Atas kasus yang sedang heboh belakangan ini, muncul fenomena pengacara dikibuli kliennya. Kena prank, begitu istilah kerennya zaman sekarang. Pada masa perang kemerdekaan dulu, seorang komandan tentara juga pernah mengalami hal serupa. Peristiwa unik ini terjadi kepada Letkol Alex Evert Kawilarang, panglima Sub Teritorium VII Sumatra Utara. Ia kena prank oleh ajudannya sendiri.
Suatu hari di bulan Januari 1949. Kawilarang berkunjung ke wilayah Sektor IV di Sibolga, Tapanuli Tengah. Komando gerilya di sana dipimpin oleh Mayor Maraden Panggabean yang bermarkas di Rappa. Panggabean membuat semacam bunker sebagai tempat persembunyian pasukannya. Mereka menyebut bunker itu “Raum” (kantong gerilya) A.
Sang mayor, seperti disebut Kawilarang dalam memoarnya Untuk Sang Merah Putih, mengajaknya pergi ke selatan Sibolga. Panggabean melaporkan beberapa keluhan rakyat di sana sehubungan dengan pendudukan tentara Belanda. Ia juga mengakui bahwa penghadangan tentara Belanda di selatan Sibolga masih kurang. Dalam perjalanan itu, Kawilarang dan Panggabean disertai sekira 20 orang prajurit.
Baca juga: Alex Kawilarang Diserang Pasukan Lintah
“Turut serta dengan kami Letnan Satu Sinta Pohan, Letnan Satu Pengehutan Hasibuan, dan tentu juga ajudan saya Letnan Satu Kontan Pri Bangun,” kenang Kawilarang kepada Ramadhan K.H si penulis memoarnya.
Perjalanan memakan waktu empat hari. Penghadangan pos militer pasukan Belanda di Kecamatan Tukka kurang begitu berhasil. Pada hari keempat, rombongan Kawilarang bergegas kembali ke markas Sektor IV.
“Kami nekat saja, pagi hari melewati rawa di dekat pos Belanda itu,” kata Kawilarang.
Di tengah hutan, Letnan Pri Bangun, yang berjalan di depan Kawilang, tiba-tiba kakinya dililit ular sepanjang kira-kira satu meter. Kawilarang memberitahu ajudannya itu. Karena kaget, Letnan Bangun menendangkan kakinya ke atas hingga ular terlempar sejauh tiga meter. Setelah terhempas ke tanah, ular itu dibunuhnya secepat kilat.
Baca juga: D.I. Pandjaitan Bernatal di Tengah Hutan
Pada kaki Letnan Bangun membekas luka gigitan. Tapi, penunjuk jalan mengatakan ular itu tidak berbisa. Rombongan Kawilarang lantas meneruskan perjalanan hingga tiba di sebuah sungai. Sementara penunjuk jalan mencari hulu tempat yang dangkal untuk menyeberang, Kawilarang bersama pasukannya beristirahat di atas bebatuan sungai. Letnan Bangun kelihatan berbaring dengan melipat kaki karena batu yang ditempatinya tidak besar.
Seperempat jam berlalu. Penujuk jalan telah kembali. Pasukan Kawilarang dibangunkan untuk menyeberang. Namun, Letnan Bangun kesulitan untuk bangun. Ia berteriak-teriak bahwa ular tadi berbisa lantaran kakinya terasa kaku. Para pasukan mengerumuninya, termasuk Kawilarang hendak memberikan pertolongan pertama.
“Tidak bengkak, dan tidak biru,” ujar Kawilarang setelah memperhatikan kaki sang ajudan.
Letnan Bangun menjawab agak malu-malu kucing, “Sekarang sudah bisa bergerak sedikit.”
Baca juga: Moersjid dan Kawilarang, Dua Panglima Bersimpang Jalan
“Ternyata ia cuma kesemutan,” ungkap Kawilarang yang kecele oleh ulah ajudannya.
Insiden kaki kesemutan itu dibenarkan Maraden Panggabean. Dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi, Maraden mengenang peristiwa aneh Letnan Bangun dipagut ular itu terjadi di tengah hutan mendekati Raum A. Beberapa saat kemudian Letnan Bangun bisa berdiri.
“Kakinya cuma semutan saja; imajinasinyalah yang mengatakan dia digigit ular berbisa,” tutur Maraden.
Baca juga: Imajinasi Yamin Tentang Papua
Setelah urusan di Sektor IV selesai, Kawilarang langsung kembali ke markasnya di Sibunga-bunga. Pasukan Maraden mengantarkannya sampai ke tempat penyeberangan di Sungai Aek Risan. Kawilarang menyempatkan mandi dan berenang sebentar. Selama berhari-hari Kawilarang belum mandi. Dalam keadaan tanpa busana, Kawilarang pamitan.
“Terimakasih Mayor, saya berangkat dulu. Tapi saya pasti datang lagi,” katanya
Ucapan perpisahan itu, kata Maraden, dinyatakan Kawilarang sambil tangan kiri menutup alat vitalnya sementara tangan kanan terangkat tanda salut hormat gaya militer. Mau tidak mau, Maraden mengikuti formalitas yang canggung itu. Semata-mata demi menghormati atasannya.
“Pertemuan pertama di tengah sungai pakai celana dalam saja, perpisahan pertama juga di tengah sungai, tapi dalam keadaan lebih lucu lagi,” kenang Maraden.
Baca juga: Kisah Lucu di Sungai Pakuanan