Rumah Minimum ala Gubernur Pertama Jakarta
Rumah murah untuk masyarakat pas-pasan. Dibangun berdampingan dengan rumah sedang dan mewah.
“YANG paling menekan saya ialah soal perumahan.” Begitu curahan hati Soemarno Sosroatmodjo, gubernur Jakarta 1960-1964, kepada wartawan Star Weekly, Mei 1961. Dia baru setahun menjabat gubernur, sebutan baru untuk kepala daerah Jakarta. Dulu sebutan kepala daerah Jakarta ialah walikota. Sebutan boleh beda, tapi masalah utama Soemarno serupa kepala daerah sebelumnya: bagaimana menyediakan rumah murah.
Beban Soemarno terus bertambah. Jakarta tengah bersiap menyongsong Asian Games 1962. Pemerintah pusat meminta Soemarno ikut membantu keberhasilan pembangunan gedung, fasilitas, dan jalan penunjang pesta olahraga terbesar Asia tersebut. Sebab, pembangunan itu mengharuskan pengorbanan penduduk Jakarta. Mereka harus angkat kaki dari atas tanah merah yang jadi tumpuan tempat tinggalnya.
“Dalam hubungan itu jumlah rumah yang dibongkar dan dibangun kembali sebanyak 8.652 buah, milik 46.829 jiwa penduduk Tebet, Pejompongan, Slipi, Cikoko, dan Cileduk,” kata Soemarno dalam otobiografinya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya.
Saat bersamaan Jakarta justru kekurangan 100.000 rumah. Kekurangannya terus bertambah tiap tahun sebanyak 10.000 rumah. “Tiap warga negara selayaknya mempunyai suatu rumah. Kalau kita bisa menyelenggarakan Asian Games, maka sayang sekali kalau kita tidak bisa menyelesaikan soal perumahan,” ungkap Soemarno dalam Star Weekly, 13 Mei 1961.
Puluhan ribu orang hidup tanpa rumah di Jakarta. Gelandangan berkeliaran di jalan-jalan, kolong jembatan, dan stasiun. Lainnya mendirikan gubuk-gubuk liar di sepanjang jalur kereta. Mereka mengorek bak-bak sampah dan menjual kardus bekas untuk makan sekadarnya. Urusan punya rumah cuma sebatas angan.
Warga kota yang punya sedikit penghasilan lebih beruntung. Mereka masih bisa menyewa rumah petak. Sisanya justru mampu membeli tanah dan membangun rumah seadanya berbahan kayu. Tapi rumah tak lantas bisa mereka huni lantaran terhambat aturan Surat Izin Penghuni (SIP) peninggalan zaman kolonial Belanda.
Soemarno mengupayakan jalan keluar masalah perumahan. Dia lebih dulu berpaling ke outline plan bikinan Sudiro, kepala daerah Jakarta sebelumnya. Outline plan memuat rencana perluasan wilayah Jakarta. Soemarno berpikir bahwa banyak daerah di luar pusat kota belum terjamah pembangunan.
Tanah lapang nan luas seperti di Cempaka Putih atau Pulo Mas menunggu digarap. Harga tanahnya pun masih murah sehingga Soemarno berangan-angan warga golongan ekonomi lemah mampu membeli tanah di sana secara legal.
“Untuk memungkinkan terlaksananya cita-cita ini pemerintah harus menguasai sebanyak mungkin tanah untuk dapat mencegah adanya spekulasi harga,” kata Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta, 1945-1966.
Soemarno mengaku pemerintah daerah tak bisa sepenuhnya membangun rumah murah di Cempaka Putih dan Pulo Mas. Kantong pemerintah daerah lebih sering kempis ketimbang kembangnya. Sebagai gantinya, pemerintah daerah bakal menjamin harga tanah murah, menghapus aturan Surat Izin Penghuni, menyediakan akses jalan, dan membangun fasilitas penunjang lainnya seperti air dan listrik.
Soemarno kasih warga saran untuk membangun rumah secara sederhana di Cempaka Putih dan Pulo Mas. Rumah tak perlu luas dan mewah. Yang penting mencukupi tiga syarat minimal: cukup sirkulasi udara dan cahaya, cukup sanitasi, dan cukup murah. Nanti kalau kantong pemilik sudah lebih berisi, rumah boleh diluaskan atau diperbaiki. Inilah rumah minimum ala Soemarno. Harga pembangunan per rumah pun tak boleh lebih dari 50 ribu rupiah. Tapi “Sekalipun murah, namun bagi buruh kecil harga itu belum wajar juga,” tulis Star Weekly, 13 Mei 1961.
Karuan Soemarno mengajak perusahaan swasta dan warga turut andil mendukung pembangunan rumah minimum bisa menyentuh masyarakat lapisan bawah. Sekalipun urusan perumahan Jakarta berada penuh di tangannya, sesuai Perpu No 6/1962 dan PP No 17/1963, lantaran kantong pemerintah daerah tak cukup berisi, urusan itu perlu disebar juga ke perusahaan swasta dan warga.
“Saya tahu dan yakin, bahwa masyarakat ibukota mempunyai potensi yang besar dalam hal modal (keuangan),” kata Soemarno dalam Star Weekly, 15 April 1961. Tiga tahun kemudian, keyakinan Soemarno benar-benar merupa.
“Proyek Cempaka Putih baru dibangun. Dari tanah seluas 235 ha, baru 22 ha yang diratakan dan di atas tanah yang sudah rata itu, baru 6 ha yang sudah dibangun, terdiri dari 204 pintu tipe rumah minimum, 33 pintu tipe rumah sedang dan 11 pintu tipe villa,” lansir Djaja, 11 Juli 1964.
Soemarno sengaja melebur lingkungan rumah minimum dengan rumah sedang dan rumah villa. Dia ingin penghuninya bekerja sama membentuk lingkungan baru di luar pusat kota. “Perpaduan antara penduduk yang berada dan penduduk yang kurang mampu,” kata Soemarno dalam Karya Jaya.
Soemarno membayangkan para pemilik rumah villa bisa membuka usaha dengan merekrut pekerja dari pemilik rumah minimum dan warga perkampungan sekitarnya. Sebaliknya, pemilik rumah minimum dan penduduk kampung sekitar bisa bekerja tak jauh dari tempat tinggalnya. Menghemat ongkos transportasi dan mengurangi beban pusat kota.
Selesai dengan Cempaka Putih, Soemarno beralih ke Pulo Mas. Dia bekerja sama dengan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk membangun lingkungan rumah minimum seperti di Cempak Putih. Tapi gagasan Soemarno gagal merupa di Pulo Mas. “Karena adanya perubahan-perubahan akan tanah air kita,” kenang Soemarno.
Ali Sadikin, pengganti Soemarno, lebih memilih memperbaiki keadaan kampung kumuh ketimbang membangun rumah murah baru. Gagasan rumah minimum Soemarno pun mati. Kelak, ia bangkit lagi dengan nama rumah tumbuh bikinan Perusahaan Rumah Nasional (Perumnas) pada pertengahan dekade 1970-an.
Baca juga:
Cara Walikota Jakarta Sediakan Rumah Murah
Cerita Awal Rumah Susun
Hidup di Rumah Susun
Intelektual Menyoal Rumah Susun
Tambahkan komentar
Belum ada komentar