“RAPIDO, rapido!” seorang perwira sipir berteriak memberi perintah yang memecah keheningan malam, 5 Agustus 1939. Barisan sipir lainnya turut bersiaga dengan senapan-senapan mereka ketika 13 perempuan satu per satu menuruti perintah naik ke bak truk militer di muka halaman Penjara Ventas di Distrik Ciudad Lineal, kota Madrid.
Ke-13 tahanan politik (tapol) perempuan itu insyaf maut sudah akan menyongsong. Kendati begitu, rasa takut sudah tak lagi membayangi. Justru ketika truk itu mulai melaju, seorang dari mereka bersenandung lagu penyemangat yang lantas diikuti para sejawatnya.
“Que esté en guardia, que esté en guardia, el burgués insaciable y cruel.
Joven guardia, joven guardia, no le des paz ni cuartel.
¡Paz ni cuartel!”
Senandung itu merupakan himne kelompok kiri, Juventud Socialista Unificada (JSU) atau Pemuda Sosialis Bersatu, bertajuk “La Joven Guardia”. Ke-13 tapol itu mendendangkannya sebagai ucapan selamat tinggal kepada para tapol lain yang masih mendekam di Penjara Ventas.
Baca juga: Kisah Mata-Mata Perempuan di Tengah Perang
Mereka baru berhenti bernyanyi ketika truk itu berhenti dan pasukan sipir memerintahkan mereka untuk turun. Selebihnya mereka dijajarkan di tembok Cementerio del Este (kini Cementerio de la Almuneda). Mereka saling bergandengan tangan ketika sudah dihadapkan pada dua baris regu tembak.
Demikianlah babak akhir film drama Las 13 Rosas (2007) garapan sineas Emilio Martínez Lázaro. Film yang diadaptasi dari buku Trece Rosas Rojas karya jurnalis Carlos Fonseca itu menggambarkan nasib getir 13 perempuan yang jadi korban rezim diktator sayap kanan Francisco Franco tak lama setelah berakhirnya Perang Saudara Spanyol (17 Juli 1936-1 April 1939).
Setiap 5 Agustus, yayasan sosial Fundácion Treces Rosas rutin menggelar peringatan penghormatan ke-13 perempuan martir itu di tembok pemakaman tersebut, tempat ke-13 nama martir diabadikan lewat sebuah plakat. Hingga saat ini, publik mengenang ke-13 martir itu dengan julukan “Las Trece Rosas” alias Tiga Belas Mawar. Metafora “mawar” itu, kata Kajsa C. Larson dalam disertasinya berjudul Remembering the Thirteen Roses: Thinking between History and Memory, merujuk kepada contoh-contoh metonimik kebrutalan Franco kepada para aktivis yang berjuang menegakkan demokrasi.
“Di abad ke-21, istilah ‘mawar’ ditujukan pada para tokoh martir perempuan dalam konteks Perang Saudara Spanyol. Seperti kisah ‘La Rosa de Salamanca’ atau ‘Las Tres Rosas Leonesas’ sebelumnya. Setelah kematian Franco pada (20 November) 1975, ‘Tiga Belas Mawar’ menjadi salah satu kata kunci untuk mengkomunikasikan contoh ekstrem kepada publik terkait kengerian pasca-perang,” tulis Larson.
Baca juga: Satu-satunya Perempuan Amerika yang Dieksekusi Hitler
Apa dan Siapa Tiga Belas Mawar?
Kota Madrid tak serta-merta dinaungi ketenteraman kendati Franco dengan pasukan nasionalisnya digdaya dalam perang. Tiga bulan pasca-perang, justru ketegangan, teror, dan ketakutan menyebar luas di ibukota Spanyol itu.
“Para pemimpin Republik dan kaum kiri sudah lebih dulu kabur dari Spanyol, meninggalkan sisa-sisa organisasi mereka dipegang para aktivis dan milisi yang tak signifikan. José Pena, sekjen komite provinsi JSU, juga turut ditangkap di pengujung Juli. Tak tahan disiksa, Pena menyerah dan memberikan banyak nama aktivis kiri yang ia tahu masih bersembunyi di kota Madrid,” ungkap Fonseca.
Gelombang penggerebekan dan penangkapan pun dimulai kurun Mei-Agustus 1939 sebagai langkah-langkah Franco membersihkan ibukota dari sisa-sisa lawan politiknya. Langkah itu dia percayakan kepada Jenderal Eugenio Espinosa de los Monteros, gubernur militer kota Madrid cum Panglima Korps ke-1 Angkatan Darat. Banyak dari para tapol itu, termasuk 13 mawar, kemudian dieksekusi dalam kampanye “Saca de Agosto” Franco.
Baca juga: Politik Dua Kaki Francisco Franco
Ke-13 Mawar merupakan bagian dari 43 pemuda kiri yang dituduh subversif karena berpotensi memberontak pada pemerintahan nasionalis Franco. Banyak dari pemuda itu masih terhitung di bawah umur lantaran sebelum 1943, kategori dewasa di Spanyol dimulai dari usia 23 tahun.
Lebih dari separuhnya anggota 13 Mawar sendiri masih di bawah umur. Mereka adalah Luisa Rodríguez de la Fuente (18 tahun), Virtudes González García (18), Victoria Muñoz García (19), Julia Conesa Conesa (19), Adelina García Casillas (19), Dionisia Manzanero Salas (20), Elena Gil Olaya (20), Ana López Gallego (21), Martina Barroso García (22), Joaquina López Laffite (23), Carmen Barrero Aguado (24), Pilar Bueno Ibáñez (27), dan Blanca Brissac Vázquez (29).
Tetapi tidak semua dari 13 perempuan itu aktivis JSU atau Partido Comunista de España (PCE). Blanca Brissac Vázquez yang paling senior, misalnya. Ia ditangkap bersama suaminya, Enrique García Mazas, pada 24 Mei 1939 dan ditempatkan di penjara terpisah.
“Blanca adalah sosok yang faktanya bukan tokoh politik atau aktivis yang aktif. Blanca perempuan lugu, seorang ibu yang menyayangi putranya, seorang istri yang patuh, dan seorang Katolik yang taat,” sambung Larson.
Baca juga: Suara Penyintas 1965 yang Layak Didengar
Satu-satunya indikasi keterkaitan pasutri itu dengan kaum kiri hanyalah perkawanan baik Enrique García yang seorang musisi dengan Juan Canepa, seorang militan komunis yang anti-Franco.
Blanca dan suaminya hanyalah pasutri Katolik taat. Keduanya bahkan sempat mendukung kelompok sayap kanan pada Pemilu Spanyol 1936 atau dua bulan sebelum perang pecah.
“Tetapi persahabatan (Mazas-Canepa) itu berdampak besar pada mereka. Lalu seorang kenalan Blanca, Manuela de la Hera, kecele memberi informasi salah tentang Blanca kepada polisi karena disebutkan Blanca terlibat sebuah plot yang berencana membunuh Franco. Tuduhan tersebut sebetulnya hanya ada di dalam imajinasi si pengadu,” kata Fonseca.
Sementara, Carmen Barrero Aguado ketika ditangkap pada 16 Mei 1939 sejatinya sudah tak lagi menjadi kader aktif PCE. Ia ditangkap ketika bekerja sebagai penjahit, sebuah pekerjaan yang ia pilih usai meninggalkan PCE lantaran harus jadi tulang punggung keluarga pasca-kematian ayahnya.
Serupa tak sama dengan Julia Conesa yang ditangkap (medio Mei 1939) ketika sedang bekerja sebagai penjahit. Ia sempat menjadi kader JSU pada 1937 tetapi kemudian keluar karena harus menafkahi keluarganya. Sebelum menjadi penjahit, Julia sempat bekerja sebagai kondektur bus.
Baca juga: Commander Arian dan Kemerdekaan Perempuan
Ia ditangkap gegara teman pacarnya tahu Julia pernah jadi anggota JSU. Selain tiga nama di atas, 10 sisanya merupakan aktivis militan JSU dan PCE ketika diciduk lalu digelandang ke Penjara Ventas yang khusus menampung tapol perempuan.
Setelah berminggu-minggu disiksa di Penjara Ventas, mereka mulai diajukan ke persidangan Consejo Permanente de Guerra pada 3 Agustus bersamaan dengan 55 tapol laki-laki. Mereka dikenakan dakwaan membantu pemberontakan, berkonspirasi dan berencana membunuh Franco. Mereka dipaksa untuk mengakuinya, hingga sehari kemudian mereka divonis hukuman mati.
Hingga hari eksekusi mereka pada 5 Agustus, tak satupun dari 13 Mawar yang diizinkan untuk bisa bertemu kerabat atau keluarganya. Satu-satunya cara untuk menyampaikan kata-kata terakhir hanya via surat yang ditinggalkan di sel mereka jelang diangkut ke lokasi eksekusi mati.
“Namaku tidak akan terhapus dalam sejarah,” tulis Julia dalam surat yang ditujukan kepada ibundanya.
Sedangkan dalam surat terakhirnya untuk putranya yang berusia 11 tahun, Enrique, Blanca menuliskan: “Putraku tersayang, aku memikirkanmu di saat-saat terakhir. Maafkan ibu jika pernah membuatmu marah. Ingatlah kami sebagai orangtua yang terhormat. Ibu akan mati dengan kepala tegak. Teladanilah Papamu, seorang pekerja keras dan bisa menahan sabar. Jangan lupakan memori orangtuamu. Pergilah ke komuni suci, bersiaplah, dengan dasar keyakinan kuat seperti yang pernah ibu ajarkan. Putraku tersayang, sampai nanti. Cintaku akan tetap abadi. Blanca.”
Baca juga: Nestapa Sabaya