NEGERI Kiwi yang lazimnya tenang mendadak jadi sorotan dunia. Total 49 jemaah Salat Jumat di dua masjid di Kota Christchurch, Canterbury, Selandia Baru, meninggal dunia, Jumat siang, 15 Maret 2019 sekira pukul 13.40 waktu setempat. Perdana Menteri (PM) Selandia Baru, Jacinda Ardern, terpukul dan mengecam aksi terorisme itu.
“Hari ini adalah salah satu hari paling kelam di Selandia Baru. Kita telah melihat kejadian yang belum pernah kita alami sebelumnya. Aksi ini hanya bisa dijelaskan sebagai serangan teroris,” kata Jacinda Ardern dalam konferensi pers dengan suasana haru, dikutip RTE, Jumat (15/3/2019).
Selain 49 orang meninggal, sekira 20 lainnya terluka dan dua di antaranya Warga Negara Indonesia (WNI). “Kami berduka untuk para keluarga dan kerabat korban, termasuk dua WNI yang terluka dalam insiden itu,” cuit Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, di akunnya, @Menlu_RI.
Jemaah Salat Jumat itu jadi korban penembakan keji empat pelaku yang diduga simpatisan kelompok rasisme sayap kanan. Masing-masing menyerang dua lokasi dekat pusat Kota Christchurch: Islamic Centre di wilayah Linwood dan Masjid Al-Noor di Riccarton.
Mula Masjid Al-Noor
Masjid Al-Noor atau Masjid Cahaya dibangun pada 1982 dan diresmikan pada 1985 oleh MAC (Asosiasi Muslim Canterbury). Masjid ini tertua kedua di Selandia Baru, setelah masjid di Ponsonby yang dibangun tahun 1979.
Desainnya dirancang seorang mualaf asal Australia, Martin “Rasjid” Wallen. Bangunan megah itu juga diakui sebagai salah satu masjid terjauh dari kiblat di Kabah, Makkah, Arab Saudi, setelah Masjid Dunedine di Kota Auckland.
Baca juga: Masjid Bergaya Tiongkok yang Dibangun di Indonesia Pasca 1998
Menurut Abdullah Martin Drury, MAC mulai mengajukan usulan pembangunan masjid pertama kali pada 1979, mengingat mulai bertambahnya jumlah komunitas muslim di Canterbury, khususnya Riccarton yang sebelum 1989 masih jadi kota kecil yang mandiri dan terpisah dari Kota Christchurch.
“Di awal 1982, MAC membeli sebuah properti di Deans Avenue, Kota Riccarton seharga 80 ribu dolar Selandia Baru (NZD). Mulanya properti itu hanya sekadar istal kuda. Pada 10 Mei 1982, Dewan Kota Riccarton baru menyetujui proposal MAC untuk perizinan pembangunan,” tulis Drury dalam “Once Were Mahometans: Muslims in the South Island of New Zealand, Mid-19th to Late 20th Century, with Special Reference to Canterbury,” tesis di University of Waikato.
MAC pula yang memilih Martin Wallen yang bermukim di Christchurch sejak 1965 sebagai arsiteknya, dibantu seorang mualaf lainnya, Abdul Hadi Bollard. Tidak lupa, desain interiornya dibantu Osman Mahgoub Gaafar, arsitek ekspatriat Sudan, khusus untuk mendekorasi hiasan-hiasan kaligrafinya berupa dua kalimat Syahadat dan potongan Surah al-Jinn ayat 18.
Baca juga: Doa Silaban Ketika Merancang Masjid Istiqlal
“Peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan 12 Juni (1982) kala bulan suci Ramadan. Salah satu donatur terbesarnya adalah Dr. Salih al-Samahy yang punya koneksi dekat dengan anggota-anggota Kerajaan Arab Saudi dengan sumbangan NZD300 ribu,” tulis Drury yang juga penulis buku Islam in New Zealand: The First Mosque.
Ditambah sumbangan NZD460 ribu dalam bentuk cek dari sejumlah donatur asal Saudi, Kuwait, dan Bahrain yang disampaikan melalui Duta Besar Saudi untuk Australia, Dr. Alohaly, setelah mengunjungi situs pembangunan masjid itu pada Juli 1984.
Pembangunan masjid selesai pada 1985 dan dinamai Al-Noor oleh MAC. “Masjid Al-Noor berarti Masjid Cahaya. Ungkapan dari simbol kesucian yang diharapkan menjadi sumber cahaya. Makna yang merupakan kombinasi dari cat putih dengan beberapa motif hijau, serta kubah yang juga hijau sebagai warna favorit Rasulullah Muhammad SAW,” lanjut Drury.
Baca juga: Masjid Sukarno di Rusia
Kubahnya kemudian tak lagi berwarna hijau, melainkan berwarna emas. Ternyata, perubahan warna itu terjadi pada 2003, seiring terjadi kisruh pemegang kepengurusan masjid.
Menurut Nahid al-Kabir dalam “Muslim Minorities in Australia, New Zealand and the Neighbouring Islands” yang termuat di The Different Aspects of Islamic Culture: Volume Six,
komunitas muslim di internal MAC dari Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dengan muslim Arab serta Afrika, memperebutkan kepengurusan masjid untuk mendapatkan posisi yang dihormati secara politik dan sosial-ekonomi dalam masyarakat muslim di Selandia Baru.
“Pada 2003 terjadi konflik kepengurusan masjid yang sejak lama dipegang kelompok muslim asal Asia Selatan di MAC. Kisruh berawal dari komunitas muslim asal Jazirah Arab dan Somalia yang ingin memegang kepengurusannya,” tulis Nahid.