Dari Rumah Rakyat ke Real Estate
Awal mula perumahan rakyat dan munculnya real estate.
Thio Teck Hian, lelaki perantau dari Jawa Tengah, sudah lima tahun tinggal di Jakarta. Dia pekerja rendahan dan punya seorang istri. Dia tinggal di rumah mertua sejak menikah. Suatu hari dia melihat iklan rumah di koran. Dia kepikiran pisah rumah dengan mertua dan punya rumah sendiri. Atau setidaknya menyewa. Tapi uangnya tak cukup.
Uang di tangan Thio hanya Rp5.000, sedangkan uang kunci untuk sewa rumah terkecil ialah Rp10.000. Istilah uang kunci merujuk pada uang tanda jadi awal untuk menyewa rumah selama setahun.
Istilah uang kunci sohor pada dekade 1950-an. Ia menghambat banyak orang berpenghasilan rendah untuk sewa rumah. “Bagi manusia-manusia yang kantongnya tidak padat, sebagai aku ini, segala usahanya untuk mendapatkan rumah itu pasti akan sia-sia saja,” kata Thio dalam Sunday Courier, 23 Juni 1955.
Thio menambahkan, bahwa orang seperti dia ada banyak di Jakarta. Kalau dijembarkan ke wilayah lain, jumlah mereka lebih banyak lagi. Beli rumah tidak bisa, sewa pun susah. Akhirnya mereka pilih bangun rumah seadanya. Tanpa memenuhi syarat teknis dan kesehatan, sebagaimana anjuran para ahli perumahan lima tahun sebelumnya pada 1950.
Baca juga: Rumah Minimum ala Gubernur Pertama Jakarta
Para ahli perumahan menggelar Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung pada 25-30 Agustus 1950. Tujuannya memecahkan masalah rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Kongres itu dihadiri oleh pejabat pemerintah pusat dan daerah.
Wakil Presiden Mohammad Hatta berkesempatan pidato di kongres. Dia mengemukakan, “Bahwa tentang perumahan rakyat kita menunjukkan ketinggalan yang besar, dan sebagian besar rakyat masih menempati rumah yang tidak layak bagi bangsa merdeka,” tulis Oleh Sardjono dalam “Menuju Tinggal Landas Pembagunan Nasional di Bidang Perumahan Rakyat”, termuat di Prisma, No. 5, 1986.
Para peserta kongres berembug perisoal teknik, syarat, pembiayaan, dan lembaga untuk pembangunan rumah rakyat. Kemudian kongres bersepakat mengenai beberapa tindakan ke depan untuk bidang perumahan. Antara lain mendesak pemerintah agar lekas membangun perumahan dan fasilitas penunjang, mengusul pembentukan lembaga khusus untuk mengurus perumahan, dan merumuskan norma dan syarat minimum perumahan rakyat. Istilah perumahan rakyat mengacu pada perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Baca juga: Cara Walikota Jakarta Sediakan Rumah Murah
“Luas rumah induk 36 m2 dengan dua kamar tidur, luas rumah samping 17,5 m2. Hal ini diusulkan kepada pemerintah agar dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan,” lanjut Oleh Sardjono. Tapi syarat minimum perumahan rakyat tak hanya berkisar pada luas, melainkan juga menyentuh aspek kesehatan rumah.
“Rumah yang sehat memerlukan sirkulasi udara yang cukup dan sinar mentari yang bisa menembus masuk,” tulis Freek Colombijn dalam Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during the Decolonization of Indonesia, 1930-1960. Syarat lainnya, bahan lantai rumah mesti terbuat dari ubin atau semen sehingga bisa dibersihkan saban kali kotor.
Konsep rumah sehat ini beroleh tempat di banyak pemerintah daerah seperti Medan, Surabaya, dan Semarang. Mereka berlomba-lomba membangun rumah sehat.
Tapi ketika situasi ekonomi Indonesia memburuk dan harga bahan bangunan naik pesat, konsep rumah sehat mulai goyah. Tak banyak rakyat mampu memenuhi konsep rumah sehat pada dekade 1960-an. Sebab kenaikan pendapatan mereka tak sebanding dengan kenaikan harga bahan bangunan. Akibatnya banyak rakyat mengurungkan niat membangun atau membeli rumah. Kekurangan rumah pun terjadi lagi. “Kita kekurangan 4 juta rumah tinggal,” tulis Star Weekly, 1 Februari 1961.
Baca juga: Cerita Awal Rumah Susun
Memasuki dekade 1970-an, pemerintah pusat bikin terobosan. Mereka berupaya mengintegrasikan lembaga yang mengurus pembangunan rumah rakyat. Sebelumnya tumpuan pembangunan rumah rakyat berada pada pemerintah daerah. Sekarang urusan rumah tersebar ke berbagai lembaga, mengingat pembangunan rumah berkelindan dengan banyak lapangan seperti ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi.
Pemerintah pusat juga memasukkan urusan pembangunan rumah rakyat ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dalam Repelita itu pembangunan perumahan tak lagi berfokus pada masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga menyebar ke berbagai lapisan masyarakat sehingga makna perumahan rakyat menjadi sangat luas.
Untuk membantu penyediaan rumah rakyat, pemerintah mendirikan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) pada 1974. Saat bersamaan, pemerintah pusat juga mengajak swasta untuk turut membantu penyediaan rumah rakyat. Lembaga swasta itu bernama Real Estate Indonesia (REI).
Perumnas dan Real Estate Indonesia memiliki sasaran berbeda. Perumnas menyasar golongan berpenghasilan rendah, sementara REI menarget golongan berpenghasilan sedang dan tinggi.
Baca juga: Dari Flat ke Perbaikan Kampung
Pengembangan tipe rumah keduanya pun berbeda. Perumnas mengembangkan tipe rumah inti atau tumbuh, yaitu rumah yang masih bisa dikembangkan oleh penghuni sesuai kemampuannya. Sedangkan REI mendirikan kompleks rumah villa atau mewah. Ada kewajiban pula bagi REI untuk turut membangun rumah murah, tapi tak sebanyak Perumnas.
Selama satu dasawarsa (1974-1984), pembangunan rumah rakyat di Indonesia meningkat pesat. Banyak rakyat telah memiliki rumah. Tapi kritik terhadap kebijaksanaan perumahan rakyat malah bermunculan.
“Seperti mereka yang menghuni rumah Perum Perumnas, banyak yang mengeluh, jauh dari tempat pekerjaan,” tulis Prisma, No 4, April 1983 dalam laporan khusus “Pembangunan Perumahan Maju Pesat Dikhawatirkan Tumbuh Slum Baru”. Kritik lain sekitar penyaluran kredit rumah murah yang tak tepat sasaran dan kualitas fisik rumah murah.
Pembangunan rumah oleh REI juga dapat serangan. Onghokham, sejarawan Universitas Indonesia, mengecam perkembangan konsep rumah Real Estate yang menyerupai kompleks tertutup sehingga menghambat pembauran masyarakat. “Hal itu sangat kami sayangkan dan pantas untuk dikecam,” tegas Ong dalam Jakarta-Jakarta, No 6, April 1981.
Di luar kritik terhadap kebijaksanaan pembangunan rumah rakyat, banyak orang masih mencari rumah yang sesuai kepadatan kantongnya. Sampai sekarang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar