Pendudukan Jepang membawa “berkah” tersendiri bagi kota Tegal. Di kota itu didirikan Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT). Sekolah tersebut melatih calon perwira kapal kayu untuk militer Jepang.
Namun, Tegal bukan satu-satunya kota yang punya SPT di zaman Jepang. Jakarta dan Semarang juga mempunyainya.
Setelah Indonesia merdeka, Tegal menjadi kota pelabuhan yang sangat penting bagi Republik Indonesia. Banyak pelaut dari SPT Jakarta dan Semarang datang ke Tegal. Di antara mereka bahkan menjadi bagian dari Pangkalan IV Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang bermarkas di Tegal.
Kala itu Pangkalan IV dipimpin Darwis Djamin, yang menjadi panglima sejak zaman Laksamana III Mas Pardi menjadi Kepala Staf Umum Angkatan Laut RI. Darwis Djamin termasuk perwira yang setia kepada Mas Pardi.
Baca juga: Tan Malaka dan Angkatan Laut di Surabaya
“Di bawah Darwis Djamin, Panglima ALRI Pangkalan IV, roda ekonomi mandiri di kawasan pangkalannya bahkan meluas ke sekitar Tegal. Ini berkat swasembada pembangunan niaga dan industri maritime,” jelas Kapten HO Bunsaman di Majalah Mutiara nomor 317, 28 Maret-10 April 1984.
Darwis Djamin sendiri, menurut Dharmasena edisi November 1987 nomor 6, datang dari Demak ke Tegal. Dia mulanya seorang pengusaha.
Darwis merupakan jebolan sekolah guru HIK dan pernah jadi guru di Europe Ambachtsschool (sekolah tukang) Padang. Sewaktu pendudukan Jepang, dia menyamarkan identitasnya sebagai pengelola toko hasil bumi bernama Asia Raya.
Darwis Djamin, sebagaimana disebut Bunsaman, sebagai bekas intel zaman Jepang. Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 389 membuktikan pernyataan tersebut. Darwis Djamin, kata arsip tersebut, dulunya “adalah anggota dari dinas rahasia Jepang dengan nama Nami Kikan (Osamu Butai 1602) di bawah Utjiyama. Dinas rahasia ini terutama mengenai laut.”
Baca juga: Kisah Taruna Indonesia dalam Angkatan Laut Belanda
Darwis Djamin mengumpulkan bekas anak-anak pelayaran dan mendirikan Handels Scheepvaart Maatschappij (Perusahaan Pelayaran Niaga) yang bergerak di bidang ekspor-impor. Kapal yang dipakainya untuk berdagang adalah milik butai (satuan) yang menaungi kegitan intelijennya. Dari intelijen Jepang, Darwis Djamin belajar soal intelejen Angkatan Laut. Selain Darwis, pemuda lain yang direkrut Butai adalah Amir Hoesein.
Di bawah komando Darwis, Pangkalan IV Tegal menjadi “sarang penyelundup” yang berjasa besar bagi Republik Indonesia. Lewat Tegal itulah para pejuang bisa mendapat tambahan senjata dari luar. Darwis yang sebagai pengusaha memiliki banyak relasi, tidak kesulitan menjalankan aktivitas penyelundupan itu. Dalam hal pembiayaan, di Jakarta dia bermitra dengan Lip Seng & Co. yang ada di Glodok.
Kiprah Darwis akhirnya mendapat dukungan dari pengusaha “Kiblik” lain, semisal Agus Dassaad. Pengusaha yang dekat dengan Bung Karno itu menjadi “bohir” penting dalam penyelundupan senjata di Pangkalan IV itu. Suatu kali, Dasaad dan Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang kelak berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, berhasil menyelundupkan senjata dalam jumlah besar ke Tegal lewat “kongsian” dengan seorang perwira Inggris.
Baca juga: Duet Pengusaha Indonesia Selundupkan Senjata
“Suatu senja Dasaad mengundangku datang ke rumahnya. Di sana aku dapati seorang mayor Inggris. Ia datang bersama istrinya. Ia punya senjata. Dan ia tahu Republik memerlukannya. Dan ia akan menyerahkan senjata itu kalau diberi uang,” kata Hasjim dalam otobiografi yang ditulis AA Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning.
Dengan peran sebagai “sarang penyelundupan”, Pangkalan IV menjadi pangkalan vital bukan saja untuk ALRI tapi juga perjuangan republik. Sumber daya modal yang berhasil dikumpulkan ALRI IV Tegal itu membuat mereka mampu membuat empat kapal kayu yang diberi tulisan Cina sehingga mampu mengibuli patroli laut Belanda. Saat itu Belanda sedang memblokade RI di lautan.
ALRI IV juga sampai bisa mengadakan Latihan Opsir di Kalibakung, selatan Tegal. Selain itu, Pangkalan Tegal mengambil peran penting dalam kelahiran Korps Marinir. Di pangkalan inilah berdiri kesatuan tempur bernama Corps Manirier yang disebut Corps Armada IV (CA-IV). CA IV merupakan cikal-bakal Korps Marinir. Hadirnya pasukan dengan kemampuan tempur di tubuh ALRI itu tak lepas dari kedatangan bekas KNIL dan Angkatan Laut Belanda (Wakidjo dan Tukiran) ke Tegal.
Namun, Darwis Djamin tidak lama menjadi panglima di ALRI IV. Menurut Hasjim Ning, dia ditangkap karena Peristiwa 3 Juli 1946. Dia dekat dengan kelompok Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) Tan Malaka. Posisinya selaku panglima di Tegal lalu digantikan Mayor Sunar Suroputro. ALRI IV kemudian tak bisa dipertahankan setelah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947.
Setelah perang antara RI-Belanda mereka, Darwis Djamin terjun ke dunia pelayaran. Dia salah satu pendiri maskapai Djakarta Lloyd. Sementara, Sunar yang menggantikannya di Tegal juga mendirikan Pepuska yang berkembang menjadi Pelni.