Sabtu, 30 Oktober 2011, saya diundang Soemarsono, tokoh pemuda dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, untuk hadir dalam perayaan hari lahirnya yang ke-90 tahun. Pada usia yang sudah senja itu Soemarsono masih terlihat bugar, selalu tersenyum menerima tamu. Tamunya datang dari beragam kalangan, sebagian besar kawan-kawan semasa perjuangannya. Dalam kesempatan itu saya berjumpa dengan Utomo Darmadi, adik kandung Supriyadi, pemimpin pemberontakan di Blitar yang kemudian hilang tak tentu rimbanya.
Utomo menolak mentah-mentah pengakuan Andaryoko Wisnuprabu dari Semarang yang mengaku sebagai kakaknya. “Kakak saya langsung dieksekusi Jepang setelah memimpin pemberontakan itu. Saya tahu siapa yang berkhianat. Dia jadi petinggi di zaman Orde Baru,” kata Utomo. Sejarah memang tak identik dengan pahlawan saja, selalu ada kisah tentang pengkhianatan.
Baca juga: Supriyadi, Menteri Pertahanan yang Hilang
Di sudut lain pada ruangan dan acara yang sama, seorang lelaki tua duduk, menopangkan dagunya pada sebatang tongkat. Dia adalah Abdul Syukur, pendiri Tentara Pelajar dan sempat menjadi komandan dari kesatuan yang terdiri dari para pelajar itu. Abdul Syukur, seperti juga Soemarsono, turut bertempur di Surabaya. Peluru Sekutu sempat bersarang pada kaki kanannya.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya membuat Sekutu kalang kabut. Satu jenderal mereka, A.W.S. Mallaby tewas. Hampir dua ribu tentara Sekutu, baik yang berkebangsaan Inggris maupun dari divisi India, terbunuh. Pasukan Inggris mengakui Pertempuran Surabaya sebagai pertempuran terdahsyat yang pernah mereka alami seusai Perang Dunia II. Sebaliknya di pihak Indonesia kurang lebih enam ribu pemuda gugur.
“Perjuangan kami teken mati. Kalau sudah keluar rumah sudah pasti cuma punya dua kemungkinan, pulang hidup atau mati,” kata Soemarsono.
Baca juga: Saat Bung Tomo Dilarang Bicara
Sejarah peristiwa Pertempuran Surabaya selalu menyebut nama Bung Tomo. Bahkan hampir dipastikan Bung Tomo identik dengan peristiwa tersebut. Padahal foto pidato yang disebut-sebut membakar semangat pemuda Surabaya untuk berperang itu pun bukan diambil saat peristiwa terjadi. Foto itu diambil ketika Bung Tomo berpidato di Mojokerto, Juli 1945.
“Foto itu kemudian digunakan untuk propaganda melawan Sekutu. Padahal bukan dibuat di Surabaya, tapi sukses juga propagandanya,” kata Oscar Motuloh, kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara.
Ada sederet nama yang juga harus disebut dalam sejarah Pertempuran Surabaya. Tentu Soemarsono salah satunya, kendati wartawan senior Rosihan Anwar sempat membuat polemik di media massa bahwa dia tak melihat pemuda Soemarsono bertempur di front.
Baca juga: Soemarsono dalam Pertempuran Surabaya
Nama lain yang patut dicatat adalah Hario Kecik. Hario terkenal tangkas menembak dan lepar pisau. Semasa pemerintahan Sukarno, Hario sempat jadi Pangdam Mulawarman di Balikpapan, Kalimantan Timur. Pasca pergolakan politik 1965, atas perintah Sukarno, dia bertugas ke Moskow, Uni Soviet. Pulang kembali ke Jakarta pada 1977 dan langsung menjadi tahanan Orde Baru.
Dalam suatu wawancara dengan Heru Atmodjo, dia pernah menyebut nama Sudarto atau lebih dikenal dengan julukan Darto Perang. Darto Perang kata Heru sempat pula jadi pengawal Sukarno. Darto adalah legenda Pertempuran Surabaya. “Ketika Pertempuran Surabaya, Mas Darto belum mau menembak musuh kalau jaraknya masih lebih dari 10 meter. Kalau sudah dekat baru nembak. Satu peluru untuk satu musuh,” kata Heru Atmodjo ketika saya wawancarai 2006 lampau.
Pembawaan Sudarto berangasan, di luar maupun di dalam suasana perang. Kenapa dijuluki Darto Perang? Menurut Soemarsono, julukan itu datang karena Darto selalu hadir di dalam baku tembak dengan pihak Sekutu. “Dia memang pemberani, bandel orangnya dan selalu ada setiap pertempuran. Makanya disebut Darto Perang,” kata Soemarsono.
Mungkin kita perlu juga memberi penghargaan kepada beberapa orang Jepang yang berada di pihak Republik. Bukan saja kepada Maeda yang menyokong penyusunan draft Proklamasi kemerdekaan, tapi juga kepada Laksamana Shibata Yaichiro yang telah bermurah hati membukakan gudang senjata milik Jepang dan menyerahkannya kepada arek-arek Surabaya. Pasukan Jepang memang tak punya taring lagi. Kaisar telah menyatakan takluk kepada Sekutu. Tak ada lagi yang bisa dilakukan pasukan Jepang di Indonesia kecuali menjaga status quo dan mengembalikan kendali atas Indonesia ke tangan sekutu sebagai pemenang perang.
Baca juga: Cerita Para Desersi Tentara Jepang
Menurut catatan sejarawan M.C. Ricklefs, Shibata menyerahkan diri pada 3 Oktober 1945 kepada seorang kapten Angkatan Laut Belanda yang datang sebagai wakil Sekutu yang pertama. Saat menyerahkan diri dia mengakui perintah menyerahkan senjata milik Jepang kepada para pemuda Indonesia datang darinya dan mengatakan bahwa rakyat Indonesia akan bertanggung jawab atas senjata-senjata itu kepada Sekutu. Sebuah hal yang mustahil dilakukan oleh para pemuda. Terbukti ketika Sekutu menyebarkan pamflet ultimatum penyerahan senjata, para pemuda malah membalasnya dengan serangan ke pos-pos militer Sekutu di Surabaya.
Orang asing lain yang juga berperan di dalam peristiwa Pertempuran Surabaya adalah Muriel Pearson (terlahir dengan nama Muriel Stuart Walker) alias Ktut Tantri alias Surabaya Sue. Perempuan Amerika ini berpetualang ke Bali dan terlibat dalam perjuangan semasa revolusi. Dalam peristiwa Pertempuran Surabaya, ia berperan sebagai penyiar berbahasa Inggris untuk radio bawah tanah yang menyiarkan kepada dunia tentang keadaan di Indonesia. Atas jasanya banyak negara lain mengetahui bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia merupakan keinginan seluruh rakyat, bukan bikinan “kaum ekstrimis” sebagaimana yang dikampanyekan oleh Belanda. Muriel sempat menulis kisahnya dalam memoar Revolusi di Nusa Damai.
Baca juga: Riwayat Radio Pemberontakan Bung Tomo
Pertempuran Surabaya juga menarik perhatian Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Mereka berdua punya cara pandang dan kesan berbeda terhadap pertempuran heroik itu. Sjahrir mencela penggunaan cara-cara kekerasan di dalam perjuangan. Dia rupanya mencemaskan fasisme Jepang yang terbawa-bawa oleh para pemuda dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sementara itu, Tan Malaka punya cara pandang yang lain. Tan Malaka melihat heroisme pemuda di Surabaya sebagai modal besar perjuangan merebut kemerdekaan 100%.
Dalam brosur Moeslihat yang ditulis selang beberapa pekan setelah Sjahrir menulis Perdjoangan Kita, Tan Malaka menganjurkan pentingnya membentuk “volksfront” (front rakyat). Front tersebut berjuang dalam tiga sektor, militer, politik dan ekonomi. Front ini bukanlah sebuah pemerintahan, melainkan sebuah organisasi yang dikerahkan untuk memenangkan pertempuran. Berbeda dengan Sjahrir, Tan Malaka tak sepakat dengan kemerdekaan Indonesia dicapai dengan jalan diplomasi.
Baca juga: Tuntutan Tan Malaka untuk Merdeka 100%
Menurut Soemarsono, Pertempuran Surabaya itu cerminan kekuatan rakyat Indonesia yang sesungguhnya. Para pemuda yang kelak akan tergabung di dalam beberapa organisasi kelaskaran itulah yang semestinya menjadi tentara rakyat. “Mereka bersih dari beban masa lalu. Mereka bukan KNIL, KL atau Peta. Mereka terdiri dari tukang becak, buruh, petani, pedagang yang mau berjuang untuk kemerdekaan,” kata Soemarsono.
Lantas bagaimana nasib para bintang perang di Surabaya itu? Semasa hidupnya Bung Tomo, khususnya di masa Orde Baru, sempat dipenjara karena menentang pemerintahan Soeharto. Bung Tomo wafat di Padang Arafah saat dia beribadah haji. Pada 10 November 2008 Bung Tomo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Hario Kecik dikenal sebagai penulis yang produktif, tak hanya menulis memoar, dia juga pernah menulis novel dan melukis. Soemarsono semasa Orde Baru sempat dipenjara di Salemba dan karena represi Orde Baru dia memilih menjadi warga negara Australia. Muriel Pearson wafat dalam kesepian di Sydney, Australia pada 27 Juli 1997. Sementara itu, Darto Perang, ketika saya cek ke laman google, namanya disebut sebagai salah satu pendiri ormas Kosgoro.
Kisah kepahlawanan dalam pertempuran di Surabaya memang tak sepenuhnya berakhir manis. Tidak seperti dalam film laga, di mana setiap episode cerita selalu berakhir dengan kemenangan jagoan. Sejarah selalu menampilkan ironi. Hari Pahlawan selalu diramaikan oleh berita pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mereka yang dianggap berjasa bagi Republik ini, yang acapkali bersandar pada soal suka atau tidak suka dari para pemberi gelar itu. Tapi mereka yang turut bertempur dan menyabung nyawa saat pertempuran terjadi, dilupakan dan sepi dari publikasi.
Baca juga: Pro-Kontra Gelar Pahlawan Nasional