Masuk Daftar
My Getplus

Dulu Taperum, Kini Tapera

Masa Orde Baru gaji jutaan PNS dipotong Taperum. Audit bisa dilakukan setelah kejatuhan Soeharto. Ada temuan bocor ratusan miliar. Kini, tak hanya ASN, gaji pegawai swasta bakal dipotong Tapera.

Oleh: Amanda Rachmadita | 29 Mei 2024
Foto pelantikan pengurus KORPRI Sub Unit Itjen Deppen, 11 Februari 1993. (IPPHOS/Khastara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia).

TABUNGAN Perumahan Rakyat (Tapera) tengah jadi sorotan masyarakat terutama para pegawai swasta. Pasalnya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No. 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Peraturan ini menyebutkan bahwa gaji para pekerja, termasuk karyawan swasta dan pekerja mandiri, akan dipotong tiga persen per bulan sebagai iuran peserta Tapera. Dari tiga persen itu, 0,5 persen ditanggung pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung pekerja. Sedangkan pekerja mandiri dibayarkan secara mandiri.

Sebelum Tapera, pemerintah Orde Baru pernah meluncurkan program Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) pada awal tahun 1993. Program ini diatur dalam Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1993 tentang Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1994.

Dalam majalah bulanan DPRD Provinsi DKI Jakarta, Legislatif Jaya Vol. 11 No. 9 Februari 1993 disebutkan, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin mengumumkan bahwa setiap PNS akan dikenai potongan uang tabungan perumahan yang dipungut dari gaji setiap bulan mulai Januari 1993. Besaran iuran disesuaikan dengan golongan-golongan yang telah ditentukan. Iuran Golongan I sebesar Rp3.000 per bulan, Golongan II Rp5.000, Golongan III Rp7.000, dan Golongan IV Rp10.000.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Mula Pembiayaan Rumah Murah

Dana Taperum PNS yang terkumpul akan digunakan untuk bantuan uang muka kredit rumah bagi PNS yang belum punya rumah, membangun rumah bagi PNS yang sudah memiliki tanah, dan dicairkan ketika akan pensiun atau berhenti bagi PNS yang sudah punya rumah.

Dalam majalah bulanan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Mimbar Jatim, edisi 162 September–Oktober 1994, disebutkan besaran uang muka kredit rumah yang diberikan disesuaikan dengan tipe rumah yang telah ditetapkan untuk masing-masing golongan. Golongan I Rumah Sangat Sederhana (RSS) atau tipe 21, Golongan II Rumah Sangat Sederhana (RSS) atau tipe 36, Golongan III Rumah Sederhana (RS) atau tipe 21 hingga tipe 36, serta Golongan IV Rumah Sederhana (RS) tipe 45 hingga tipe 70.

Namun, prioritas utama penerima bantuan uang muka kredit rumah adalah PNS golongan rendah (I dan II) karena jumlahnya paling besar dengan ketentuan telah bekerja selama 10 tahun dan 12 tahun. Besarnya uang muka kredit rumah yang diberikan disesuaikan dengan golongan dan jatah rumah. Pada 1993, Golongan I menerima uang muka sebesar Rp420.000, Golongan II Rp510.000, dan Golongan III Rp720.000. Jumlahnya naik mengikuti kenaikan harga rumah.

Legislatif Jaya menyebut dana besar yang akan terkumpul dari pemotongan gaji PNS yang berjumlah 3.950.000 orang mencapai Rp239,9 miliar per tahun. Dari jumlah ini sekitar 60% dikembalikan kepada PNS untuk uang muka kredit rumah, sedangkan sisanya 40% akan dikembangkan dalam bentuk investasi seperti obligasi dan deposito.

Baca juga: 

Cara Walikota Jakarta Sediakan Rumah Murah

Sementara itu, Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Akbar Tandjung mengungkapkan dana Taperum-PNS yang tersimpan di Bank Tabungan Negara (BTN) sampai 31 Agustus 1994 tercatat sebesar Rp352,8 miliar. “Sedangkan PNS yang sudah menggunakan tabungannya untuk uang muka, membangun rumah sendiri, dan pensiun berjumlah 9.423 orang dengan nilai Rp4,4 miliar,” tulis Mimbar Jatim.

Akbar Tandjung memperkirakan dana Taperum-PNS yang tersimpan di BTN sampai akhir semester II 1994–1995 mencapai Rp457 miliar dengan rincian Rp266,5 miliar dikelola oleh Menpera, sisanya Rp190,5 miliar dikelola Departemen Keuangan. Besarnya penyaluran dana yang akan disetujui sampai semester II 1995 diperkirakan mencapai Rp14,5 miliar.

BTN menyalurkan dana berdasarkan surat perintah membayar dari Menpera selaku ketua Sekretariat Badan Pertimbangan Taperum-PNS (Bapertarum-PNS). Sementara untuk penggunaan dana Taperum-PNS yang dikelola Menteri Keuangan harus memperoleh izin dari Presiden Soeharto selaku ketua Bapertarum-PNS.

Pengumpulan dana masyarakat, dalam hal Taperum dari PNS, yang tidak transparan ditengarai telah terjadi penyelewengan. Hal itu dilaporkan majalah Tempo, edisi 20/29, 23 Juli 2000, bahwa lembaga Bapertarum-PNS mengelola uang ratusan miliar rupiah, tetapi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kesulitan mengauditnya.

“Berkali-kali kami ditolak mengaudit Bapertarum,” kata Moh. Mukrom As’ad, anggota BPK. “Baru setelah reformasi, kami bisa melakukannya.” Ketika diaudit awal tahun 2000, diketahui adanya kerugian sekitar Rp179,9 miliar. Namun, BPK belum berkesimpulan telah terjadi tindak pidana korupsi dalam kasus ini.

Baca juga: 

Dari Rumah Rakyat ke Real Estate

Hasil audit BPK itu kemudian beredar luas. Taufikurrahman Saleh, ketua Fraksi PKB, menyebut orang yang harus bertanggung jawab atas kebocoran dana Taperum-PNS adalah Akbar Tandjung yang tengah menjabat Ketua DPR. Menurut Tempo, pengungkapan indikasi skandal ini berdekatan dengan kesuksesan DPR memajukan hak interpelasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terkait Buloggate dan Bruneigate, sehingga disebut Taperumgate.

Tempo menyebut Taperumgate diduga melibatkan Akbar Tandjung ketika menjadi Menteri Negara Perumahan Rakyat (1993–1998). Sebagai menteri, Akbar juga ketua Sekretariat Bapertarum-PNS.

“Akbar dituding melakukan permainan selisih bunga untuk mencari dana bagi kampanye Golkar,” tulis Tempo. Pada 1996, Akbar Tandjung memasukkan dana potongan gaji PNS ke beberapa bank: Bank Kesejahteraan Ekonomi (Bank BKE), Bank Pembangunan Daerah, dan Bank Tabungan Negara, yang berturut-turut bunganya cuma 3 persen, 12 persen, 8 persen setahun. Padahal, suku bunga simpanan saat itu melambung lebih dari 20 persen setahun. Dana itu juga dipinjamkan Akbar Tandjung ke Perumnas dengan bunga cuma 8 persen.

Kecurigaan penyelewengan dana itu sudah muncul sejak 1998. Kala itu beredar selebaran dari Winarso, staf ahli Menteri Negara Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara, yang pernah ikut rapat-rapat Bapertarum-PNS. Winarso mempertanyakan kesepakatan bunga yang rendah, termasuk adanya deposito atas nama rekening Menteri Negara Perumahan Rakyat yang tak jelas. “Ia menyimpulkan sebuah manipulasi terjadi,” tulis Tempo.

Akbar Tandjung menangkis semua tuduhan itu. Alasan dia menyimpan di bank yang berbunga rendah karena ingin memperlancar tersedianya rumah bagi PNS. Begitu pula simpanan di Bank BKE, menurut Akbar Tandjung, justru menguntungkan PNS karena 70 persen sahamnya dimiliki Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia (IKPRI).

Baca juga: 

Empat Kasus Korupsi Besar pada Awal Orde Baru

“Dalam bantahannya, Akbar juga melampirkan memo Sumitro Djojohadikusumo, ketua koperasi (IKPRI, red.) kala itu, yang ditujukan ke Presiden Soeharto. Isinya: untuk kesejahteraan pegawai negeri, BKE butuh tambahan modal,” tulis Tempo. Artinya, penempatan dana Taperum-PNS di Bank BKE atas permintaan Sumitro dan persetujuan Presiden Soeharto selaku ketua Bapertarum-PNS.

Bank BKE didirikan oleh Sumitro Djojohadikusumo, ayah presiden terpilih Prabowo Subianto, pada 4 Oktober 1991. Bank BKE mulai melaksanakan kegiatan perbankan pada 27 Februari 1992. Kini, sejak 2021 Bank BKE menjadi SeaBank yang bergerak dalam perbankan digital.

Para politisi PKB tetap tak puas dengan penjelasan Akbar Tandjung. Rodjil Ghufron, anggota Fraksi PKB, yang mengumpulkan data kasus ini untuk PKB, mengatakan Akbar Tandjung semestinya tahu bahwa tidak semua PNS mengambil kredit perumahan. Sedangkan faktanya, tiap bulan gaji PNS wajib dipotong. Artinya, pemasukan kas Taperum-PNS lebih besar dari pengeluarannya.

Seiring berjalannya waktu, kasus kebocoran dana Taperum-PNS menguap begitu saja.

Walaupun begitu Akbar Tandjung tetap berurusan dengan hukum dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog yang merugikan negara Rp40 miliar sewaktu menjabat Menteri Sekretaris Negara. Dia divonis tiga tahun penjara dan denda Rp10 juta oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 September 2002. Namun, vonis itu dibatalkan Mahkamah Agung lewat sidang kasasi pada Februari 2004.

Sementara itu, DPR RI mengesahkan UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang menjadi dasar pembentukan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). UU memberi waktu dua tahun kepada Bapertarum-PNS untuk melikuidasi semua asetnya serta mengembalikan dana tabungan dan hasil pemupukannya kepada PNS pensiun atau ahli warisnya. Sementara dana tabungan dan hasil pemupukan milik PNS aktif dialihkan menjadi saldo awal kepesertaan Tapera. Setelah itu, pada 24 Maret 2018 Bapertarum-PNS dibubarkan dan beralih menjadi BP Tapera. Kini, bukan hanya gaji PNS yang dipotong, tetapi juga gaji pegawai swasta.*

TAG

tapera taperum-pns pns orde baru

ARTIKEL TERKAIT

Dulu Taperum dan TWP, Sekarang Tapera Aming yang Dilupakan Pegawai Negeri Bukan Priyayi Takhta Sultan Dermawan Raib Dicuri Orang Resep Ekonomi dan Moneter Hjalmar Schacht Sekilas Riwayat Minyak di Sanga-sanga Datu Adil, Raja Tarakan yang Melawan Belanda Orang Tionghoa di Tambang Timah dan Emas Hukuman bagi Pejabat yang Memberatkan Rakyat dengan Pajak Joki dari Penunggang Kuda Pacuan ke Pengerjaan Tugas Orang Lain