JIKA dilihat rentang waktunya (8 Desember 1947-17 Januari 1948), Perundingan Renville bisa jadi merupakan perundingan terlama yang pernah dilakukan Indonesia dengan negara lain. Ajang perang diplomasi antara Indonesia dengan Belanda tersebut dilakukan di atas kapal USS Renville berbendera Amerika Serikat yang tiba di pelabuhan Tanjung Priok pada 2 Desember 1947.
Delegasi Indonesia beranggotakan Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamidjoyo, Tjoa Sik Ien, Mohamad Roem, Agus Salim, Nasrun dan Juanda. Sementara di kubu seberang, tim Belanda diperkuat oleh Abdulkadir Widjojoatmodjo, Jhr van Vredenburg, Soumokil, Pangeran Kartanegara dan Zulkarnain. Perundingan berjalan alot.
Panas di dalam, begitu juga diluar. Rupanya, langkah pemerintah untuk turut dalam perundingan Renville banyak dicecar banyak pihak. Salahsatu yang vokal mengecam adalah Sutomo (lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo), mantan Ketua Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang kemudian diangkat menjadi salahsatu pucuk pimpinan tentara.
“Tomo dari Barisan Pemberontak Republik Indonesia. Dalam pidatonya dia menguraikan keadaan politik waktu itu, dan menunjukkan bahwa kemerdekaan negara Indonesia terancam akan menjadi tanah jajahan kembali. Perundingan Renville, menurut pembicara membawa malapetaka. Waktu itu Bung Tomo pangkatnya jenderal mayor penuh,” tulis Subagiyo I.N dalam K.H. Masjkur: Sebuah Biografi.
Pidato bung Tomo membuat delegasi Indonesia di perundingan kehilangan fokus. Akibatnya, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin -yang juga ketua delegasi- memerlukan diri untuk menyampaikan kawat khusus ke wakil perdana menteri untuk diteruskan kepada Sukarno sebagai kepala negara.
“Oleh pihak yang bersangkutan disampaikan bahwa pidato Tomo pada tangal 15 Desember 1947 sangat menyukarkan perundingan. Dikemukakan bahwa ada kemungkinan pidato itu akan dipakai Belanda di muka sidang Dewan Keamanan. Dengan demikian pekerjaan juga akan terancam sedangkan kita mencoba dengan segala usaha mempertahankan Republik. Pidato itu mesti dihilangkan pengaruhnya di kalangan internasional,” tulis Amir Sjarifudin dalam surat kawatnya yang dikirim dari geladak kapal Renville, pagi hari 17 Desember 1947. “Minta kepada PJM Presiden supaya diperintahkan Tomo jangan berpidato lagi dan merugikan perjuangan sekarang yang sudah begitu sukar,” sambung Amir dalam surat kawatnya yang tersua di arsip Sekretariat Negara 1946-1949.
Surat kawat atau telegram dari Amir pun segera ditindaklanjuti oleh sekretariat perdana menteri dan meneruskannya ke Sekretariat Negara untuk kemudian ditembuskan kepada presiden Sukarno.
“Karena ternyata betapa besarnya dan menyukarkan perundingan Indonesia-Belanda maka dengan ini sudilah kiranya Paduka Tuan menyampaikan kepada Paduka Jang Mulia Presiden supaya selekas mungkin diadakan larangan dari P.J.M Presiden bagi anggota ketentaraan untuk mengadakan pidato,” tulis Maria Ulfah Santoso, dari sekretariat perdana menteri, kepada pihak Sekretariat Negara dengan nomor surat 3676/Pres/V dengan perihal mengenai larangan berpidato sebagai opsir atau perwira.
Sore dihari yang sama, 17 Desember 1947, terbit surat perintah dari Sukarno -sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi angkatan perang- kepada Soedirman. Isinya memerintahkan panglima besar untuk melarang Soetomo atau bung Tomo berpidato di muka umum.
“Meneruskan dengan segera kepada jenderal mayor Soetomo (bung Tomo) perintah kami, supaya mulai hari ini tanggal 17 Desember 1947 menghentikan segala pembicaraan dan pidato di muka umum, baik dengan radio maupun dengan cara lain, sampai kami menarik kembali perintah ini,” seperti ditulis dalam surat perintah bernomor P.T/56 yang diteken Sukarno.
Bicara Kembali
Perundingan Renville pun selesai pada 17 Januari 1948. Hasilnya, tulis Iin Nur Insaniwati dalam Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya, 1924-1968, mengecewakan banyak pihak. Beberapa keputusan yang dipandang merugikan pihak Indonesia seperti wilayah RI yang menyempit dan kewajiban pengosongan daerah kantong dengan memindahkan tentara nasional RI ke wilayah Republik.
Akibat politik lainya adalah penolakan sejumlah partai seperti Masyumi dan PNI terhadap hasil Renville, padahal keduanya masuk dalam kabinet Amir Sjarifuddin jilid II. Masyumi menolak keputusan Renville sehari sebelum perundingan selesai -16 Januari 1948-, sementara PNI menolak keputusan sehari paska penandatanganan, 18 Januari 1948.
Seminggu setelah keputusan Renville, Amir Sjarifuddin menyerahkan mandat kembali kepada Sukarno. Pada 29 Januari 1948, terbentuk kabinet baru, dengan Perdana Menteri Mohamad Hatta.
Bagaimana nasib Soetomo atau Bung Tomo yang dilarang bicara di muka umum?
Seiring dengan bubarnya kabinet Amir Sjarifuddin, Soetomo pun mencoba menghadap Sukarno. Ia menyatakan dirinya siap menyokong kebijakan kabinet baru yang akan dibentuk. Atas sikapnya itu, Sukarno pun melunak. Ia mencabut pelarangan pidato bung Tomo.
Pada pukul 9 pagi, tanggal 27 Januari 1948, Sukarno meneken surat perintah bernomor 1/P.T/48 kepada panglima besar Soedirman.
“Memberi perintah kepada Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia untuk meneruskan kepada jenderal mayor Soetomo (bung Tomo) bahwa larangan tersebut dalam surat perintah tanggal 17 Desember 1947 nomot P.T/56 mulai hari ini ditarik kembali,” tulis Sukarno.
Surat dari Sukarno pun direspon oleh Soedirman. Pada 2 Februari 1948, pukul 10 pagi, Soedirman meneken surat perintah harian bernomor 15/PB/48/I yang menerangkan pencabutan larangan berbicara dimuka umum yang dikenakan kepada Soetomo sejak akhir 1947. Akhirnya, Bung Tomo pun bebas berbicara kembali, setelah dilarang bicara di muka umum selama hampir dua bulan.