap simbol kemewahan dan kekuasaan, gula membentuk cara penyajian hidangan penutup dalam jamuan makan bangsawan dan orang-orang kaya.

Oleh: Amanda Rachmadita | 13 Jan 2025
Dewi Juno dan Cybele yang dipahat dari gula ini menjadi pusat perhatian dalam sebuah jamuan makan yang diselenggarakan bangsawan Eropa pada abad ke-17. (Jeri Quinzio, Dessert: A Tale of Happy Endings).

MENGHADIRI jamuan makan kurang lengkap bila tidak menikmati dessert atau hidangan penutup berupa makanan manis seperti buah, kue puding, dan es krim. Istilah dessert berasal dari bahasa Prancis, desservir yang berarti “membersihkan meja”. Istilah ini semakin umum digunakan untuk menyebut sajian yang dihidangkan dalam rangkaian jamuan makan besar usai muncul dalam Naturall and Artificiall Directions for Health karya Sir William Vaughan, penulis asal Wales, di abad ke-17. Mengacu pada keterangan ini, Oxford English Dictionary mendefinisikan dessert atau makanan penutup sebagai hidangan yang terdiri dari buah-buahan, manisan, dan lain-lain yang disajikan setelah menyantap hidangan utama atau makan malam.

Menurut Jeri Quinzio dalam Dessert: A Tale of Happy Endings, penyajian hidangan pencuci mulut yang terpisah bukanlah praktik kuno, meskipun kata ini sudah digunakan sejak abad ke-14 di Prancis. Sebelum abad ke-17, meja tidak dibersihkan untuk hidangan manis. Makanan juga tidak disajikan dalam urutan yang umum kita kenal saat ini, yakni appetizer, main course, dan dessert. Ketika sebuah jamuan makan diselenggarakan, selusin atau lebih makanan untuk setiap hidangan diletakkan di atas meja pada saat yang sama, seperti halnya prasmanan saat ini. Hidangan yang disajikan sebagai “makanan pencuci mulut” juga berupa makanan gurih dan manis.

Baca juga: 

Advertising
Advertising

Menikmati Sejarah Kue Pai

“Menurut konsep yang diilustrasikan dalam buku-buku resep di masa lalu, hidangan disusun secara simetris di atas meja dengan hidangan serupa di kedua ujung dan di sisi-sisinya. Bagian tengah meja akan menampilkan hidangan yang mengesankan, yang bisa berupa apa saja, mulai dari potongan daging sapi hingga makanan manis yang disusun membentuk piramida,” tulis Quinzio.

Pada acara khusus di Prancis abad pertengahan, hidangan yang disajikan setelah para bangsawan dan orang-orang kaya menyantap makanan utama disebut issue de table. Anggur dengan rempah-rempah yang disebut hypocras akan disajikan sebagai hidangan pencuci mulut, bersama dengan oublies atau wafer. Terakhir, dragées atau comfits juga seringkali tersaji di atas meja makan. Comfits adalah biji-bijian atau kacang-kacangan yang dilapisi gula, yang sering ditaburkan di atas hidangan gurih dan manis sebagai hiasan selain disajikan sendiri. Tak jarang, comfits dimakan sebagai camilan sebelum tidur untuk menyegarkan napas.

Sebelum istilah dessert populer digunakan untuk menyebut hidangan penutup, buah-buahan telah menjadi makanan yang disajikan sebagai selingan setelah menyantap hidangan utama. (Currier & Ives/Jeri Quinzio, Dessert: A Tale of Happy Endings).

“Baru pada abad ke-17 di Prancis, hidangan terakhir dalam rangkaian hidangan multi-course mulai disebut sebagai dessert. Namun, hidangan ini tidak sepenuhnya dikhususkan untuk hidangan manis, seperti halnya di Italia dan Inggris, ada juga makanan yang hampir seluruhnya terdiri dari hidangan manis yang fokusnya adalah pada karya artistik yang dipadu dengan kemewahan, bukan pada makanan itu sendiri,” tulis Michael Krondl dalam “Dessert” yang termuat di The Oxford Companion to Sugar and Sweets.

Sebelum abad ke-18, gula dan rempah-rempah merupakan komoditas bernilai tinggi di Eropa. Harganya yang mahal membuat keduanya hanya dapat dikonsumsi oleh para bangsawan dan orang-orang kaya. Tak heran bila mereka akan memamerkannya saat menggelar jamuan makan untuk menunjukkan status sosialnya. Menurut Quinzio, atas dasar ini banyak hidangan gurih di masa lalu yang dibuat dengan atau ditaburi gula.

Baca juga: 

Nastar, Kudapan Bergaya Eropa Jadi Camilan Lebaran

Tak hanya itu, gula juga berperan besar dalam membentuk kesan para tamu terhadap jamuan makan yang diselenggarakan tuan rumah. Pada pesta-pesta di era Renaisans, penampilan dan nilai hiburan yang tersaji dalam jamuan makan sama berharganya dengan rasa makanan yang dinikmati para elite Eropa. Beberapa hidangan yang paling mengesankan bahkan tidak dimaksudkan untuk dimakan.

“Para juru masak memahat kastil yang menjulang tinggi dari gula yang diolah sedemikian rupa dan meletakkannya sebagai pusat perhatian atau titik fokus di atas meja. Pada satu peristiwa, mereka menyajikan pai berukuran besar yang di dalamnya tersembunyi burung-burung hitam yang beterbangan saat pai dirobek, yang membuat para tamu makan malam terkejut. Para juru masak ini juga membentuk buah-buahan dan hewan yang tampak realistis dari marzipan,” tulis Quinzio.

Tuan rumah yang makmur biasanya mengadakan jamuan makan yang terdiri dari tiga hidangan (service) dan disajikan dalam piring-piring besar maupun kecil. Masing-masing hidangan terdiri dari beberapa menu makanan yang disajikan secara prasmanan. Meski service seperti ini telah umum di seluruh Eropa, Krondl menulis, jenis penyajian ini disebut service àla française. Yang menarik, alih-alih dessert, istilah populer yang digunakan dan muncul dalam resep-resep makanan dari abad pertengahan dan Renaisans, adalah entremets yang diartikan sebagai hidangan selingan berupa hidangan gurih dan manis. Setelah semua hidangan selesai, barulah hidangan penutup disajikan.

Menghiasi makanan dengan pahatan atau patung gula menjadi pandangan yang umum dalam setiap jamuan makan di Eropa pada Abad Pertengahan dan Renaisans. (Jeri Quinzio, Dessert: A Tale of Happy Endings).

Hidangan penutup yang disajikan menampilkan warna, tekstur, dan keindahan pahatan gula yang fantastis. Hidangan ini paling menarik secara visual dari rangkaian jamuan makan para bangsawan Eropa. Menurut Denise Ramzy dalam “Dessert Design”, termuat di The Oxford Companion to Sugar and Sweets, seperti halnya proses penciptaan karya seni, proses pembuatan hidangan penutup juga tak dapat dilakukan sembarangan. Sebagai jenis seni plastis, para profesional di bidang ini tak hanya memiliki kemampuan memasak yang mumpuni, tetapi juga memiliki pengetahuan luas tentang disiplin seni lain, mulai dari arsitektur hingga mode.

“Pada akhirnya, makanan penutup yang dihidangkan di atas meja adalah untuk menghibur, bukan memberi makan, dan secara historis, untuk mengkomunikasikan kekuasaan atau status, menyediakan tempat untuk ritual dan tradisi, bertukar ciri-ciri budaya, bahkan melampaui gravitasi dan fisika. Hidangan penutup dibuat untuk membuat orang kagum, untuk dipamerkan dan untuk dinikmati,” tulis Ramzy.

Cara Prancis menyajikan makanan dengan tiga atau lebih hidangan dan diakhiri hidangan penutup yang disajikan dalam keadaan dingin ditiru di seluruh Eropa. Terkait penamaan hidangan penutup, para bangsawan Prancis menyebutnya le fruit, tetapi kaum borjuis menamainya dessert. Sebab, sebagian besar hidangan penutup berbahan dasar buah, seringkali menggunakan selai dan manisan.

Baca juga: 

Dari Tangan hingga Prasmanan

Livia Gershon menulis dalam “The Invention of Dessert”, termuat di JSTOR Daily, 21 Agustus 2019, setelah Revolusi Prancis, istilah “buah” ala bangsawan digantikan oleh dessert. Revolusi pada abad ke-18 ini tak hanya membuat istilah dessert semakin populer di Prancis, tetapi juga memengaruhi penyajian hidangan penutup. Sentimen negatif terhadap para bangsawan yang menghamburkan uang untuk pesta-pesta kerajaan di tengah krisis yang dihadapi masyarakat, serta kerusuhan terkait gula di mana hidangan penutup dipenuhi hiasan dari gula yang indah tetapi jarang dimakan, membuat penyajian hidangan penutup yang sebelumnya dianggap bergaya dan mewah kini tidak lagi dapat diterima.

Dengan runtuhnya rezim lama, hidangan bergaya prasmanan yang megah dan terdiri dari berbagai makanan digantikan oleh penyajian berurutan yang diadopsi dari model Rusia, dikenal dengan nama service àla russe. Penyajian ini membuat semua orang mendapat makanan yang sama, di mana hidangan disajikan satu per satu seperti yang umum dilakukan di masa kini. Hidangan selingan, yang semakin lama semakin manis, bergeser urutan penyajiannya menjadi di bagian akhir jamuan makan, dan hidangan penutup menyusul. Dengan kata lain, terdapat dua makanan manis sebagai penutup sebuah hidangan.

Sebuah ilustrasi yang menggambarkan proses pembuatan hidangan manis untuk jamuan makan di abad ke-16. Mulai dari memotong tebu, mengolah gula hingga membuat adonan kue, produksi makanan manis pada Abad Pertengahan merupakan proses yang melelahkan. (Jeri Quinzio, Dessert: A Tale of Happy Endings).

“Bila di abad ke-18 kata dessert umum digunakan untuk menyebut course atau hidangan, pada akhir abad ke-19 istilah dessert (dalam bentuk jamak) justru lebih populer digunakan untuk menyebut makanan manis itu sendiri. Pada saat itu makanan yang disajikan sebagai hidangan selingan terdiri dari makanan manis dan lembut seperti es krim, sedangkan makanan penutup dapat berupa kue, biskuit, maupun buah,” tulis Krondl.

Pada 1950-an, entremets dan dessert digabung menjadi satu, sehingga menghasilkan urutan penyajian: hidangan pembuka, hidangan utama, salad, keju, dan hidangan penutup. Di sisi lain, harga gula yang terjangkau oleh masyarakat membuat produk ini tak lagi eksklusif untuk golongan tertentu. Inovasi pembuatan makanan manis membuat dessert terus berkembang. Kendati bentuk dan presentasi hidangan penutup masih terus diperhatikan, rasa menjadi poin penting dalam pembuatan dessert. Pada akhirnya tak hanya juru masak profesional, orang biasa pun bisa membuat makanan manis sebagai hidangan penutup yang lezat dan menyegarkan.*

TAG

dessert

ARTIKEL TERKAIT

Program Makanan Bergizi Era Orde Baru Jalan Panjang Memperbaiki Gizi Rakyat Indonesia Budaya Makan Telur di Indonesia Penyanyi Batak Jack Marpaung, dari Penjara Menjadi Pendeta Dua Sisi Ahn Jung-geun dalam Film Harbin Korps Wanita yang Menghadapi Dua Front Barongko, Santapan Raja dan Kesukaan Presiden Akhir Tragis Sang Penerbang Legendaris Sengkarut Tawa dan Sendu dalam Memoir Seorang Guru Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno