Masuk Daftar
My Getplus

Jalan Panjang Memperbaiki Gizi Rakyat Indonesia

Gizi buruk terus membayangi masyarakat Indonesia sejak awal kemerdekaan. Pemerintah pun mengadakan berbagai program untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Oleh: Amanda Rachmadita | 11 Jan 2025
Sejumlah anak Indonesia tengah menunggu giliran untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan di tahun 1947. Upaya perbaikan gizi nasional menjadi program yang terus dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan. (Cas Oorthuys/www.geheugen.delpher.nl).

UPAYA memberantas gizi buruk dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui perbaikan gizi telah menjadi agenda dalam program kerja presiden sejak Indonesia merdeka hingga kini. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai dijalankan secara serentak di 26 provinsi pada Senin, 6 Januari 2025.

Program andalan Prabowo-Gibran ini, yang sebelumnya disebut “makan siang gratis”, menyasar puluhan juta anak usia dini hingga siswa sekolah menengah serta ibu hamil. Program ini diharapkan dapat memperbaiki gizi generasi muda dan mengatasi masalah stunting.

Pemerintah Indonesia sejak lama berusaha menanggulangi masalah stunting atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi dalam jangka panjang. Menurut Vivek Neelakantan dalam Science, Public Health and Nation-Building in Soekarno-Era Indonesia, selama tahun 1950-an, cita-cita nasionalis untuk menciptakan populasi yang kuat dan sehat berpengaruh dalam membentuk arah pengembangan ilmu kesehatan masyarakat di Indonesia, di mana para ahli medis tanah air mengadopsi penafsiran holistik terhadap kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan standar hidup penduduk melalui pengurangan angka kematian ibu dan bayi, pemberantasan malnutrisi, serta penyediaan pendidikan kesehatan.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Operasi Pemberantasan Buta Gizi Masa Sukarno

“Secara simbolis, para ahli menganggap bahwa gizi tidak hanya berperan penting dalam menjaga kesehatan, tetapi juga untuk memastikan distribusi makanan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Mereka melihatnya sebagai kunci untuk mewujudkan impian masyarakat yang adil dan makmur,” tulis Neelakantan.

Namun, berbeda dengan pendekatan teknosentris sempit terhadap kesehatan masyarakat yang dipelopori Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), para ahli medis Indonesia menafsirkan kesehatan masyarakat dari sudut pandang menyadarkan bangsa yang baru saja merdeka dan dilemahkan oleh penjajahan. Pelopor ilmu gizi di Indonesia, Poorwo Soedarmo menjelaskan dalam bukunya, Gizi dan Saya, banyak orang Indonesia sejak zaman kolonial menunjukkan gejala fisik seperti pucat, kurus, jaringan otot dan lemak kurang berkembang, kulit kering (schilferig) bersisik, hingga rambut kusam tidak mengkilap. Selain itu, mereka yang memiliki gejala tersebut biasanya tidak gembira, lamban, dan acuh tak acuh dalam gerakannya, serta prestasi fisik yang kurang. Mereka juga tampak bekerja ogah-ogahan, tidak dapat mencurahkan pikiran dan kurang mampu berpikir kreatif.

Pada anak kecil gejalanya berupa cengeng, lesu, tidak bergairah bergerak ataupun bermain-main. Tinggi dan berat badan juga kurang dari semestinya. Di sekolah, mereka kurang dapat menangkap pelajaran.

“Dalam bahasa Belanda, sindrom semacam ini dinamakan indolentie dan karena banyak orang Indonesia menunjukkan gejala-gejala ini, maka ditarik kesimpulan: de Inlander is indolent yang memiliki arti ‘orang-orang Indonesia itu pemalas’,” tulis Poorwo yang dijuluki Bapak Gizi Indonesia.

Poorwo menyebut orang-orang yang mengalami gejala-gejala itu termasuk dalam kelompok “tidak sehat, tidak sakit”, yang disebabkan karena mengonsumsi makanan kurang bergizi untuk waktu yang lama. Bila diselidiki lebih mendalam gejala-gejala tersebut juga menjadi tanda awal dari malnutrisi, avitaminosis, dan anemia. Bila tak mendapat penanganan yang tepat, kelompok ini menjadi lebih rentan terhadap penyakit yang memerlukan waktu lama untuk sembuh.

Upaya perbaikan makanan di daerah Surakarta sekitar tahun 1963. (Departemen Kesehatan RI, Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia, Jilid II).

Seperti halnya Poorwo Soedarmo, Johannes Leimena yang dikenal sebagai dokter-politisi juga memandang kondisi gizi buruk yang dialami masyarakat terjadi bukan karena orang-orang Indonesia malas. Menurut mantan menteri kesehatan itu dalam bukunya, Kesehatan Rakjat di Indonesia: Pandangan dan Planning, kemiskinan menjadi sumber utama yang harus diberantas dalam memperbaiki gizi rakyat. Seperti sebuah lingkaran setan, kemiskinan membuat masyarakat sulit mendapatkan makanan yang bergizi. Akibatnya, masyarakat, khususnya anak-anak, menjadi rentan terhadap penyakit. Orang-orang yang sakit membuat mereka sulit bekerja dan mendapatkan uang untuk pengobatan. Hal ini pada akhirnya menyebabkan penyakitnya menjadi lebih parah.

Oleh karena itu, selain meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mengonsumsi makanan bergizi, Leimena memandang pemerintah juga harus bahu-membahu memperbaiki kondisi sosial-ekonomi. Sebab, kondisi sosial-ekonomi yang baik dengan sendirinya akan menjamin pengembangan standar dasar kesehatan suatu negara, di mana bangsa yang sehat tercermin dalam kesejahteraan fisik dan mental penduduknya.

“Leimena melihat masalah gizi di Indonesia melalui lensa doktrin Pancasila yang memiliki keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai salah satu prinsipnya. Ia melatih fokusnya pada mesin negara dalam upaya untuk memastikan distribusi makanan yang adil dengan memaksimalkan produksi beras; tetapi rencananya untuk mencapai hal ini terbukti terlalu ambisius. Kementerian Distribusi Umum tidak mampu mengkoordinasikan Kementerian Pertanian, Transmigrasi, dan Tenaga Kerja,” tulis Neelakantan.

Baca juga: 

Penting Memahami Stunting

Sementara itu, untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan gemilang, pada 1950 Leimena mengangkat Poorwo Soedarmo sebagai kepala Lembaga Makanan Rakyat. Poorwo menyusun rencana memperbaiki gizi masyarakat, mulai dari mengadakan survei dan penelitian terkait keadaan gizi masyarakat, membentuk kader-kader yang bertugas meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai gizi dan pentingnya mengonsumsi makanan bergizi, hingga mendorong pemerintah untuk membentuk National Food Policy.

Bagi Poorwo, gizi tidak hanya berperan dalam mencegah penyakit, tetapi juga penting dalam meningkatkan kesehatan. Seperti yang dijelaskannya mengenai kondisi “tidak sehat, tidak sakit”, Poorwo beranggapan bahwa tidak adanya penyakit tidak dengan sendirinya menunjukkan seseorang sehat. Guna mewujudkan masyarakat yang sadar gizi, Poorwo dengan kreatif mendesain ulang pesan-pesan promosi kesehatan dari berbagai negara agar sesuai dengan kondisi Indonesia. Salah satu yang paling populer adalah 4 sehat 5 sempurna.

Slogan 4 Sehat 5 Sempurna yang dirancang Poorwo Soedarmo bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya mengonsumsi makanan bergizi. (Poorwo Soedarmo, Gizi dan Saya).

Slogan yang diciptakan Poorwo itu dimaksudkan untuk mendiversifikasi pola makan masyarakat sehingga tidak bergantung pada satu bahan makanan tertentu. Tak hanya itu, melalui beberapa karyanya, salah satunya Hidangan Sehat: Menyempurnakan Kesehatan dengan Susunan Hidangan yang Benar, Poorwo menginformasikan kepada masyarakat bahwa menyediakan makanan bergizi tak membutuhkan biaya mahal. Menyusun makanan bergizi juga dapat disesuaikan dengan bahan makanan yang ada di sekitar tempat tinggal.

“Mengingat bahwa daging, sumber utama protein hewani, sulit dijangkau oleh banyak orang Indonesia, Poorwo Soedarmo merancang slogan baru yang terkait dengan harga, yaitu murah, tapi baik, yang menyatakan bahwa tempe, sumber protein yang murah tapi kaya akan protein, dapat menggantikan daging dalam menu makanan sehari-hari,” tulis Neelakantan.

Baca juga: 

Empat Sehat Lima Sempurna

Upaya memperbaiki gizi masyarakat tak berhenti di masa pemerintahan Sukarno. Ketika Soeharto berkuasa, pemberantasan gizi buruk masuk dalam kerangka kerja pemerintah dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Masalah pokok yang dihadapi pada kurun waktu Pelita I di bidang pangan dan gizi adalah masyarakat sangat bergantung pada beras. Ketergantungan ini dikhawatirkan dapat memicu kepanikan bila kekurangan beras terjadi di tengah masyarakat. Sebagai upaya menjaga keseimbangan antara permintaan dan penawaran beras, pemerintah menentukan kebijakan harga beras tertinggi (ceiling price), agar tetap dapat dijangkau oleh konsumen.

Di samping terus menggalakan penyuluhan gizi di desa-desa, pemerintah juga melakukan uji coba menanggulangi penyakit akibat kekurangan vitamin A, seperti memberikan minyak kelapa sawit (red palm oil) kepada ribuan anak prasekolah di beberapa provinsi, serta memberikan vitamin A dosis tinggi kepada puluhan ribu anak di 20 kecamatan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Di era Orde Baru pula fortifikasi pangan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu gizi pada bahan pangan digalakan. Fortifikasi adalah upaya menambahkan zat gizi mikro yang baik untuk tubuh ke dalam bahan makanan. Aya Hirata Kimura menulis dalam Hidden Hunger: Gender and the Politics of Smarter Foods, seiring meningkatnya perhatian terhadap program fortifikasi pangan di sejumlah negara, Indonesia terdorong untuk melaksanakan program tersebut dengan kebijakan yang paling ramah pasar di bidang gizi.

Ada sejumlah upaya fortifikasi pangan yang dilakukan Indonesia. Namun, yang berhasil diwujudkan hanya beberapa, di antaranya fortifikasi tepung terigu dan garam beryodium yang difortifikasi oleh Undang-Undang di Indonesia. Peraturan baru terkait fortifikasi ini mewajibkan tepung terigu yang dijual –baik impor maupun produksi dalam negeri– untuk difortifikasi dengan zat besi, seng, asam folat, dan vitamin B, sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).

Warga Maluku mengantre untuk menjalani pemeriksaan kesehatan di Maluku pada tahun 1981. Selain mengadakan jam konsultasi, para perawat juga melakukan penyuluhan tentang nutrisi dan pentingnya mengonsumsi makanan bergizi. (MHM/coll. CPS/www.geheugen.delpher.nl).

“Kebijakan fortifikasi tepung terigu ini dianggap sebagai keberhasilan besar bagi para pendukung zat gizi mikro (mikronutrien), yang akhirnya berhasil mewujudkan kebijakan fortifikasi publik di Indonesia…Faktanya, industri tepung terigu telah diuntungkan oleh program fortifikasi ini. Waktu kebijakan tersebut menarik; persyaratan fortifikasi wajib dimulai sekitar waktu ketika industri yang sebelumnya dilindungi ini dideregulasi, dan tepung terigu impor mulai membanjiri pasar Indonesia. Ketika peraturan fortifikasi menjadi Undang-Undang, banyak tepung terigu yang diimpor tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, sehingga tidak dapat diimpor,” tulis Kimura.

Kendati upaya memperbaiki gizi masyarakat terus muncul dalam Pelita di masa Orde Baru dan terus diupayakan solusinya, pelaksanaan kebijakan ini seringkali menjadi sorotan masyarakat. Contohnya, pembentukan Gerakan Pekerja Wanita Sehat dan Produktif oleh wakil presiden pada November 1996. Sebagai kampanye nasional, gerakan ini mendorong perusahaan-perusahaan untuk membagikan pil zat besi kepada para pekerja perempuan untuk menanggulangi penyakit anemia. Pemerintah menerbitkan “Pedoman Kecukupan Gizi Bagi Tenaga Kerja” untuk membantu memperbaiki makanan bagi pekerja di kantor, mengambil sampel darah dari pekerja perempuan, dan meminta perusahaan untuk memberikan suplemen zat besi seminggu sekali selama 16 minggu per tahun.

Baca juga: 

Budaya Makan Telur di Indonesia

Kendati gerakan ini bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, kegiatan ini juga dimotivasi oleh kebutuhan tenaga kerja produktif dan efisien untuk tujuan pembangunan nasional. Perhatian pemerintah yang tampak baik terhadap kesehatan pekerja perempuan menjadi kontradiksi bila disandingkan dengan kebijakan perburuhan yang represif. Buruh tidak dapat berorganisasi atau melakukan tawar-menawar. Buruh juga menghadapi risiko penindasan oleh militer dan aparat keamanan jika melawan kebijakan yang memberatkan. Bila melihat sebab-akibat, kondisi kerja buruh perempuan yang sangat buruk dan upah yang rendah berperan besar dalam tingginya angka penyakit anemia di kalangan wanita, khususnya buruh perempuan. Pendapatan yang kecil membuat mereka kesulitan mengonsumsi makanan bergizi.

Pada akhirnya, seperti dijelaskan Kimura, mikronutrien mulai menjadi titik fokus definisi masalah pangan dan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada 1990-an. Akan tetapi, hal ini tidak didorong oleh tuntutan dari masyarakat. Para ahli internasional dan nasional yang melihat dan mencari zat gizi mikro sebagai cara terbaik untuk mengatasi kebijakan pangan dan gizi. Hasilnya, upaya-upaya yang dilakukan terfokus pada sinkronisasi kebijakan pangan dengan konsensus ilmiah internasional dan prioritas pembangunan nasional, tetapi tidak dengan kebutuhan masyarakat miskin dan terpinggirkan, yang tidak didengar.*

TAG

gizi jejakgizihistoriaid

ARTIKEL TERKAIT

Budaya Makan Telur di Indonesia Operasi Pemberantasan Buta Gizi Masa Sukarno 4 Sehat 5 Sempurna* Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Penting Memahami Stunting Penyanyi Batak Jack Marpaung, dari Penjara Menjadi Pendeta Dua Sisi Ahn Jung-geun dalam Film Harbin Korps Wanita yang Menghadapi Dua Front Barongko, Santapan Raja dan Kesukaan Presiden Akhir Tragis Sang Penerbang Legendaris