Budaya Makan Telur di Indonesia
Telur adalah makanan bergizi yang kini umum di mana-mana karena murah. Dulu, telur terhitung makanan mewah.
KENDATI program Makan Gizi Gratis (MGB) telah dijalankan Januari 2025 ini, kritik terhadapnya tak pernah berhenti. Terakhir, ramai di media sosial menyoroti komposisi menu MBG yang diberikan di sebuah sekolah justru tak ada sayuran. Lauknya pun ayam goreng bertepung yang umum dijual di restoran cepat saji atau kedai pinggir jalan.
Tak hanya soal menu, hal-hal lain terkait program tersebut pun menjadi sasaran kritik. Terlebih soal penyelenggaraannya, yang di tiap daerah masih seperti berjalan sendiri-sendiri. Tiada standarisasi yang dapat diacu karena memang program tersebut perencaannya dikebut sehingga hasilnya belum benar-benar matang.
Sebagai contoh, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memutuskan mengganti susu dengan putih telur untuk program MBG di Palembang. Kendati Kepala SPPG Ilir Barat I Palembang M Dicky Alghaffar mengatakan penggantian susu dengan putih telur itu merupakan arahan dari pemerintah pusat, fakta di lapangan seperti bertentangan. Selain tak ada pernyataan serupa di daerah-daerah lain, Dicky juga menyatakan soal kendala teknis yang dihadapinya.
“Dicky menyebut tidak ada sajian susu pada menu MBG lantaran keterbatasan anggaran. Terlebih Palembang dan Sumsel bukan daerah penghasil susu sehingga harganya tinggi ketimbang di pulau Jawa,” demikian merdeka.com, 9 Januari 2025, memberitakan.
Kendati apa yang terjadi di Palembang sebagaimana dituturkan Dicky menunjukkan masih belum matangnya perencaan program MBG sehingga menimbulkan problema dalam tahap pelaksanaan, keputusan penggantian susu dengan putih telur tidak salah. Keduanya sama-sama sumber protein hewani. Sejak lama pakar gizi Institut Pertanian Bogor Profesor Soekirman telah menyarankan agar pemberian asupan susu, yang harganya tinggi, tidak menjadi kemutlakan karena protein yang sama bisa juga didapatkan dari telur.
Telur sendiri pernah menjadi barang “mewah”. Tak setiap orang bisa mengonsumsinya setiap hari seperti sekarang. Apalagi dalam jumlah banyak.
“Pernah kami makan lauk satu telur dibagi delapan. Setiap anak mendapat seiris telur yang diletakkan ibu di meja makan,” kenang menteri pendidikan dan kebudayaan periode 1993-1998, Wardiman Djojonegoro, dalam autobiografinya Sepanjang Jalan Kenangan.
Wardiman dan saudara-saudaranya hanya bisa makan telur dengan cara berbagi saat tinggal di Pemekasan, Pulau Madura semasa pendudukan Jepang itu. Padahal, mereka anak seorang guru. Dari “zaman normal” alias masa kolonial hingga pendudukan Jepang, guru amat dihormati dan dihargai kerjanya dengan gaji cukup. Namun, kedua orangtua Wardiman tak sanggup memberi makan telur anak-anak mereka sebutir per orang per hari. Hal itu mengindikasikan bahwa rakyat banyak mengalami kesulitan hidup.
Tak hanya anak guru, anak hakim pengadilan negeri, Harjono Kartohadiprodjo, pun mengalami makan satu telur dibagi dengan beberapa orang di zaman itu.
“Bila kebetulan bisa makan telur ayam atau telur bebek, biasanya kami makan telur yang didadar tipis dibagi tiga atau empat potong,” aku Harjono Kartohadiprodjo dalam Melangkah Tiga Zaman.
Gizi anak-anak di zaman Jepang, termasuk anak orang Berada, sudah memburuk. Akibatnya, aku Harjono, jika kakinya terluka sedikit saja, maka lukanya akan sangat lama sembuh.
Setelah tentara Jepang kalah pada 1945 lalu perang antara Indonesia-Belanda selesai pada 1950, fenomena makan satu butir telur dibagi beberapa kepala masih berlanjut. Hanya saja, telur saat itu tak lagi selangka zaman Jepang. Anak-anak yang masa kecilnya di era 1960-an dan 1970-an pun mengalaminya.
“Kalau orangtua nyeplok satu telor bebek misalnya, itu pasti akan dibagi empat atau lima,” kisah Ali Khumzon kepada Historia.
Profesor gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) kelahiran 1960 itu mengenang telur sama mewahnya dengan susu. Itulah yang terjadi di zaman dirinya masih kecil.
Di masa Ali Khumson masih kecil, saat harga telur masih mahal sehingga sangat sedikit dimakan orang Indonesia, ada dua orang yang hidupnya sedang terpuruk setelah mengalami masa yang terbilang jaya. Pertama, bekas karyawan Unilever dan Djakarta Lloyd yang pernah bekerja di Eropa namun setelah pulang dia mengalami stres dan sering sakit perut. Dia adalah Bob Sadino. Kedua, bekas pejabat tertinggi di Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang karier dan hidupnya seketika sulit setelah pergolakan politik nasional 1965, yakni Laksdya Udara Sri Mulyono Herlambang (KSAU periode November 1965-Maret 1966).
Pada 1967, kedua pria yang usianya beda sedikit itu –Bob lahir tahun 1933 sementara Herlambang 1930– bertemu dan saling berbagi. Herlambang memberikan 50 ekor ayam ras kepada Bob yang didera stres setelah pulang dari Eropa. Herlambang memberikannya cuma-cuma kepada kawan yang dikenalnya di Negeri Belanda itu.
“Saya tidak mempunyai hobi memelihara ayam. Tetapi karena terpaksa saya mencobanya,” aku Herlambang dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.
Bibit ayam yang diperlihara itu diambil dari Amerika dan Jepang. Saat itu, ayam jenis itu masih langka di Indonesia. Menurut Ali Khumzon, ayam kampung yang disabut ayam “buras” (bukan ras) merupakan yang paling banyak dipelihara orang kala itu.
Ayam buras bertelur paling banyak 60 butir dalam setahun. Sementara, dalam setahun ayam ras bisa bertelur hingga 300 butir. Ayam ras adalah ayam hasil persilangan dari negara Barat dan hasilnya adalah ayam-ayam yang cepat besar.
Di rumahnya, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan yang masih sangat sepi, Bob dengan tekun memlihara ayam-ayam baru pemberian Herlambang itu. Berternak ayam kala itu belum menjadi kegiatan banyak orang. Umumnya, ayam yang dimiliki keluarga-keluarga di Indonesia dibiarkan begitu saja sehingga mereka mencari makan sendiri.
Dengan pola yang belum umum itu, ayam-ayam yang diternakkan Bob pun bertelur dan bertambah banyak. Bob dan keluarga kecilnya jelas tak akan bisa memakan semuanya. Maka Bob pun menjualnya.
“Ada 15 rumah langganan kami waktu itu, umumnya keluarga asing,” aku Bob dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.
Dari 15 rumah, pelangganannya bertambah hingga dia Bob membuka toko. Bisnis Bob makin membesar setelah 1970-an. Begitulah kisah Bob dan Kem-Chick-nya di Kemang.
Dengan ayam-ayamnya, Mulyono Herlambang juga tak kalah sukses. Mantan direktur PT Daria Poultry itu tak menjadi saingan Bob. Herlambang mendirikan Persatuan Peternak Unggas Indonesia pada 1970 dan menjadi ketuanya. Dia kemudian juga mendirikan Koperasi Peternak Unggas, lalu aktif menulis di majalah Ayam dan Telur. Begitulah jasa bekas KSAU yang dijegal itu dalam mempopulerkan ayam ras di Indonesia.
“Dia adalah orang yang namanya sampai mati pun akan saya bawa. Saya merasa bahwa dia memberikan titik balik bagi kehidupan saya,” kata Bob Sadino, pengusaha yang suka memakai celana pendek dan apa adanya, tentang Herlambang, seperti dicatat Jurnal Prisma 1987.
Apa yang dimulai Bob dan Herlambang akhirnya menularkan banyak orang berbisnis ayam ras. Dari tahun ke tahun jumlah peternaknya bertambah. Kehadiran ayam ras tak membuat ayam kampung alias ayam buras dan juga itik ditinggalkan. Pun telurnya meski telur dan daging ayam ras makin banyak dikonsumsi orang Indonesia.
“Sampai dengan tahun 1970, produksi telur ayam kampung masih melebihi produksi telur ayam ras. Peningkatan produksi telur ayam ras sangat drastis sejak mulai tahun 1971,” catat Asi H. Napitupulu dalam Studi Tentang Pemasaran Ternak dan Hasil-hasilnya di Indonesia.
Menurut Ali Khumson, perkara peningkatan produksi ayam dan telur itu “terbantu dengan adanya teknologi.” Teknologi peternakan meningkat pesat pada 1970-an. Kerjasama Indonesia dengan Barat di bidang ekonomi membuat teknologi itu bisa ikut menyebar ke Indonesia.
Jumlah peternak yang bertambah diikuti kenaikan produksi telur dan daging ayam ras dalam hitungan tiga puluh tahun membuat telur tak lagi menjadi bahan makanan mewah. Tiap keluarga bisa rutin membeli telur. Alhasil, satu orang bisa makan satu telur, bahkan lebih, saat ini. Maka kalimat “makan satu telur dibagi beberapa orang” makin jarang kita dengar sekarang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar