Mula Pembiayaan Rumah Murah
Ketika masyarakat ekonomi menengah ke bawah berkesempatan punya rumah. Cikal bakal rumah cicilan.
Hunian nyaman dan terjangkau tentu menjadi idaman semua orang. Itulah sebabnya pemerintah dari masa ke masa selalu mencanangkan program perumahan masyarakat. Berkelindan dengan harga rumah yang angkanya selalu naik setiap tahun.
Menilik sejarahnya, gagasan pembiayaan rumah murah dirintis pada pertengahan 1970-an. Persisnya saat memasuki masa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II periode 1974-1979. Presiden Soeharto mulai menaruh perhatian pada sektor perumahan karena pada Repelita sebelumnya lebih difokuskan untuk kebutuhan dasar seperti pangan dan sandang.
Pembangunan perumahan, menurut Soeharto, bukan sekadar perkara tempat tinggal. Tetapi, rumah juga menjadi tempat pembentukan watak dan jiwa melalui keluarga. Itulah yang dinyatakan presiden ketika meresmikan pabrik pengolahan kayu Suria Kencana di Cibadak, Sukabumi, pada 2 Agustus 1975.
“Kita harus membangun 1,5 juta rumah. Rumah-rumah tersebut tidak mewah, tetapi rumah sederhana yang menjadi tempat tinggal yang membahagiakan keluarga,” ucap Soeharto dikutip dari catatan Jejak Langkah Pak Harto: 27 Maret 1973 – 23 Maret 1978.
Baca juga: Cara Walikota Jakarta Sediakan Rumah Murah
Hunian untuk Rakyat
Ide perumahan rakyat pun mencuat. Presiden Soeharto, menurut Cosmas Batubara, menunjuk Bank Tabungan Negara (BTN) untuk memberikan pinjaman dana pembiayaan. Dengan begitu, masyarakat diharapkan dapat membeli rumah layak huni dengan cara mencicil dan bunga yang rendah. Pemerintah selanjutnya membentuk Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas). Bersama pengembang swasta (developer), Perumnas bertugas membangun perumahan rakyat.
“Berdasarkan penelitian yang dilakukan Departemen Pekerjaan Umum, kesimpulan dicapai bahwa rumah yang akan dibangun adalah rumah sederhana,” ujar Cosmas yang pernah menjabat menteri muda urusan perumahan rakyat pada Kabinet Pembangunan III dan IV dalam Cosmas Batubara: Sebuah Otobiografi Politik.
Baca juga: Dari Rumah Rakyat ke Real Estate
Pembentukan Perumnas, menurut pengamat sejarah kota UI, Hendaru Tri Hanggoro, merupakan suatu terbosan pada era itu. Membuktikan bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab mengurus soal perumahan. Ditambah lagi dengan adanya posisi menteri muda urusan perumahan yang terpisah dari Kementerian Pekerjaan Umum.
“Sebelumnya kan urusan perumahan jadi tanggung jawab pemerintah daerah saja,” kata Hendaru kepada Historia.id.
Rumah sederhana berukuran minimum 36 meter persegi dengan luas kavling minimum 60 meter persegi. Dengan luas bangunan 36 meter persegi, rumah sederhana biasanya memiliki dua kamar tidur berukuran 3x3 meter. Adapun sisa bangunan seluas 18 meter dapat menjadi ruang tamu, ruang makan, kamar mandi, dan dapur. Hunian dengan spesifikasi ini terkenal dengan sebutan rumah tipe-36.
Baca juga: Rumah Minimum ala Gubernur Pertama Jakarta
Pada 29 Januari 1974 terbitlah Surat Menteri Keuangan No. B-49/MK/I/1974 mengenai pembiayaan proyek perumahan untuk rakyat. Dalam surat tersebut BTN ditunjuk sebagai bank yang menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi rumah sederhana yang dibangun oleh Perum Perumnas maupun pengembang swasta. Sejak itulah program KPR atau yang dalam bahasa ekonominya disebut hipotek mulai diperkenalkan.
“Mula-mula hanya BTN yang diberi hak menyalurkan KPR, kemudian hak itu juga diberikan kepada bank-bank lain, baik pemerintah maupun swasta. Sampai tahun 1994, telah tercatat 11 bank,” ulas tim peneliti Kementerian Penerangan dalam 50 Tahun Indonesia Merdeka: 1965—1995.
Rumah KPR
Pada 10 Desember 1976, untuk pertama kalinya pembiayaan KPR dikucurkan. Proyek yang dibiayai adalah pembangunan 9 unit rumah bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kantor Wilayah Agraria oleh pengembang swasta di Semarang. Menyusul kemudian pembangunan 8 unit rumah di Surabaya. Total pembiayaan 17 unit rumah tersebut mencapai Rp 37 juta, nominal yang cukup besar saat itu.
Setelah beberapa waktu, KPR mulai berkembang di kota-kota lainnya. Dari ibu kota provinsi merambah ke daerah-daerah, hingga kawasan transmigrasi. Bagi masyarakat dengan anggaran terbatas, program KPR menjadi pilihan. Lagipula, rumah yang dicicil akan menjadi hak milik dan nilai jualnya selalu naik. Seiring dengan itu, makin banyak pengembang swasta terlibat dalam proses pembangunannya.
Baca juga: Hidup di Rumah Susun
Besar-kecilnya bunga kredit tergantung pada besar-kecilnya ukuran rumah. Untuk pembelian rumah inti (petakan), dikenakan bunga lima persen pertahun sedangkan untuk rumah sederhana tujuh persen pertahun. Untuk rumah yang lebih besar, dikenakan bunga sembilan persen pertahun.
“Bagian terbesar dari anggota masyarakat yang menikmati fasilitas KPR ini, yaitu berupa pinjaman jangka panjang sampai dengan 20 tahun dengan bunga yang relatif murah, adalah pegawai negeri dan karyawan-karyawan perusahaan,” tulis Menteri Muda urusan Perumahan Rakyat Kabinet Pembangunan V Siswono Yudohusodo dalam Rumah untuk Seluruh Rakyat.
Dari tahun ke tahun, kebutuhan masyarakat terhadap KPR terus meningkat. Pembangunan perumahan rakyat pun digenjot pemerintah. Peminat KPR tidak surut sekalipun lokasi pengembangan perumahannya kerap kali jauh dari pusat kota ataupun perkantoran. Di Jawa Barat misalnya, pembangunan perumahan rakyat banyak dibangun di Bogor, Cirebon, Purwakarta, Depok, Bekasi, Tangerang, dan Serang.
Baca juga: Ketika Rumah Menteri Pekerjaan Umum Kena Gusur
Menurut catatan Siswono, pemerintah mematok angka 150.000 unit rumah sederhana dengan dukungan fasilitas KPR-BTN pada Pelita III (1979-1984). Kenyataannya, yang tercapai sebanyak 170.000 unit. Pada Pelita IV (1984-1989), dari target 300.000 unit rumah yang tercapai sebanyak 343.665 unit. Pada periode ini, komposisi pengembang swasta lebih dominan, yaitu 255.052 unit rumah sedangkan Perumnas 88.613 unit.
Persoalan Tunggakan
Perumahan rakyat yang dibangun dengan sistem KPR begitu identik dengan BTN. Nama lembaga bank ini, seperti diberitakan majalah Pertiwi edisi Januari 1992, “akhirnya salah kaprah disebut sebagai perumahan BTN.” Dengan KPR, para karyawan, lansir Pertiwi, bisa membeli rumah layak huni dengan harga terjangkau. Kendati demikian, dalam perjalanannya bukan berarti program KPR tidak mengalami kendala.
Masalah terjadi ketika nasabah KPR tidak dapat membayar atau terganggu cicilan rumahnya untuk beberapa lama. Jika ada bad debt (utang tertunggak), menurut Cosmas, bank penyalur kredit bisa mengambil tindakan, kalau perlu dengan menyita rumah cicilan tersebut. “Tetapi, Perum Perumnas jarang sekali melakukan itu, karena pada umumnya pemilik KPR tetap membayar cicilan mereka pada waktunya,” kata Cosmas.
Baca juga:
Selain itu, seperti dicatat Siswono, memasuki Pelita V, BTN mempunyai masalah dengan masih tingginya tunggakan angsuran KPR. Data per Maret 1988 menunjukan jumlah debitur seluruhnya adalah 425.283 nasabah sedangkan yang menunggak berjumlah 210.932 nasabah (sekitar 47 persen). Pada akhir Juni 1990, tunggakan KPR-BTN mencapai Rp 163,9 miliar sehingga melampaui batas yang dapat diterima untuk ikut berpartisipasi dalam pinjaman dari Bank Dunia yang kedua.
Hal ini, menurut Siswono tidak lepas dari tata kelola manajemen yang kurang efisien, seperti kebanyakan perusahaan BUMN lainnya. “Serta menghadapi semakin terbatasnya dana yang murah dan di lain pihak harus melayani masyarakat yang berpenghasilan rendah yang mengharapkan bunga yang rendah,” ungkapnya. Untuk itulah regulasi KPR terus dibenahi mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
“Peran pemerintah memang penting untuk menjaga nilai tanah, material bangunan, nilai uang, inflasi, dsb agar harga rumah bisa tetap terjangkau oleh masyarakat. Bayangkan kalau semua itu tak dikendalikan, masyarakat akan kesulitan membeli atau mengangsur rumah,” tutup Hendaru.
Begitulah sekelumit kisah pembiayaan rumah murah di Indonesia. Sampai saat ini, KPR tetap menjadi pilihan orang kebanyakan dalam membeli rumah. Bahkan, tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari KPR. Sistem KPR yang semula hanya dijalankan BTN, kini telah dianut pula oleh bank-bank lain, swasta komersial maupun syariah.
Baca juga: Sejarah Lahirnya Bank Syariah di Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar