Bukit Tempeh di Desa Kalibakung, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, tetiba menjadi ramai pada Kamis, 29 Juli 2021. Sekira 150 manusia memenuhi tiap sudut dataran tinggi yang dipenuhi oleh pohon pinus tersebut. Takbir dan shalawat terus terdengar seolah tak mengenal henti, ditingkahi suara pacul, belincong dan linggis yang beradu dengan tanah dan batu.
Sudah empat hari lamanya, pihak TNI AL bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah daerah setempat melakukan proses penggalian. Mereka berharap bisa mendapatkan sisa belasan jasad orang-orang yang ditembak mati militer Belanda pada sekira tahun 1947 (menurut versi salah satu keluarga korban adalah tahun 1946)
Baca juga:
Kisah Pembantaian di Cianjur Selatan
“Setelah melalui riset yang lama, kami sampai pada kesimpulan bahwa di sinilah para pahlawan kemerdekaan yang terdiri dari ulama, santri dan anggota Angkatan Laut RI dibunuh sekaligus dikuburkan pihak penjajah dalam satu lubang,” ungkap Kepala Dinas Sejarah Angkatan Laut Laksamana Pertama Supardi.
Pernyataan Laksma Supardi dibenarkan oleh Kolonel Heri Sutrisno. Menurut sejarawan dari Dinas Sejarah Angkatan Laut (Disjarahal) itu, 16 pejuang tersebut sejatinya adalah orang-orang yang sudah lama menjadi incaran pihak militer Belanda.
“Dua di antaranya adalah K.H. Muhammad Saafi’i Mufti bin K.H. Mufti dan H. Muhammad Yahya bin Sejan,” ungkap Heri.
*
Kisah pembunuhan dua ulama dan para santri-nya serta anggota-anggota ALRI Pangkalan IV Tegal itu berawal dari adanya agresi militer ke-1 yang dilakukan Belanda ke Tegal pada 24 Juli 1947. Begitu Tegal dikuasai pasukan Belanda, unsur-unsur kekuatan Republik yang salah satunya terdiri dari pasukan ALRI dari ALRI Pangkalan IV, kemudian memilih untuk mundur ke pelosok Tegal.
Menurut Muchri dan Sugeng Sudarto dalam TNI AL dalam Gambar 1945-1950, Pasukan ALRI Pangkalan IV sendiri memutuskan untuk menyingkir ke Kalibakung. Dipilihnya Kalibakung sebagai basis pengunduran diri, selain di sana terdapat basis pendidikan ALRI (Sekolah Angkatan Laut dan Latihan Opsir AL) juga medan wilayah tersebut yang berbukit dan masih berhutan lebat. Kondisi itu dianggap cocok untuk bergerilya melawan militer Belanda.
Namun pada 4 September 1947, dengan menggunakan satu batalyon infanteri dan satu kompi kavaleri (tank dan panser), militer Belanda melakukan penyerbuan ke Kalibakung. Awalnya penyerbuan itu dapat ditangkis secara brilyan oleh prajurit-prajurit ALRI Pangkalan IV yang bertahan di parit-parit pertahanan.
“Pasukan infanteri Belanda tidak diberi kesempatan untuk bergerak…” tulis Tim Penulis Dinas Sejarah AL dalam Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Periode Perang Kemerdekaan, 1945-1950.
Baca juga:
Tak ada pilihan lain bagi pihak Belanda selain mundur kembali ke arah Yumani. Tetapi pihak ALRI Pangkalan IV yang dipimpin oleh Letnan Moch. Junus cepat sadar, kemenangan itu hanyalah sementara. Sebelum bantuan Belanda datang, mereka kemudian menyingkir ke bukit-bukit dan hutan-hutan yang ada di sekitar Kalibakung.
Perintah itu terbukti sangat tepat, karena begitu anggota ALRI Pangkalan IV yang terakhir menginjakan kakinya di salah satu bukit, pasukan infanteri Belanda kembali datang dengan kekuatan berlipat ganda. Maka sejak itu jatuhlah Kalibakung ke tangan militer Belanda.
*
Begitu menguasai Tegal dan kota-kota kecil sekitarnya, militer Belanda langsung mengadakan berbagai operasi patroli dan aksi pembersihan terhadap unsur-unsur Republik. Salah satunya adalah Soenarsa alias H. Muhammad Yahya bin Sejan, Kepala Desa Karangjambu.
Menurut Raden Arief Prabowo R.H (lebih akrab dipanggil Gus Arief), salah satu cicit dari Yahya, sang buyut didentifikasi sebagai orang Republik oleh militer Belanda. Itu terjadi setelah dalam suatu pemeriksaan, para prajurit Belanda menemukan selembar surat keterangan di dalam peci-nya. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Yahya merupakan salah satu “telik sandi” Republik.
“Surat itu bahkan resmi ditandatangani langsung oleh Presiden Sukarno,” ungkap lelaki berusia 40 tahun itu.
Menjadi buronan militer Belanda, Yahya sempat tiga kali berhasil lolos. Barulah pada perburuan keempat kalinya, Yahya berhasil ditangkap di rumahnya pada suatu subuh. Sejak itulah lelaki asal Pangkah tersebut tak pernah lagi kembali ke rumah. Nasibnya baru diketahui secara jelas dua tahun kemudian, saat Sugito (anak ke-7 pasangan Yahya alias Soenarsa-Sarmunah alias Hajah Siti Solihah) kemudian menelusuri keberadaannya. Berdasarkan kesaksian sejumlah orang Kalibakung, Yahya ternyata telah dibunuh di sebuah hutan bernama Bukit Tempeh.
“Sejak itulah keluarga kami selalu rutin berziarah ke Bukit Tempeh. Kami percaya, mbah buyut Yahya alias Soenarso dikuburkan di sana,” ujar Gus Arief.
Selain Yahya, militer Belanda pun menangkap seorang ulama terkemuka di Tegal bernama K.H. Muhammad Saafi’i Mufti bin K.H. Mufti. Saat ditangkap, tokoh dari Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah di Desa Babakan Kecamatan Lebaksiu itu bahkan diperlakukan sangat kejam. Dia diseret dengan kereta kuda dari Kajen hingga Kalibakung (berjarak sekira 13 km).
Baca juga:
Petualangan Westerling di Barat Jawa
Ikut ditangkap bersama Kiyai Saafi’i, beberapa santri Pesantren Ma’hadut Tholabah, demikian menurut A. Hanafi Rahmat dalam Mengenal Pesantren dan Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah Babakan Lebaksiu, Tegal.
Di Kalibakung, kata Kolonel Heri Sutrisno, para tawanan sipil itu dikumpulkan bersama 6 tawanan militer dari ALRI Pangkalan IV. Mereka ditempatkan di sebuah gedung bekas hotel di era kolonial yang kemudian—sebelum militer Belanda menguasai Kalibakung-- dijadikan tempat Latihan Opsir ALRI.
*
Suwarno bin Sugana masih berumur 8 tahun saat menyaksikan kejadian mengerikan itu. Masih segar dalam ingatannya, dua tentara Belanda pribumi dengan baret merah dan seragam loreng serta senjata terkokang, menggiring belasan lelaki menuju Bukit Tempeh.
“Mereka berdua membawa orang-orang yang wajahnya kuyu dan pakaiannya rombeng-rombeng itu dari hotel. Cara membawanya persis seperti menggiring sekawanan kambing,” kenang lelaki yang lahir di Kalibakung pada 1939 tersebut.
Di bawah sinar matahari pagi, Suwarno dan kedua kawannya Sadali dan Tarmidi, diam-diam mengikuti rombongan kecil tersebut dari belakang. Niat awal mencari burung diurungkan sementara demi memenuhi kepenasaran mereka. Anehnya kedua prajurit Belanda itu seolah acuh tak acuh kepada kehadiran ketiga bocah tersebut.
“Salah satu dari orang-orang itu terlihat paling payah: jalannya agak pincang dan kepalanya dilingkari secabik kain yang sepertinya diambil dari celana yang dia kenakan,” ujar Suwarno.
Begitu sampai di dalam hutan, orang-orang tersebut diperintahkan untuk berjongkok di depan lubang yang sudah tersedia. Tanpa banyak cakap, salah satu prajurit itu kemudian mengokang senjata dan menyiramkan peluru-pelurunya ke tubuh-tubuh malang itu. Seketika jatuhlah mereka ke lubang.
Suwarno dan kedua kawannya yang bersembunyi di balik semak hanya berjarak sekira 10 meter dari kawasan eksekusi tersebut. Menyaksikan pemandangan itu, tentu saja mereka terkesiap dan hampir saja berteriak. Namun karena rasa takut lebih mendera, mereka memilih diam saja.
Baca juga:
Dua prajurit Belanda itu lantas memanggil orang-orang desa, termasuk Sugana (ayahnya Suwarno). Seolah tak terjadi apa-apa, salah satu dari mereka memerintahkan orang-orang desa tersebut untuk mengubur tubuh-tubuh yang sudah tak berdaya itu. Saat itulah, tetiba Sugana mendapatkan salah seorang korban penembakan tersebut masih bernafas. Sambil berbisik lirih, orang tersebut mengenalkan diri sebagai Yahya alias Soenarso.
"Orang itu yang tak lain adalah Mbah Yahya berpesan agar Sugana menyampaikan kepada keluarganya bahwa dia tak akan pulang dan sudah merasa tenang di tempat itu," tutur Gus Arief, mengutip kisah yang diceritakan Sugito kepadanya beberapa tahun yang lalu.
Sejatinya Sugana merasa tak tega menguburkan hidup-hidup para korban yang masih bernafas. Namun ketakutannya kepada tentara Belanda menjadikan Sugana terpaksa menjalankan sesuatu yang tidak diinginkannya.
“Jadi saat Mbah Yahya dikubur, dia masih dalam keadaan hidup…” ungkap Gus Arief.
Suwarno sendiri mengaku tak tahu apa-apa lagi setelah kejadian penembakan itu. Alih-alih mendekat, dia lebih memilih langkah seribu dan melanjutkan kegiatan berburu burung bersama Sadali dan Tarmidi.
Kejadian itu memang sempat membuatnya trauma, walaupun dia selalu berusaha melupakannya. Dan seiring waktu, Suwarno pun dapat melupakan kejadian itu hingga suatu hari dia didatangi para petugas dan peneliti dari TNI AL.
“Ketika diminta penjelasan soal peristiwa itu, saya sama sekali tidak melebih-lebihkan dan menguranginya. Ya memang kejadiannya seperti itu,” ungkapnya lurus.
*
Suara tembakan salvo memecah kesunyian upacara di Komplek Monumen Perjuangan TNI AL di Kalibakung senja itu . Mendung menggantung, ketika satu persatu 16 peti berisi sisa-sisa jasad, yang disimbolkan dengan gumpalan tanah hitam tersebut, dimasukan ke liang lahat.
Secara resmi, pencarian sisa-sisa jasad orang-orang yang ditembak mati di Bukit Tempeh 74 tahun lalu itu, telah berakhir. Upacara pemakaman kembali itu seolah menjadi rangkaian penutup upaya pihak TNI AL dan masyarakat Tegal mencari keberadaan para pahlawan.
“Apa yang kita lakukan ini, tak ada apa-apanya dibandingkan jasa-jasa mereka…” ujar Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, ulama terkemuka yang hadir dalam upacara itu.
Baca juga:
Maut Bernyanyi di Tepi Bengawan Solo