Sukarno dan Gerakan Makan Jagung
Makanan pokok tak harus selalu sama. Jagung menjadi bagian dari revolusi menu makan orang Indonesia.
Meja makan di Istana Bogor penuh dengan beragam sajian untuk para tetamu Presiden Sukarno. Semua serba jagung. Tak ada sebutir beras pun di meja. Ini sajian tak biasa. Malam itu, 12 Juli 1964, Sukarno mencanangkan revolusi menu makan orang Indonesia. Beras bukan lagi satu-satunya sumber karbohidrat dalam menu makan orang Indonesia.
“Apa yang telah dilakukan di Istana Bogor itu harus menjadikan kita insaf, bahwa jagung dalam pesta-pesta, upacara-upacara, dan selamatan menjadikan adanya beras tidak mutlak,” kata Menteri Kesehatan Prof. Dr. Satrio, dikutip Djaja, 14 November 1964.
Jagung mulai diusulkan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras sejak 1962. Saat itu Lembaga Penelitian Pengolahan Hasil Bumi dan Teknologi Bahan Makanan menemukan cara baru mengolah dan menyajikan jagung. Mereka mendemonstrasikan jagung bercita rasa baru itu di Istana Bogor.
Baca juga: Nasi Sejak Dulu Kala
Presiden Sukarno bersama beberapa menteri mencicipi sajian jagung yang mirip butiran nasi. Sajian itu lengkap dengan sayur lodeh, telur bebek rebus, tempe goreng, dan bebuahan. Rasanya cukup maknyus di lidah Sukarno dan para menteri.
“Beliau-beliau itu semua menyatakan kepuasan mereka akan nasi jagung itu yang tiada bedanya dengan nasi biasa,” catat Djaja, 19 Januari 1962.
Kecuali di beberapa tempat seperti Jawa Timur, Madura, Maluku, dan Sulawesi Selatan, orang Indonesia biasanya enggan makan nasi jagung. Mereka bilang jagung seret di kerongkongan, berat di pencernaan, dan rasanya tak seenak nasi beras.
Ketergantungan pada Beras
Tapi cara Lembaga Penelitian Pengolahan Hasil Bumi dan Teknologi Bahan Makanan mengolah jagung membuat rasanya berbeda. Berbeda dari cara mengolah jagung pada umumnya, cara mengolah baru untuk jagung telah memisahkan tepung, menir, serat kasar, dan butir jagung. Nantinya menir, tepung, dan serat kasarnya bisa untuk makanan ternak dan bahan tepung maizena.
Pengolahan baru untuk jagung itu memerlukan penggilingan khusus. Tempat itu baru tersedia di Bogor, Jawa Barat. Karena itu, menurut Soerdjo Admodipuro dari Lembaga Penelitian Pengolahan Hasil Bumi dan Teknologi Bahan Makanan, jagung masih butuh proses panjang untuk diterima sebagai bahan pangan utama di luar beras.
Tahun 1963, Indonesia kekurangan pasokan beras. Impor beras tak bisa menutup kekurangan itu. Masalah ini sudah terjadi dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi tiap tahun angka kekurangan beras selalu melebar. Menurut Sukarno, menggantungkan urusan pangan pada impor sangat berbahaya. Tak sesuai pula dengan tujuan Ekonomi Terpimpinnya agar lepas dari kebergantungan.
Baca juga: Sehidup Semati Bersama Nasi
Sukarno menempuh cara lain untuk mengatasi kekurangan beras. “Dalam rangka mengatasi kekurangan beras, pada tahun 1963 Presiden Sukarno memulai gerakan mengganti beras dengan jagung,” catat L.A. Mears dan S. Moeljono dalam “Kebijaksanaan Pangan” termuat di Ekonomi Orde Baru suntingan Anne Booth dan Peter McCawley.
Sukarno juga mulai berpidato tentang pentingnya mengubah menu makanan sehari-hari. Pilihannya tertuju pada jagung dan jenis-jenis umbi. “Jagung di tanah air kita berlimpah-limpah, dan menurut penyelidikan, makan jagung adalah sama sehatnya dengan makan nasi,” kata Sukarno di depan peserta rapat umum Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI), dikutip Djaja 14 Maret 1964.
Sukarno mengulang kembali seruannya untuk makan jagung pada perayaan HUT ke-19 Republik Indonesia, 17 Agustus 1964. “Kepada yang biasa makan nasi 2 atau 3 kali, saya serukan: ubahlah menumu! campurlah makananmu dengan jagung, cantel, ketela rambat, singkong, ubi, dan lain-lain. Hanya ini yang kuminta –mengubah menu yang tidak akan merusak kesehatanmu.”
Mari Makan Jagung
Seiring seruan Sukarno agar rakyat makan jagung, kantor-kantor pemerintah dan militer mulai mengurangi pasokan beras untuk pegawai dan tentara.
Selain upah berbentuk uang, pegawai dan tentara menerima upah berbentuk beras. Ketika nilai uang terus turun akibat inflasi, upah berbentuk beras lebih aman dan stabil bagi pegawai daripada uang. Sekarang upah itu ditambah jagung. Tapi belum seluruhnya berubah. Komposisinya 25 persen jagung dan 75 persen beras.
Baca juga: Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa
Kampanye makan jagung mulai menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Lembaga Makanan Rakjat (LMR) turut membantu seruan Sukarno. Lembaga pimpinan dokter Dradjat Prawiranegara ini memproduksi informasi secara besar-besaran tentang kandungan gizi jagung.
Istri Menteri Kesehatan Prof. Dr. Satrio berkeliling ibu kota untuk mendukung kampanye makan jagung. Dia beserta rombongan bertemu dengan perempuan setempat dan memberitahu cara menanam dan mengolah jagung. Dia bahkan memasak sendiri berbagai sajian jagung untuk perempuan setempat.
“Kita jangan hanya bisa menganjurkan saja kepada umum untuk memakan nasi jagung, tetapi kita sendiri harus lebih dulu memulainya,” kata Ibu Satrio dalam “Ibu Satrio Menghidangkan Makanan Djagung”, termuat di Djaja, 2 Mei 1964.
Reaksi Negatif
Dari kalangan intelektual, Prof. Dr. Poorwo Soedarmo dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mendukung upaya revolusi menu. Dia menulis sejumlah artikel di media massa untuk memperkenalkan bahan pangan utama selain beras, salah satunya jagung. Dia juga berbagi tips cara memilih dan mengolah jagung agar gizinya tak hilang.
“Jagung dimakan bercampur dengan beras dengan lauk-pauk yang biasa untuk nasi, tidak akan membahayakan kesehatan, bahkan mungkin akan memperbaikinya. Dengan cukup bertanggung jawab, jagung dapat dianjurkan sebagai makanan pokok ke-II di samping beras,” ungkap Poorwo Soedarmo dalam “Djagung dalam Makanan Sehari-hari”, termuat di Djaja, 7 Maret 1964.
Baca juga: Atas Nama Ekonomi Berdikari
Untuk mendukung jagung sebagai bahan pangan utama selain beras, Poorwo Soedarmo menekankan pentingnya pengetahuan masyarakat tentang gizi dan bahan pangan. Dia menyatakan rakyat dapat mengambil bahan pangan utama sesuai dengan potensi daerahnya.
Bila tanah di daerah mereka menyediakan cukup banyak umbi-umbian, maka ambillah itu sebagai bahan pangan utama. Tinggal bagaimana menemukan cara pengolahan yang tepat. Dengan demikian, seluruh Indonesia tak perlu harus seragam dalam hal makanan. Kebergantungan pada beras pun bisa berkurang. Tapi ini bukan berarti menempatkan urusan beras menjadi tidak penting.
Baca juga: Mimpi Buyar Ekonomi Terpimpin
Gerakan makan jagung bukan bertujuan mematikan produksi beras. Gerakan itu lebih menyoal kepada bagaimana Indonesia lepas dari kebergantungan impor dan krisis pangan. Ini tak lepas dari konsep Ekonomi Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) yang lantang didengungkan Sukarno sepanjang 1964 setelah melihat Ekonomi Terpimpin kesulitan berjalan. Salah satu sasaran Ekonomi Berdikari ialah mandiri dalam pangan (swasembada pangan).
Gerakan makan jagung tak berhasil mewujud secara penuh. “Program ini mengalami banyak kesulitan dari segi bagaimana menjamin agar aliran jagung ke daerah-daerah konsumsi dapat lancar,” ungkap Mears dan Moeljono. Selain itu, banyak orang tetap enggan makan nasi jagung dan bereaksi negatif terhadap gerakan ini. Revolusi menu pun gagal meletus.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar