Masuk Daftar
My Getplus

Program Makanan Bergizi Era Orde Baru

Di penghujung masa kekuasaannya, Presiden Soeharto mencanangkan program perbaikan gizi bagi masyarakat. Tak sempat tuntas karena keburu lengser. Kini dilanjut oleh mantan menantunya.

Oleh: Martin Sitompul | 12 Jan 2025
Seorang ibu-ibu sedang membagikan bubur kacang hijau sebagai makanan bergizi dalam Program PMT-AS. (Kemendikbud)

“Selamat makan anak generasi emas.” Jargon itu berkumandang sejak program Makan Bergizi Gratis (MBG) resmi diluncurkan untuk anak sekolah pada awal tahun ini. Program MBG dicetuskan Presiden Prabowo Subianto sebagai program unggulan pemerintahannya. Ia sekaligus menunaikan janji kampanye Prabowo dalam gelaran Pilpres 2024 silam. Dalam komitmennya, Prabowo berseru untuk menuntaskan masalah kekurangan gizi yang banyak dialami anak-anak di Indonesia. 

“Tidak boleh ada stunting lagi di Republik Indonesia! Tidak boleh ada anak yang lapar di Indonesia! Tidak boleh ada anak Indonesia yang tidak minum susu lagi!” kata Prabowo dalam sambutannya pada Rakernas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), 7 November 2023. 

Menurut Prabowo, mutu dan kualitas manusia Indonesia yang rendah berkelindan dengan asupan gizi dan nutrisi yang dikonsumsi sejak dini. Oleh karena itu, program MBG jadi salah satu solusi untuk membentuk generasi emas manusia Indonesia pada 2045. Kendati menuai banyak kritik, Prabowo percaya diri bahwa program MBG bisa dijalankan demi memperbaiki gizi anak-anak bangsa. 

Advertising
Advertising

Konsep MBG yang dicanangkan Prabowo sepertinya terinspirasi dari mantan ayah mertuanya, Presiden RI ke-2 Soeharto. Di pengujung pemerintahannya, Presiden Soeharto merancang program khusus untuk meningkatkan gizi dan kesehatan anak sekolah tingkat kelompok sekolah. Kebijakan itu dinyatakan lewat Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1997 tentang Program Makanan Tambahan Anak Sekolah. Inpres ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Inpres PMT-AS. 

 

Mengatasi Kurang Gizi   

Beberapa tahun sebelum PMT-AS bergulir, pemerintahan Orde Baru telah melakukan uji coba. Pada 1991-1992, pemerintah menyelenggarakan suatu proyek percontohan program makanan tambahan bagi anak-anak sekolah dasar. Makanan tambahan itu berupa makanan jajanan (kudapan) dengan bahan baku setempat yang disertai pemberian obat cacing dua kali setahun. Uji coba dilakukan di 11 provinsi yang termasuk daerah miskin: Aceh, Sumatra Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Timor Timur, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.

Hasilnya ternyata cukup menggembirakan. Jumlah siswa yang absen di sekolah menurun sementara pada minat belajar terjadi peningkatan. Cakupan program kemudian diperluas menjadi 20 provinsi pada 1994-1995, meliputi 879 SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sebanyak 41.769 murid diperkirakan menerima manfaat dari program ini. 

Anak-anak menjadi sasaran pemerintah dalam program perbaikan gizi. Pada paruh pertama 1990, tidak kurang dari 40 persen anak balita di Indonesia menderita kurang gizi, terutama di pedesaan dan dari keluarga miskin. Survei terhadap 600.000 anak SD/MI yang dilakukan di 27 provinsi pada 1994 lalu menunjukkan bahwa anak sekolah yang mengalami gangguan pertumbuhan berkisar antara 13,6 persen (DKI Jakarta) sampai 43,7 persen (Kalimantan Tengah). Rata-rata anak sekolah di desa-desa tertinggal hanya mengonsumsi 70 persen dari kebutuhan energi minimal tiap harinya. Keadaan ini diperberat lagi oleh banyaknya anak sekolah yang menderita kurang darah (anemia), yaitu sekitar 30-40 persen dan tingginya penyakit cacingan mencapai lebih dari 50 persen. 

Harian Berita Yudha, 27 Januari 1996 mewartakan sekitar 80 persen murid dari 20.000 SD/MI yang tersebar di seluruh Indonesia menderita cacingan. Murid SD/MI yang cacingan diperkirakan sekitar 3,5 juta orang. Sementara biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk pemberian obat cacing saja sebesar Rp1,03 miliar. Penyakit cacingan pada anak-anak menyebabkan penyerapan gizi terhambat. Nafsu makan dan berat badan pun jadi menurun. 

Sepanjang 1995-1996, seperti disebutkan dalam Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia, pemerintah menganggarkan biaya sebesar Rp650-Rp750 berupa paket per anak. Paket tersebut meliputi makanan jajanan, obat cacing, dan tablet anemia darah. Selain itu, paket juga termasuk kegiatan seperti penyuluhan, pelatihan, dan supervisi. Makanan tambahan berupa makanan jajanan yang mengandung 200-300 kilo kalori diberikan selama sembilan bulan, yang merupakan hari belajar efektif. 

Menurut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita, masalah kekurangan gizi pada anak-anak merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). Itulah sebabnya, sesuai instruksi Presiden Soeharto, pemerintah pada tahun anggaran 1996-1997 melaksanakan program PMT-AS tiga kali dalam sepekan. Karena menyangkut usaha peningkatan produktivitas SDM yang tangguh dan berdaya saing, program ini ditangani lintas sektoral. 

Pihak-pihak yang terkait dalam penyelenggaraan PMT-AS meliputi delapan kementerian, para gubernur, bupati, dan walikota. Bersama lima menteri lain yang dilibatkan, yakni Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, Menteri Negara Urusan Pangan Ibrahim Hasan, Menteri Agama Tarmizi Taher, Menteri Pertanian dan Sjarifudin Baharsjah, Ginandjar Kartasasmita pada 12 Maret 1996 menghadap Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Jakarta. Mereka melaporkan persiapan rencana pelaksanaan program PMT-AS.   

“Mulai tahun ini (1996/1997) dalam rangka Inpres Kesehatan, akan dilaksanakan program PMT-AS dalam skala nasional di semua SD/MI secara bertahap,” demikian Menteri Ginandjar dikutip  Majalah Dharmasena, Maret 1996.

Pada tahap permulaan, lanjut Ginandjar, program PMT-AS dilaksanakan di semua desa Inpres Daerah Tertinggal (IDT) di luar Jawa dan Bali. Ia mencakup 16.800 SD/MI dengan jumlah siswa sebanyak 2,1 juta orang. 

Poster dan contoh menu 4 Sehat 5 Sempurna. Program PMT-AS dibuat untuk memperkuat Kampanye 4 Sehat 5 Sempurna.

 

Dari Kacang Hijau sampai Bubur Babi 

Servulus Erlan de Robert duduk di bangku kelas 1 SD saat bersekolah di SDN I Aieteas, Timor Timur (kini Timor Leste) pada 1997. Waktu program PMT-AS berjalan di Timor Timur, Servulus termasuk yang merasakan manfaatnya. Timor Timur termasuk daerah proyek percontohan PMT-AS. 

Pukul 12.00 siang setelah kegiatan belajar di sekolah usai, tutur Servulus, murid-murid mendapat makanan tambahan dari sekolah. Menunya bervariasi. Seingat Servulus, kegiatan makanan tambahan itu berlangsung dua kali dalam sepekan.  

“Kita kalau sudah dapat bubur kacang hijau sama bubur babi saja sudah bahagia,” kenang Servulus (33), yang kini menjadi guru di SMA Katolik Negeri Ende, kepada Historia.id. 

Pada tahun berikutnya, ketika pindah sekolah ke SD Katolik Ruteng, Nusa Tenggara Timur (NTT), Servulus masih merasakan program PMT-AS sampai tahun 1999. Menurutnya, PMT-AS cukup berguna bagi masyarakat di daerah tertinggal seperti Timor Timur dan NTT. Di tengah kondisi saat itu, banyak masyarakat yang hidup dalam taraf ekonomi pas-pasan, bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan. 

“PMT-AS itu berguna untuk gizi anak-anak. Apalagi dia punya makanan pelengkap itu bagus, seperti bubur kacang hijau, bubur daging babi, ada juga onde-onde. Kalau minumannya paling teh. Harusnya memang kebijakan ini diteruskan,” imbuh Servulus. 

Pengalaman Servulus dan kawan-kawannya di Timor Timur maupun NTT hanyalah segelintir orang yang merasakan dampak  PMT-AS. Dilansir Harian Analisa, 21 Juli 1997, pemerintah menargetkan sekira 4.2 juta anak Indonesia sebagai penerima makanan tambahan dari program PMT-AS. Total dana yang digelontorkan mencapai Rp 62,8 miliar. Untuk anak-anak di kawasan Indonesia bagian barat, diberikan paket makanan tambahan senilai Rp250 per sekali makan. Sementara itu, di kawasan Indonesia Timur lebih tinggi sedikit, yaitu Rp350 per sekali makan.    

Pemberian makanan tambahan dilakukan secara berkala. Minimal sekali dalam sepekan. Makanan pelengkap yang diberikan harus mengandung 200 hingga 300 kalori dan 5 gram protein. Pemberian makanan tambahan, menurut Direktur Pembinaan Ketahanan Masyarakat Desa Ditjen PMD Mendagri SK Mangiri, juga diharapkan meningkatkan perekonomian pedesaan. 

“Karena menggunakan bahan makanan lokal yang mudah dipenuhi daerah tersebut, sehingga perputaran uang tetap di desanya,” katanya dikutip Analisa

Seperti bubur daging babi yang didapat Servulus, penggunaan bahan baku lokal untuk makanan tambahan memang banyak terjadi di kawasan Indonesia Timur. Di Pulau Rote, NTT, seperti diberitakan Analisa, 18 Oktober 1997, selain makan kacang hijau, anak-anak SD juga meminum air gula khas setempat untuk menambah kalori. Gula air tersebut tersimpan dalam wadah haik, yang dibuat dari kayu lontar. Penggunaan bahan baku lokal ini sekaligus untuk menudukung gerakan “Aku Cinta Makanan Indonesia” (ACMI). 

Guna memperlancar program PMT-AS, Bank BRI ditunjuk sebagai koordinator penyalur dana di daerah-daerah. Namun di tujuh provinsi, PT Pos Indonesia yang ditunjuk sebagai koordinator karena kondisi geografisnya masih sulit dijangkau perbankan. Ketujuh provinsi itu adalah Riau, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, dan Timor Timur. 

Pelaksana program PMT-AS adalah kepala sekolah dan guru-guru bekerjasama dengan orang tua murid serta kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) desa/kelurahan. Sementara itu, pengawasan teknis gizi dan kesehatan dilakukan oleh bidan desa/keluarahan. Pengawasan pelaksanaan juga dilakukan secara terbuka oleh masyarakat dan pers. Melalui Menteri Ginandjar, Presiden Soeharto hanya berpesan singkat, “Jangan sampai uang yang seharusnya dimakan oleh anak-anak itu diselewengkan.” 

 

Anak-Anak Keracunan Makanan 

Kendati isu penyelewengan dana PMT-AS tidak terungkap di media, program ini juga sempat bikin geger pemberitaan. Bukan soal rasa makanan enak atau tidak, tapi sudah ke arah mencelakai anak-anak yang memakannya. Ya, keracunan makanan pada anak-anak pernah terjadi setelah mereka menyantap makanan program PMT-AS. “Puluhan Murid SD Keracunan Makanan Tambahan,” demikian diberitakan Analisa, 6 Agustus 1997. 

Pada 3 Agustus 1997, di Banyumas, Jawa Tengah, puluhan murid SD Negeri 2 Pamijen, Kecamatan Sokaraja terpaksa dilarikan ke puskesmas setempat. Bermula ketika para murid mengalami pusing dan muntah usai menerima makanan tambahan berupa bubur kacang hijau dalam rangka  PMT-AS. Menurut keterangan Antara, 4 Agustus 1997, jumlah siswa yang diduga menderita keracunan makanan tambahan itu mencapai 82 orang. 

“Enam belas di antaranya dirawat. Mereka ini cukup parah,” ujar seorang petugas puskesmas yang enggan disebut namanya, dikutip Antara.

Dalam Analisa disebutkan, mereka yang mendapat makan tambahan sebanyak 167 murid SD Negeri 2 Pamijen mulai kelas 1-6. Sementara itu, pengadaan makanan tambahan bagi siswa-siswi SD di Desa Pamijen yang termasuk IDT itu, ditunjuk kelompok PKK yang diketuai istri Sekdes Pamijen Siti Rochani. Setelah diselidiki pihak Polres Banyumas, para ibu-ibu PKK yang terlibat dalam proses pembuatan makanan tambahan itu diperiksa secara intensif di mapolres. Salah seorang pedagang kacang hijau yang ikut membantunya juga diperiksa. Setelah insiden keracunan itu, program PMT-AS mulai jadi sorotan.

“PMT-AS ini merupakan proyek kemanusiaan yang berisiko tinggi. Oleh sebab itu semua pihak harus ikut bertanggung jawab dalam mengawasi pelaksanaannya,” kata Kepala Sekretariat Forum Koordinasi PMT-AS Pusat Djauzak Ahmad dalam Berita Yudha, 17 Januari 1998.

Menurut Djauzak, PMT-AS dapat dikatakan berhasil jika makanan yang dikonsumsi anak-anak SD di kawasan tertinggal itu benar-benar menjadi darah daging dan dapat meningkatkan prestasi belajar mereka. “Jangan sampai makanan itu hanya berhenti di mulut atau perut lalu dimuntahkan karena rasanya tidak enak dan tidak disukai anak-anak,” tandasnya.  

Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di depan DPR pada 16 Agustus 1997 menyatakan, program PMT-AS berperan dalam memperkuat upaya pengentasan kemiskinan. Karenanya, program yang sudah berjalan ini, menurut Soeharto, mesti berlanjut dan ditingkatkan pelaksanannya. Memasuki tahun anggaran 1997-1998, program PMT-AS kembali masuk dalam agenda pemerintah. Kendati demikian, indikator berhasil atau tidaknya program ini tak pernah betul-betul diketahui. Sebelum tuntas periode pelaksanan PMT-AS, Presiden Soeharto keburu lengser pada Mei 1998. Kebijakan pun berganti setelah rezim Orde Baru tumbang, termasuk dalam penanganan pemenuhan gizi dan nutrisi masyarakat. 

Kendati sebentar, program PMT AS kembali digulirkan pemerintah pada 2010-2011. Sasaran awalnya anak SD kelas 1-6 dan di tahun 2011 ditambah dengan anak TK. Pelaksananya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama. Namun, program tersebut berjalan hanya dua tahun, praktis hasilnya belum tampak.

“Pada tahun 2011, program tersebut dilaksanakan di 27 kabupaten dalam 27 provinsi, yang meliputi 1,2 juta anak TK/SD dan 180.000 murid RA/MI. Anggaran keseluruhan PMT-AS pada tahun 2011 adalah sekitar Rp 300 miliar (US$34 juta). Program ini dimaksudkan untuk memberikan 15 persen Asupan Gizi Harian yang dianjurkan (RD) dari kalori (300 kalori) dan 10 persen RDA dari protein (5 gram) melalui makanan tambahan yang disiapkan oleh petugas sekolah dan anggota masyarakat setempat,” tulis Badan Litbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Evaluasi Program Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMT-AS).

 

Meneruskan Jejak 

Ketika program PMT-AS resmi bergulir pada 1997, Prabowo Subianto masih menantu dari Presiden Soeharto. Prabowo juga berada di masa gemilang karier militernya sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Kini, hampir tiga dekade berselang, Prabowo telah menjadi presiden RI ke-8. Sama seperti pendahulu sekaligus mantan ayah mertuanya, Prabowo juga ingin memberikan anak-anak Indonesia asupan bergizi. 

Yang jadi pembeda di antara keduanya, program MBG yang diusung Prabowo mencakup menu makanan lengkap, yaitu nasi berikut lauk-pauk. Sementara itu, program PMT-AS di masa Orde Baru hanya berupa makanan tambahan seperti kudapan atau jajanan yang disesuaikan bahan bakunya dengan kearifan lokal tiap-tiap daerah. Selain itu, paket per porsi dalam MBG senilai Rp10.000. Inilah yang diragukan dan menuai kritik berbagai kalangan. Apakah dengan bujet segitu sanggup memenuhi kebutuhan gizi harian anak-anak dan anggarannya tersalurkan dengan patut.  

Di sisi lain, program MBG yang diandalkan pemerintah saat ini bertujuan untuk menuntaskan permasalahan pemenuhan gizi dan nutrisi anak-anak Indonesia yang masih belum merata. Namun, berkaca dari pengalaman sebelumnya, proyek ini diharapkan juga tidak menambah masalah baru. Jangan lagi terjadi keracunan makanan seperti di masa silam, atau bahkan penyelewengan dana hingga korupsi berjamaah. Kita pantau saja. 

TAG

gizi orde baru

ARTIKEL TERKAIT

Jalan Panjang Memperbaiki Gizi Rakyat Indonesia Budaya Makan Telur di Indonesia Operasi Pemberantasan Buta Gizi Masa Sukarno 4 Sehat 5 Sempurna* Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Penting Memahami Stunting Penyanyi Batak Jack Marpaung, dari Penjara Menjadi Pendeta Dua Sisi Ahn Jung-geun dalam Film Harbin Korps Wanita yang Menghadapi Dua Front Barongko, Santapan Raja dan Kesukaan Presiden