Bidan Diciptakan Agar Angka Kematian Ibu dan Bayi Bisa Ditekan
Profesi bidan dihadirkan pemerintah kolonial untuk menekan AKI. Tak berjalan lantaran sepi peminat. Pendidikan kebidanan mengalami pasang surut.
TINGGINYA angka kematian ibu dan bayi (AKI) pada awal abad ke-19 memunculkan ide pengadaan bidan di negeri jajahan. Kala itu, bidan Eropa masih sangat terbatas. Dus, pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang Eropa yang ada di kota besar. Alhasil, dukun beranak jadi andalan dalam membantu persalinan orang pribumi dan indo. Bahkan, terkadang perempuan kulit putih di pelosok pun menggunakan jasa mereka.
Praktik tersebut amat tidak disukai ahli medis Eropa. Mereka menganggap dukun bayi tidak hiegenis dan kurang pengetahuan. Mereka juga berpendapat, ketidaktahuan dan kenekatan dalam menangani kasus kelahiran yang sulit jadi biang kerok kematian ibu dan anak. Untuk itulah para dokter Eropa memperkenalkan profesi bidan ke negeri jajahan. Tujuan utamanya, menggusur eksistensi dukun dan menekan AKI.
Dinas Layanan Medis Sipil pada 1809 mengeluarkan aturan, dokter-dokter di kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang ditugaskan melatih perempuan pribumi dan Eropa menjadi bidan. Tugas serupa juga dibebankan pada bidan-bidan Eropa mulai 1817. Di tahun yang sama, Direktur Agrikultur, Seni, dan Ilmu Pengetahuan CGC Reinward meminta ahli kandungan yang berdinas di kota untuk mengajari dan mengawasi bidan ketika menangani kasus kelahiran sulit demi mencegah kematian ibu. Sayangnya, kata Liesbeth Heeselink dalam bukunya Healers on The Colonial Market, rencana ini dijalankan tidak sesuai harapan.
Baca juga: Melacak Jejak Dukun Beranak
Pada 1825 sekolah bidan didirikan di Batavia. Namun, ia sepi peminat. Sekolah bidan pun mengalami buka-tutup selama beberapa dekade. Getolnya upaya Belanda menghadirkan praktik kebidanan di negeri jajahan berbenturan dengan antusiasme penduduk pribumi yang amat minim.
Pada 1836, pemerintah hendak mengisi posisi bidan di tingkat kota yang kosong dengan kembali membicarakan ide pelatihan bidan pribumi. Menurut Kepala layanan medis EA Fritze, mengajarkan perempuan pribumi untuk memenuhi kebutuhan bidan hingga ke luar Jawa harusnya tidak sulit.
Dua tahun kemudian, beberapa perempuan pribumi berhasil di-opyak-opyak untuk masuk sekolah bidan setelah diiming-imingi pekerjaan, sekolah gratis, bahkan mendapat biaya hidup. Namun tak lama setelah program ini berjalan, Fritze lengser dari jabatan. Ia digantikan oleh P.J. Godefroy.
Menurut Godefroy rencana pendidikan bidan punya tiga kendala, yakni anggaran, sulitnya mencari murid perempuan, dan ketidakpastian ibu hamil menggunakan jasa bidan.
Baca juga: Usaha Belanda Menyingkirkan Dukun Beranak
Pada 1850 pendidikan bidan bagi perempuan pribumi kembali dibuka di Batavia oleh dokter W Bosch. Dokter HB van Buuren yang menulis laporan pada 1897-1898 menyebut pelatihan yang diberikan cukup bagus. Dalam laporannya, Van Buuren menulis ada 20 gadis pribumi yang menjalani pelatihan selama dua tahun. Pengajaran yang diberikan di tahun pertama seputar membaca, menulis, dan aritmetika. Ilmu kebidanan baru diajarkan pada tahun kedua. Sayangnya, setelah dua tahun sekolah ini ditutup karena kurang peminat.
Pada 1873, para ahli medis kembali menggalakkan penjaringan calon bidan. Ada 142 perempuan yang bersedia masuk sekolah bidan. Namun di tengah jalan, hanya setengahnya yang meneruskan praktik kebidanan, mayoritas bekerja di Jawa.
Pada tahun berikutnya mereka kesulitan mendapat murid baru. Dalam artikel “Midwives, Missions, and Reform” dalam buku Medicine and Colonial Identity Hillary Marland menyebut, pada 1875 sekolah bidan tersebut terabaikan karena ongkos yang terlalu mahal. Kas mereka ludes untuk keperluan tunjangan yang harus disediakan. Mereka harus membayar biaya operasional sekolah, jaminan gaji cukup sebagai iming-iming agar gadis pribumi mau mendaftar, dan biaya kampanye praktik kebidanan untuk menyingkirkan dukun beranak.
Ide tentang pelatihan bidan bagi gadis pribumi baru kembali mencuat tahun 1886. Program pelatihan baru dibentuk dengan model privat. Para dokter Eropa dibayar oleh pemerintah per murid. Program mulai diberlakukan pada 1891. Namun hingga 1897, tetap sepi peminat. Jumlah murid yang bisa dijaring hanya 14 orang. Sementara di Belanda, sekolah kebidanan menelurkan 60-70 bidan terlatih tiap tahunnya.
Baca juga: Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
Meski sepi peminat, bidan-bidan yang sudah lulus pelatihan bekerja dengan baik. Selama enam bulan Van Buuren mendampingi dua bidan pribumi membantu persalinan di Kediri. Hasilnya cukup membuatnya gembira. Per Mei-Juli 1898, ada 100 perempuan pribumi, 14 orang Tionghoa, dan tiga orang Eropa yang proses kelahirannya dibantu bidan pribumi. Angka ini meningkat jika dibandingkan tahun 1885. Dalam setahun hanya sekira 25 ibu hamil yang mempercayakan persalinannya pada bidan pribumi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar