Suatu hari di tahun 1949, Komandan Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera Mayor Maraden Pangabean sedang mengunjungi pos-pos terdepan pasukannya di wilayah antara Hubu dan Saur Matinggi, pelosok Sumatera Utara. Di tengah kunjungan tersebut, ia mendapat informasi bahwa Letnan Kolonel A.E. Kawilarang (Komandan Sub Teritorium VII Sumatera) sedang menuju markas Sektor IV di tepi sungai Pakuanan.
Tanpa menunggu lama, Mayor Maraden lalu memutuskan untuk berbalik lagi menuju markasnya itu. Hari sudah mulai remang, saat sang mayor melewati anak sungai sebelum mencapai markas yang berupa bunker tersebut. Menurut kebiasaan, di tempat ini celana harus dicopot karena menghindar basah (maklum celana cuma satu-satunya).
“Jadi saat itu saya hanya mengenakan baju dan celana dalam saja,” ujar Maraden dalam biografi yang ditulisnya, Berjuang dan Mengabdi.
Begitu sampai di seberang sungai, ia lantas memanggil salah seorang perwira bernama Letnan Mulatua Purba, tujuannya: ingin menanyakan kebenaran akan kedatangan Letnan Kolonel Kawilarang itu.Belum terlontar pertanyaan tersebut, tiba-tiba Letnan Purba muncul dari arah bunker di seberang sungai, menghormat dan langsung berseru dalam bahasa Belanda: “Mayor! Letnan Kolonel Kawilarang sekarang berada di sini, beliau ingin bertemu dengan Mayor dan mengetahui kondisi sektor kita.”
Baca juga: Alex Kawilarang Selalu Dikira Tentara Belanda
Kawilarang kemudian muncul dari bunker sambil tersenyum dan mengangkat tangan kanan. Melihat kehadiran atasannya itu, Mayor Maraden yang sudah kadung ada di tengah sungai untuk menyebrang lantas mengambil sikap sempurna sambil berseru lantang: “ Lapor! Mayor Maraden Pangabean, Komandan Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera beserta seluruh pasukan Sektor IV dalam keadaan aman! Siap menunggu dan melaksanakan perintah Komandan Sub Teritorium VII Sumatera!”
Sang Letnan Kolonel yang tadinya tidak bermaksud formil-formilan, terpaksa juga mengambil sikap sempurna, membalas penghormatan dan menerima laporan Mayor Maraden. Usai sesi formil-formilan tersebut, sambil tersenyum lebar, Kawilarang masuk ke dalam sungai dan membentangkan tangannya. Mereka berdua lantas berpelukan.
“Saat itulah kami baru sadar bahwa pada upacara pelaporan tersebut, kami sama-sama hanya mengenakan celana dalam saja karena waktu saya datang, Pak Kawilarang lagi mengeringkan kakinya di atas batu seusai berenang di sungai,” kenang Maraden Pangabean.