Penting Memahami Stunting
Mencegah stunting berarti menyelamatkan masa depan negara dan anak-anak kita.
ISTILAH stunting tiba-tiba menarik perhatian masyarakat setelah dibahas dalam Debat Calon Wakil Presiden, 17 Maret lalu. Masing-masing kandidat memaparkan strategi penanganan yang bakal diambil bila kelak menang.
Stunting merupakan bentuk gagalnya pertumbuhan anak akibat kekurangan gizi kronis, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Hal ini dicirikan dengan tinggi badan anak lebih pendek dari anak seusianya. Bukan hanya fisik, kecerdasannya juga terhambat. Ketika beranjak dewasa, si anak rentan terhadap penyakit, kegemukan, dan kurang berprestasi di sekolah.
Kasus stunting masih banyak dijumpai di Indonesia. Kementerian Kesehatan mencatat per 2018 sekitar 4 juta anak bawah dua tahun (baduta) Indonesia mengalami kondisi balita bertubuh pendek (stunting). Kondisi ini bisa mengancam bonus demografi yang akan dialami Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.
Karena itulah tahun lalu pemerintah mencanangkan Kampanye Nasional Pencegahan Stunting. Kampanye ini juga merupakan implementasi dari pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2018 yang menegaskan bahwa pembangunan sumber daya manusia diawali sejak dari kandungan.
Menurut dokter spesialis Gizi Klinik Dermawan Claudina Nadeak Sp.GK, pemberian asupan gizi yang memadai pada 1000 hari pertama kehidupan memang amat menentukan. “Ibu yang gizi buruk akan melahirkan bayi yang gizi buruk juga. Bayi yang berat badan kurang akan tumbuh menjadi children yang stunted,” katanya.
Baca juga: Infografis Riwayat Penanggulangan Stunting
Upaya Perbaikan Gizi
Pernah dengar lagu “Gang Kelinci”? Lagu ciptaan Titik Puspa itu dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Lilis Suryani tahun 1963. Lagu itu mengisahkan tentang “aku” yang tinggal di Gang Kelinci, sebuah gang sempit yang padat penduduk di Jakarta.
Kami semua hidup rukun dan damai
Hanya satu yang aku herankan
Badanku bulat tak bisa tinggi
Persis kayak anak kelinci
Menurut Agus Setiawan, pengajar Ilmu Sejarah Kesehatan Universitas Indonesia, sejauh ini belum ada studi historis-medis yang khusus membahas stunting di Indonesia. Namun, fenomena stunting di masa lalu bisa dilihat dari metafora yang terdapat dalam lirik lagu “Gang Kelinci”.
“Bisa jadi, kalau melihat penyebabnya yakni gizi buruk, stunting sudah ada pada masa lalu,” ujar Agus.
Masalah gizi sudah menjadi perhatian sejak era kolonial. Setelah pontang-panting mengatasi gizi buruk akibat krisis ekonomi pada 1930, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Instituut Voor de Volkvoeding (IVV) pada 1934. Lembaga ini melakukan riset-riset terkait pengaruh gizi terhadap kesehatan serta mencari pangan alternatif. Beberapa di antara diterbitkan seperti Makanan jang Baik Dimasa Perang (1940) dan Makanan jang Moerah tetapi Baik (1941).
Baca juga: Stunting dan Sejarahnya di Indonesia
Langkah pemerintah diikuti para ahli nutrisi dan gastronom. Konsultan pertanian untuk pendidikan GA van de Mol menulis Gezonde Voeding (Makanan Sehat) yang menyerukan agar keluarga Eropa di Hindia beralih ke pangan “pribumi”, yang lebih kaya sayuran dan buah-buahan ketimbang daging, sebagai alternatif. Tokoh perempuan-pejuang Chailan Sjamsu Datuk Tumenggung, lewat Boekoe Masak-Masakan (1940), mendorong masyarakat aktif memanfaatkan bahan-bahan makanan lokal seperti jagung, ketela, ubi, dan sagu.
“Maksud penerbitan buku pedoman itu untuk membentuk rumah tangga sebagai garda terdepan dalam menanamkan pengetahuan mengolah makanan yang murah atau sederhana tapi baik pada masa-masa sulit,” tulis Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara.
Perhatian pemerintah terhadap gizi dan kesehatan dibuktikan dengan Konfrensi Bandung, yang diinisiasi League of Nations Health Organisation (LNHO), pada 1937. Konferensi itu membahas masalah kesehatan pedesaan dari berbagai sudut disiplin ilmu, melibatkan tenaga medis dan petugas sanitasi, arsitek, ilmuwan, dan pakar pertanian.
Namun, pendudukan Jepang menghancurkan upaya perbaikan itu. Wajib setor hasil pertanian membuat rakyat kekurangan pangan. “Karena bahan makanan dirampas, obat-obatan terbatas, akhirnya makin parah,” kata Agus. Gizi buruk melanda. Penduduk terpaksa bertahan hidup dengan makanan seadanya. Bekicot jadi pilihan populer sumber protein.
Sebagai upaya menjawab masalah yang muncul akibat kebijakannya, pemerintah pendudukan Jepang memerintahkan rakyat mengkonsumsi sumber pangan alternatif pengganti beras. Sebagai tindak lanjut, diperkenalkan resep-resep baru untuk pelengkap seperti Bubur Perjuangan, Bubur Asia Raya, dan Roti Asia. “Resep-resep itu umumnya disebut menu ‘perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Baca juga: Bubur Perjuangan dan Roti Asia
Setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan perhatian serius terhadap perbaikan gizi masyarakat. Dokter-politisi Johanes Leimena menyadari betul eratnya hubungan antara gizi dan kesehatan masyarakat. Pembangunan bangsa (national building) takkan berhasil tanpa kesehatan masyarakat yang baik. Faktanya, gizi buruk (malnutrisi) masih menjangkiti masyarakat.
Sejumlah langkah pun diambil pemerintah. Pada 1950 pemerintah membentuk Lembaga Makanan Rakyat, sebagai pengganti Intituut Voor de Volkvoeding pada masa kolonial. Lembaga ini dipimpin Poorwo Soedarmo dan merintis berbagai program gizi nasional berupa penyuluhan gizi, pendidikan tenaga gizi, dan penanggulangan masalah gizi.
Selain LMR, dibentuk pula Jajasan Bahan Makanan (BAMA) yang kemudian diubah jadi Jajasan Urusan Bahan Makanan (JUBM) dengan wewenang sebagai lembaga tunggal untuk pengadaan beras nasional. Lalu, untuk menyelaraskan kebijakan pangan dan gizi dibentuk Badan Perbaikan Makanan Rakyat yang kemudian ditingkatkan menjadi Dewan Makanan Rakyat.
Bukan perkara mudah bagi LMR untuk menjalankan tugasnya. Selain kondisi perekenomian masih buruk, mayoritas penduduk Indonesia tak peduli gizi atau lebih tepatnya tak tahu gizi. Tugas LMR pun dimulai dari nol.
“Dalam memperkembangkan Lembaga Makanan Rakyat saya mulai dengan pendidikan kader, karena saya berpendapat, perbaikan pelayanan makanan dalam masyarakat dan pemerintah hanya dapat dilaksanakan bila sudah ada kader,” ujar Poorwo dalam memoar berjudul Gizi dan Saya. Kebutuhan itu melahirkan Akademi Gizi. Lulusannya kemudian menjadi ujung tombak perbaikan gizi di masyarakat.
Baca juga: Tanam Paksa Dorong Penelitian Pangan
Kendala lainnya: tak ada data statistik soal kesehatan masyarakat. Data itu penting sebagai dasar untuk membuat kategori “rata-rata orang Indonesia” dan konsumsinya. “Menentukan ‘rata-rata Orang Indonesia’ itu dan kebutuhannya akan makanan adalah suatu hal yang amat berbelit-belit. Akhirnya kita pun harus insyaf, bahwa sebagian besar rakyat belum mencapai berat dan tinggi badan yang semestinya, sehingga harus tersedia jumlah extra untuk mereka ini,” kata Poorwo.
Sejalan dengan itu, pada 1952 Kementerian Kesehatan membentuk Biro Kesehatan Ibu dan Anak.
Upaya lebih serius pemerintah membangun kesehatan masyarakat dilakukan pada 1955. Menteri Kesehatan Leimena pada 1955 menelurkan blueprint kesehatan holistik yang dikenal dengan Rencana Bandung untuk mencapai pengurangan drastis angka kematian ibu dan bayi dengan biaya serendah mungkin. Untuk mewujudkannya, langkah-langkah yang dianjurkan adalah peningkatan kondisi ekonomi masyarakat, dan mendidik ibu tentang nutrisi dan pencegahan penyakit.
Untuk mempermudah masyarakat memahami gizi, Poorwo menciptakan kampanye dengan slogan “Empat Sehat Lima Sempurna”. Upaya tersebut membuahkan hasil karena keterlibatan perorangan, lembaga masyarakat atau partai politik yang juga melakukan gerakan memperbaiki kesehatan.
“Antara tahun 1950 dan 1955, kemajuan kesehatan masayarakat Indonesia tampak menjanjikan. Selama periode ini, rencana berani telah dirumuskan dan sejumlah inisiatif menjanjikan telah diluncurkan,” tulis Vivek Neelakantan dalam disertasinya “Health and Medicine in Soekarno Era Indonesia”. Namun, semua itu berantakan pada paruh kedua 1950-an akibat ketegangan politik, koordinasi buruk pusat-daerah, dan korupsi.
Baca juga: Pangan Zaman Perang di Indonesia
Untuk menghadapi kekurangan pangan, kelaparan dan kekurangan gizi yang dikenal dengan "busung lapar", pada awal 1960 dilancarkan program diversifikasi pangan dengan nama Operasi Makmur sebagai upaya meningkatkan produksi pangan bukan beras. Lalu, diluncurkan pula gerakan mengganti beras dengan jagung sebagai bagian dari program Revolusi Makanan Rakyat (RMR). Gerakan ini didukung dengan penyuluhan gizi yang waktu itu disebut sebagai Operasi Buta Gizi.
Secara simbolis, kampanye itu diluncurkan dalam jamuan makan di Istana Bogor pada 12 Juli 1964. Tak satupun menu yang disajikan dalam jamuan itu berbahan beras. “Kepada yang biasa makan nasi 2 sampai 3 kali sehari, saya serukan: ubahlah menumu, campurlah dengan jagung, ketela rambat, singkong, ubi, dan lain-lain,” kata Sukarno dalam pidato kemerdekaan, 17 Agustus 1964.
Sebagai realisasi, pemerintah antara lain mengubah jatah natura pegawai menjadi 75 persen beras dan 25 persen jagung. Selain itu, Kementerian Kesehatan mendorong rakyat membuat makanan dari bahan nonberas dan membentuk Komando Operasi Pemberantasan Buta Gizi hingga ke tingkat kabupaten. Hasilnya, sejumlah daerah yang sebelumnya kerap kekurangan pangan, tidak lagi mengalaminya.
Menurut Neelakantan, Operasi Buta Gizi awalnya dilaksanakan di provinsi Jawa Barat yang terkena dampak kelaparan pada 1964 dengan diperkenalkannya varietas jagung unggul. Sejak tahun itu, kasus kelangkaan pangan tak terjadi lagi. Bahkan distribusi butiran makanan di sana meningkat. “Tetapi, karena Revolusi Makanan Rakyat dilaksanakan selama konfrontasi dengan Malaysia, hanya sebagian yang berhasil,” tulis Neelakantan. Kemiskinan, inflasi yang tinggi, pertumbuhan penduduk dan turunnya produksi pangan menggagalkan upaya pemerintah.
Terus Berjalan
Pemerintahan Soeharto mewarisi bukan hanya program gizi tapi juga permasalahan gizi dari masa sebelumnya. Produksi pangan sebagai komoditas strategis yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan inflasi menjadi perhatian utama. Hal itu diatasi dengan program swasembada beras dan juga diversifikasi pangan.
Upaya perbaikan gizi juga tak luput dari perhatian. Kampanye “Empat Sehat Lima Sempurna” masih dijalankan dan dikembangkan. Selain itu, pada 1970 hingga 1980-an, upaya perbaikan gizi dilakukan melalui kegiatan penyuluhan gizi masyarakat, gerakan sadar gizi atau program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), pembinaan dan peningkatan keadaan gizi kelompok atau dikenal dengan Usaha Perbaikan Gizi Institusi (UPGI), upaya fortifikasi bahan pangan atau memperkaya mutu gizi bahan makanan (misal dengan garam yodium, vitamin A dan zat besi), serta peningkatan penerapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) atau kegiatan pemantauan perkembangan keadaan gizi masyarakat.
Pada 1986, pemerintah Presiden Soeharto mendirikan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yang kemudian dibangun di desa-desa untuk meningkatkan kesehatan perempuan dan anak-anak. Posyandu mempunyai lima program, yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), keluarga berencana (KB), gizi, penaggulangan diare, dan imunisasi. Dalam perkembangannya Posyandu juga dimanfaatkan untuk pelayanan ibu hamil, lansia, serta promosi dan distribusi vitamin A, garam yodium, dan suplemen gizi lainnya.
Baca juga: Operasi Pemberantasan Buta Gizi Masa Sukarno
Posyandu menjadi garda terdepan dalam upaya pengendalian dan pencegahan berbagai penyakit di masyarakat dengan imunisasi dan sosialisasi. Posyandu berperan memberikan vaksin dan makanan suplemen kepada bayi dan anak-anak. Posyandu juga menjadi deteksi dini terhadap kasus-kasus kekurangan gizi pada bayi dan anak-anak.
Para praktisi kesehatan pemerintah maupun swasta terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan masalah gizi. Soekirman, wakil ketua Bappenas bidang Sosial-Budaya, misalnya, menghadiri Konferensi Pangan Sedunia yang dihelat Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma pada 1992.
Dalam konferensi itu, gizi menjadi pembahasan penting. Pola yang dihadapi dunia telah berubah, banyak negara tak lagi menghadapi masalah anak kurus dan kurang gizi tapi justru obesitas. Maka, Konferensi pun menetapkan semua negara berkembang yang menggunakan pedoman sejenis “Basic Four” agar menyempurnakannya menjadi “Nutrition Guide for Balance Diet” atau Pedoman Gizi Seimbang (PGS).
Rekomendasi konferensi itu belum diterapkan di Indonesia. Penyebabnya, saat itu pemerintah sudah mengeluarkan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS). Anak TK sampai SD mendapat makanan tambahan seperti bubur kacang hijau di sekolah. Sasaran program PMT-AS adalah anak SD di daerah miskin yang kurang gizi dan berprestasi rendah. Mereka diberikan bantuan dana untuk digunakan ibu mereka membeli bahan makanan. Dananya disalurkan lewat Bank Rakyat Indonesia dan Kantor Pos.
Namun, program PMT-AS terkendala korupsi. Soekirman sendiri menyoroti kelemahan “Empat Sehat Lima Sempurna” yang digagas gurunya, Poorwo, yakni diabaikannya empat pilar penting yang meliputi: makanan harus beragam dan memenuhi kebutuhan, menjaga kebersihan, aktif bergerak atau berolahraga, dan pemantauan intensif berat badan ideal.
“Program 4 Sehat 5 Sempurna itu sudah usang. Tidak ada ceritanya ada makanan yang utama. Semua itu harus dipadukan dengan pola hidup sehat. Seperti susu, itu kan sudah sama dengan ikan, sebagai unsur protein,” kata Soekirman kepada Historia beberapa tahun silam.
Baca juga: Sukarno dan Gerakan Makan Jagung
Kondisi itu mendorong Soekirman memberanikan diri mengutarakan ide yang ditetapkan konferensi FAO lewat diskusi maupun tulisan. Upayanya membuahkan hasil. PGS dijadikan program perbaikan gizi oleh pemerintah pada 1993. Sosialisasinya dilakukan seperti sebelumnya, lewat penyuluhan dan penyebaran selebaran dan poster.
Idealnya, dengan berbagai program tersebut, persoalan gizi sudah hilang atau minimal menurun. Faktanya, jumlah penderita stunting masih tinggi.
Masalah stunting kian menjadi perhatian serius pemerintah. Sejak 2011 pemerintah ikut ambil bagian dalam gerakan global yang dinamai Scalling Up Nutrition Movement (SUN Movement) di bawah koordinasi sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Bentuk keseriusan pemerintah antara lain ditandai dengan keluarnya Peraturan Presiden No. 42/2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi. Prioritas diarahkan pada 1.000 hari pertama kehidupan, yakni 270 hari selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran sampai anak usia 2 tahun, yang dikenal dengan sebutan Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan atau disingkat Gerakan 1000 HPK. Fokusnya pada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak usia 0-23 bulan.
Mengubah Perilaku
Selama ini sebagian masyarakat salah kaprah mengenai stunting. Kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dianggap sebagai faktor keturunan (genetik), sehingga orangtua hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya.
Sebagian masyarakat juga menganggap stunting hanya terjadi pada anak dari keluarga miskin. Padahal stunting juga bisa terjadi pada anak keluarga kaya. Di kota maupun di desa.
Untuk itulah pemerintah melakukan Kampanye Nasional Pencegahan Stunting. Ada berbagai program da aktivitas yang disiapkan pemerintah untuk mencegah stunting. Antara lain meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan serta melatih para petugas kesehatan dan kader agar mampu mendidik masyarakat.
Pencegahan stunting dilakukan melalui intervensi gizi spesifik, yakni kegiatan dalam jangka pendek dan terkait sektor kesehatan. Pemerintah telah merevitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu) sebagai sarana pendidikan gizi serta pemantauan ibu hamil dan tumbuh-kembang balita. Di posyandu pula dilakukan pemberian tablet tambah darah bagi ibu hamil serta vitamin A, obat cacing, dan imunisasi bagi balita. Selain itu, Kementerian Kesehatan melakukan kampanye gizi seimbang, bahkan membuka kelas ibu hamil.
Sementara ibu menyusui dianjurkan melakukan inisiasi menyusui dini, memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif hingga bayi usia enam bulan yang dilanjutkan hingga anak usia 2 tahun dengan disertai pemberian makanan pendamping ASI (MPASI).
Baca juga: Bidan Diciptakan Agar Angka Kematian Ibu dan Bayi Bisa Ditekan
Menurut Dermawan, pemberian asupan gizi yang memadai pada 1.000 hari pertama kehidupan memang amat menentukan tumbuh-kembang anak. “Pada masa itulah kita kasih makanan yang baik ibunya, setelah itu bayinya. Karena periode itu girus-girus otaknya lebih banyak kalau makanannya bagus dibanding yang nggak,” ujarnya.
Selain masalah gizi, stunting dipengaruhi banyak faktor. Masalah kebersihan dan sanitasi ikut andil terjadinya stunting. Masih banyak orang yang mandi di sungai atau kesulitan mendapatkan akses air bersih. Polusi, asap rokok, penggunaan pestisida dan pencemaran lingkungan juga mempengaruhi tumbuh-kembang anak.
“Bila dibiarkan, pertumbuhan akan terganggu dan menyebabkan kejadian stunting (pendek) yang semakin banyak. Dampak cemaran lingkungan harus terus diwaspadai,” tulis Trihono dkk. dalam Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya.
Untuk itu, pemerintah melakukan intervensi gizi sensitif, yakni kegiatan di luar sektor kesehatan murni. Keberhasilan intervensi gizi sensitif memerlukan peran dan keterlibatan lintas sektoral, bukan hanya Kementerian Kesehatan tapi juga kementerian dan lembaga terkait lainnya. Menteri Kesehatan Nilai F. Moeloek selalu menekankan bahwa stunting bukan hanya permasalahan di sektor kesehatan tapi juga permasalahan yang harus diselesaikan bersama.
Melalui Peraturan Presiden No. 41 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan gizi, pemerintah melibatkan 13 kementerian yang sesuai tugas pokok dan fungsinya melakukan pencegahan stunting. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kem. Kominfo) ditunjuk menjadi koordinator kampanye nasionalnya.
Direktur Informasi dan Komunikasi PMK, Ditjen IKP Kemenkominfo Wiryanta mengatakan bahwa Kementerian Kominfo sesuai amanat ratas sebagai koordinator kampanye nasional, telah melakukan kampanye menggunakan berbagai media, TV, Radio, media cetak, online, media sosial sampai pertunjukan rakyat dan forum. Pada 2018, pada cakupan wilayah pada daerah prioritas sekitar 100 Kabupaten/Kota.
“Kita juga mempunyai gerakan sosial 3P (PEDULI, PAHAMI dan PARTISIPASI). Hal ini bisa membantu mengurangi keberadaan gizi buruk. PEDULI, mulai peduli lingkungan sekitar, lihat kondisi balita di keluarga atau lingkungan sekitar. PAHAMI, carilah informasi sebanyak mungkin, melalui media apapun tentang stunting atau kekurangan gizi kronik ini. Terakhir, BERPARTISIPASI, berikan informasi yang benar pada keluarganya dan edukasi mereka,” pungkasnya.
Untuk menciptakan generasi Indonesia bersih dan sehat serta bebas stunting, Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik menginisiasi GenBest (Generasi Bersih dan Sehat). Program ini mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, agar menerapkan pola hidup bersih dan sehat sehari-hari melalui situswebnya genbest.id dan media sosial @genbestid. GenBest menyediakan informasi seputar stunting, kesehatan, nutrisi, tumbuh kembang anak, dan sanitasi maupun kesehatan lingkungan dalam bentuk artikel, infografik, dan videografik.
Terakhir, Kemenkominfo menyiapkan aplikasi “Anak Sehat”. “Anak Sehat merupakan aplikasi mobile promotif edukatif yang dikembangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memantau kondisi ibu hamil dan baduta (bayi dibawah dua tahun). Pengembangan aplikasi ini diinisiasi karena belum adanya aplikasi terintegrasi milik pemerintah yang dapat digunakan untuk memantau tumbuh kembang anak dan kondisi ibu hamil guna menurunkan prevalensi stunting,” ujar Wiryanta.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah menunjukkan hasil positif. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting menurun menjadi 30,8 persen dari angka 37,2 persen pada Riskesdas 2013. Namun, ini masih di atas angka toleransi Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen.
Dalam acara Stunting Summit pada Maret 2018, Nila F. Moeloek mengingatkan kerugian yang akan ditanggung apabila masih ada stunting di Indonesia. “Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan untuk membangun negeri ini. Untuk itu mari bersama kita menuntaskan permasalahan stunting secara holistik dan terintegrasi,” ujarnya.
Jadi, jangan anggap remeh stunting.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar