LAZIMNYA, festival budaya Islam tahunan rutin digelar setiap Oktober di sebuah bangunan kuno di puncak sebuah bukit kota Almonaster La Real, Provinsi Huelva, Spanyol. Namun pandemi COVID-19 membuat hajatan Jornadas de Cultural Islamica itu sementara dibatalkan.
Bangunan yang dimaksud adalah Mezquita de Almonaster la Real alias Masjid Kastil Almonaster. Dinamakan Masjid Kastil Almonaster lantaran masjidnya berada di dalam kastil yang strukturnya tersusun dari sisa-sisa bebatuan era Romawi Kuno. Masjid itu dibangun di era kekasaan Abd al-Rahman III dari Kekhalifahan Qurtuba (Córdoba). Kala itu kotanya bernama Al-Munastir, berada dalam wilayah Andalusia.
Pasca-Reconquista atau perebutan kembali Semenanjung Iberia (kini Spanyol dan Portugal) dari tangan Islam ke Katolik (711-1492 Masehi), masjid itu dijadikan kapel di bawah pengelolaan Gereja Nuestra Señora de la Concepción. Seperti halnya Masjid Agung Córdoba, Masjid Al-Munastir juga didirikan di atas bekas bangunan gereja.
Baca juga: Sepuluh Masjid yang Diubah jadi Gereja (Bagian I)
Diungkapkan Roger Collins dalam Spain: An Oxford Archaelogical Guide, kastilnya sendiri dibangun antara abad kesembilan dan ke-10 Masehi di atas bekas aula kemiliteran Romawi. Situs itu merupakan bekas biara yang dibangun orang-orang Visigoth (Jermanik Kuno) di abad keenam.
“Nama Arab Al-Munastir menyiratkan eksistensi bangunan sebelumnya, yakni sebuah biara Kristen (monasterio) di zaman orang-orang Visigoth. Fragmen-fragmen bebatuan Romawi dan Visigoth di bangunannya jadi saksi tersendiri fase-fase situsnya,” tulis Collins.
Masjid itu terletak dekat gerbang utama kastil, ditandai dengan adanya menara masjid yang tersusun dari batu-bata. Bentuk bangunannya sedikit berbeda, bukan kotak melainkan trapesium. Kemungkinan untuk mengatasi fondasi bangunan yang tanahnya berbukit.
“Pertanda dibangunnya masjid adalah tembok batu-bata di bagian mihrab (tempat imam) dan pilar-pilar gaya Romawi yang menopang ruang shalat dengan lima saf. Terdapat penambahan struktur lengkung dari batu-bata di atasnya,” imbuhnya.
Setelah dijadikan kapel pada abad ke-13, situs Almonaster La Real tak lagi difungsikan jadi rumah ibadah sejak 1931 lantaran dinyatakan sebagai monumen nasional. Sempat direnovasi dalam kurun 1970-1973, situs itu sejak 1999 rutin menggelar konferensi Islam dan festival Jornadas de Cultural Islamica setiap Oktober.
Isu masjid yang dijadikan gereja sempat jadi pembenaran bagi Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan kala memfungsikan kembali Hagia Sophia menjadi masjid. Erdoğan berdalih bahwa di Portugal dan Spanyol banyak masjid yang dijadikan gereja.
Menyambung artikel sebelumnya, lima bangunan di Iberia berikut ini dibangun pertamakali sebagai masjid namun kemudian diubah menjadi gereja:
Masjid Benteng Jerez de la Frontera
Sebagaimana Masjid Al-Munastir, masjid ini dibangun di dalam Kompleks Benteng Alcázar di kota Jerez de la Frontera, Andalusia, Spanyol. Bentengnya dibangun pada abad ke-11, kala kota itu berada di bawah kekuasaan Taifa (kepangeranan) Arkasy, kepanjangan tangan dari Kekhalifahan Almohad. Nama Alcázar berakar dari bahasa Arab, al-Qasr, yang berarti benteng atau istana.
Karakter masjid era Almohad, seperti dituturkan Collins, bercirikan bentuk kubahnya oktagonal (segi delapan). Luas masjid ini sekira 10 meter persegi.
Baca juga: Masjid Sukarno di Rusia
“Pintu masuk masjidnya ada di bagian barat laut benteng yang lorongnya terdapat tiga bangunan lengkung dari batu-bata yang mengarah ke halaman kecil yang terdapat sebuah kolam air mancur dengan dasar keramik, serta sebuah menara masjid di sudut utara. Di sisi selatan aula shalat terdapat mihrab berbentuk persegi panjang yang atapnya berbentuk kubah,” tulis Collins.
Benteng Jerez de la Frontera ini direbut Panglima Kerajaan Castilla Nuño González I de Lara pada 1261. Oleh Raja Castilla Alfonso X, masjid di dalam bentengnya kemudian diubah menjadi Kapel Santa Maria del Alcázar.
Masjid Tórtoles
Terletak di kawasan Tórtoles, kota Tarazona, Zaragoza, Spanyol, sebuah masjid berbentuk persegi dengan struktur batu-bata jadi saksi bisu kelahiran kembali masyarakat Islam di tengah kota yang dikuasai mayoritas Nasrani. Kisah masjid ini berkelindan dengan dinamika politik yang melingkupinya.
Disebutkan dalam laman resmi Fundación Tarazona Monumental, masjid itu dibangun pada awal abad ke-15 dan diperluas dalam kurun 1447-1455 oleh Mahora Almorabid. Masyarakat muslim di Tarazona sudah berkembang sejak abad kedelapan.
Mereka terusir pasca-dikuasainya daerah tersebut oleh Raja Alfonso I dari Aragon pada 1119. Kaum muslim Tarazona lantas mengungsi ke kawasan Tórtoles yang merupakan kota terbuka alias bebas dihuni siapapun. Tarazona lalu dijadikan kota militer.
Baca juga: Hagia Sophia: Dari Gereja menjadi Masjid
Masjid yang dibangun pada abad ke-15 itu terbilang kecil, hanya dapat menampung tiga saf shalat. Tanpa dilengkapi menara, masjid tersebut langit-langitnya berhias ukiran bergaya mudejar.
Seiring meningkatnya jumlah populasi Nasrani di Tórtoles, masjid itu diambil paksa oleh kaum Nasrani dan dikonversi menjadi Gereja de la Anunciación de la Virgen. Pada abad ke-17, gereja tersebut ditinggalkan sehingga bangunannya dijadikan gudang jerami hingga 1987.
Bangunannya kemudian dijadikan situs cagar budaya. Pemerintah kota Tarazona dan Departemen Budaya dan Pariwisata Spanyol merestorasinya pada 1987, 1991-1995, dan 2016.
“Bangunan ini penting karena hanya ada sedikit contoh yang tersisa dari masjid-masjid yang dibangun di masa Kristen,” tutur Kepala Perencanaan Strategis Pariwisata Tarazona Javier Bona, dikutip Heraldo, 7 April 2015.
Masjid Al-Ta’ibin
Menara San Juan de los Reyes yang menempel pada Gereja Nuestra Señora de la Encarnación di kota Árchez, Provinsi Málaga, Spanyol itu masih berdiri dengan tegap hingga kini. Tingginya 15 meter dengan bentuk persegi.
Menara dengan beberapa ukiran khas bergaya Almohad dari periode Nasrid itu punya arsitektur berbeda dari gerejanya. Pasalnya ia awalnya adalah menara adzan dari sebuah masjid yang kemudian tak lagi eksis. Kisahnya mirip dengan Menara La Giralda yang jadi bagian Masjid Agung Sevilla.
“Gerejanya dibangun pada 1520 namun tetap mempertahankan menara era abad ke-13 dari Masjid Al-Ta’ibin, di mana gereja itu menjadi gereja Kristen pertama di kawasan Granada,” ungkap Litellus Russel Muirhead dan John Hooper Harven dalam Southern Spain: With Gibraltar, Ceuta & Tangier.
Baca juga: Teror di Masjid Al-Noor
Kota Árchez sejak tahun 711 berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Umayyah yang setelah keruntuhannya (abad ke-11) diteruskan Taifa Granada, lalu Emirat Granada sebagai kepanjangan tangan Dinasti Nasrid. Namun, tiada catatan kapan Masjid Al-Ta’ibin dibangun. Hanya menaranya saja yang diketahui dibangun pada masa Dinasti Nasrid (abad ke-13).
Masjid Al-Ta’ibin kemudian dihancurkan pasca-Reconquista. Di situsnya kemudian dibangun gereja.
Masjid San Juan Córdoba
Di kawasan Córdoba yang jadi jantung Kekhalifahan Qurtuba semasa diperintah Khalifah Abd ar-Rahman III (pertengahan abad ke-10) tentu terhampar banyak masjid baru. Namun pasca-Reconquista, masjid-masjid itu berubah jadi reruntuhan. Sedikit peninggalannya yang tersisa adalah Alminar de San Juan atau Menara Masjid San Juan.
Antonio Jesús García Ortega dalam Transformations of Mosques into Churches: Formalizing and Tracing in the Restructuring Processes of Toledo and Córdoba menyebut, menara itu bagian dari sebuah masjid yang juga dibangun dalam abad ke-10, sekira tahun 930 Masehi. Pada 1236 ketika Reconquista, masjidnya diratakan dengan tanah hingga tak menyisakan catatan tentang bentuk asli masjidnya.
Baca juga: Doa Silaban Ketika Merancang Masjid Istiqlal
Gereja yang berdiri di sebelah menara itu sedikit-banyak menyerupai bentuk masjidnya. “Letak menaranya sendiri berada di sudut timur laut dan diperkirakan letak masjidnya berada di sisi selatan. Keberadaan gereja yang sekarang merupakan hasil dari rekonstruksi (masjid) yang tak bisa ditentukan tahun pendiriannya,” tulis Ortega.
Meski tak dapat dipastikan, struktur masjid sedikit-banyak bisa dilihat dari struktur menaranya yang masih berdiri. Dibangun dari bebatuan persegi dengan berhias jendela berbentuk tapal kuda dari bahan batu-bata. Sejak 1236, sisa reruntuhan masjidnya dibangun Gereja San Juan de los Caballeros.
Masjid Al-Ulya
Tidak seperti di Spanyol, menara bekas masjid yang dikonversi jadi menara lonceng gereja di Portugal merupakan hal langka. Salah satu yang masih bertahan adalah Minarete de Loulé di Provinsi Algarve. Menara setinggi 22,7 meter itu dipercaya sebagai bagian dari rumah ibadah umat muslim yang kini sudah lenyap, Masjid Al-Ulya, merujuk penamaan kota Loulé dalam bahasa Arab, al-Ulya.
Diungkapkan Cláudio Torres dkk. dalam In the Lands of the Enchanted Moorish Maiden: Islamic Art in Portugal, Al-Ulya atau Loulé mulai dijamah masyarakat muslim sejak abad kedelapan. Pada abad ke-11, Al-Ulya dijadikan kota benteng oleh Kerajaan Niebla, salah satu kerajaan pecahan Kekhalifahan Córdoba (akhir abad ke-11 hingga awal abad ke-12).
Baca juga: Kala Khalifah Umar jadi Korban Penusukan
“Kota bentengnya dibangun seluas lima hektar dan menunjukkan bahwa pusat kota Al-Ulya merupakan kota penting selama periode Niebla dan masjidnya dibangun dekat tembok kota sisi selatan,” ungkap Torres dkk.
Diyakini, masjid itu dibangun di masa yang sama dengan dibangunnya kota benteng Al-Ulya. Pada 1249, kota benteng itu direbut Raja Portugal Afonso III. Masjid Al-Ulya pun diratakan dengan tanah yang lantas dibangun Igreja Matriz de São Clemente.