KELUARNYA Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (Perpres Ekstremisme) menimbulkan kasak-kusuk publik di media sosial. Pasalnya Perpres Ekstremis itu dikhawatirkan bisa mencederai kehidupan berdemokrasi di tanah air.
“Iktikadnya mungkin baik untuk menangani tindak terorisme atau belakangan ini sering terjadi juga tindakan-tindakan intoleransi. Namun ada hal-hal yang mengkhawatirkan dalam praktik berdemokrasi, seperti kebebasan berpendapat atau berorganisasi. Karena di dalam perpres itu orang bisa saling mencurigai lalu saling lapor. Lantas menimbulkan stigmatisasi terhadap mereka yang dianggap punya ideologi berbahaya,” ujar sejarawan Bonnie Triyana dalam diskusi live bertajuk “Politik Stigma dalam Sejarah Indonesia” di Instagram, Facebook, dan Youtube Historia.id, Jumat (29/1/2021) malam.
Stigma, cap, label, atau stempel berulang-ulang terjadi seiring zaman. Bahkan acapkali masih bertahan sampai sekarang mesti kejadiannya sudah lewat jauh. Seperti stigmatisasi terhadap orang-orang kiri pasca-Peristiwa 1965. Selain para kader maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh atau dipenjara tanpa proses hukum, mereka yang dicap kiri mengalami pengucilan akibat stigma itu. Pola itu cenderung bisa berulang dewasa ini.
“Ada stigma, label yang diberikan kepada orang-orang. Kalau dulu dicap ekstrem kiri, kalau sekarang bandulnya melayang ke orang-orang yang dianggap ekstrem kanan. Situs sejarahnya pun ada. Untuk ekstrem kiri pengingatnya (museum) Lubang Buaya. Untuk ekstrem kanan pengingatnya di Museum Satria Mandala, karena di sana ada peninggalan sejarahnya tentang DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Ini semacam kutukan yang berlangsung polanya,” imbuhnya.
Baca juga: Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965
Di zaman pergolakan 1950-an hingga 1960-an, belum ada kepastian hukum terkait hal itu. Penculikan, pembunuhan yang tersebar di berbagai tempat terjadi hanya lewat tuduhan tanpa bukti dengan motif beraneka macam. Lantas, dalam konteks saat ini, kekhawatiran terletak pada ancaman terorisme dan intoleransi yang meningkat.
“Responnya kan ada satu aturan untuk mempersempit gerak ekstremisme agama yang selama ini membuat orang jadi intoleran. Tapi pada akhirnya ini seperti pola melabel lagi seperti dulu. Sebenarnya pokok permasalahannya bukan kepada idologi atau pemikiran politik tapi soal tindakan si orang-orang pengikutnya yang mestinya bisa ditindak secara hukum,” tambah Bonnie.
Stigma dalam Aneka Zaman
Stigma sudah hidup berabad-abad silam beriringan dengan peradaban manusia berada. Menurut Soe Tjen Marching, akademisi yang juga dosen di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London, mulanya stigma diberikan kepada golongan kriminal atau budak. Stigma lantas berkembang seiring perjalanan zaman dan dimanfaatkan untuk menimpakan suatu kesalahan kepada orang lain.
“Makanya stigma dianggap jelek karena mereka (para kriminal dan budak) dianggap sebagai orang jelek. Itu stigmanya seumur hidup karena biasanya mereka diberi cap dengan besi panas. Lalu contohnya lagi dalam sejarah dunia ada kisah Kaisar Nero di tahun 64 Masehi kala terjadi kebakaran di Roma. Dia menimpakan kesalahannya kepada orang-orang Kristen karena mereka sebagai minoritas, distigmakan sebagai kafir atau atheis,” ujar Soe Tjen.
Baca juga: Peliknya Rekonsiliasi Peristiwa 1965
Dalam perkembangannya, lanjut Soe Tjen, stigma lantas digunakan untuk menggalang dukungan demi menjatuhkan lawan politik. Perang Salib I (1096-1099) yang mulanya persaingan merebut tanah antara Kekaisaran Byzantium dengan Dinasti Seljuk, contohnya.
“Kaisar Byzantium (Alexius I Comnenus) dan Paus Urban II kan khawatir akan penyebaran muslim. Takutnya daerah Kristen tambah sempit. Tapi kan enggak mungkin mengakui rebutan tanah. Jadi dipakai stigma bahwa orang-orang (muslim) itu kafir. Dengan begitu mereka dapat dukungan (kerajaan-kerajaan Eropa). Ya mereka itu (orang-orang muslim) ekstremis begitu ya, kalau bahasa sekarang,” tambahnya.
Hampir di setiap peristiwa sejarah kerap diawali stigma. Di Nusantara itu dapat dilihat kala terjadi peperangan antara Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah dengan Majapahit yang dipimpin Prabu Brawijaya V yang tak lain ayah Raden Patah.
“Dalam versi lain kisahnya dikatakan Raden Patah menyerang Majapahit setelah menuduh ayahnya dengan stigma kafir, mengingat ayahnya Hindu, sementara Raden Patah Islam. Jadi itulah bahayanya tuduhan ekstremis. Juga di zaman Belanda, Cultuurstelsel kan sistem kebudayaan bercocok tanam. Namanya indah sebenarnya. Jadi Cultuurstelsel ini pemerintah Belanda mengajari pribumi untuk lebih berbudaya dan cara bertanam, bukan tanam paksa bagi mereka. Di situlah definisi-definisi ini bisa menstigma. Menstigma para pejuang yang melawan kolonialisme sebagai ekstremis. Cultuurstelsel menguatkan stigma pemberontak penjajahan adalah ekstremis, makanya tanam paksa diberi topeng dengan penamaan Cultuurstelsel,” tutur Soe Tjen.
Dalam politik internasional modern, tambah Soe Tjen, kata ‘stigma’ dipopulerkan sosiolog dan psikolog Amerika Serikat Erving Goffman lewat bukunya Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity yang diterbitkan tahun 1963. Goffman menguraikan bahwa stigma adalah cara untuk melindungi identitas suatu kelompok ketika mereka bertindak di luar batas kewajaran. Selain itu, cara untuk mendiskreditkan kelompok atau individu yang tidak sejalan dengan mereka.
Baca juga: Oligarki Zaman Kuda Gigit Besi hingga Era Jokowi
Alhasil seperti yang terjadi di Indonesia, para eks-tapol atau yang bersimpati pada mereka distigmakan sebagai ekstrem kiri yang atheis hingga cap pembunuh ulama. Di masa sekarang, terutama sejak peristiwa 9 September 2001 (Tragedi “9/11”), semua orang muslim yang berjenggot dan bercelana cingkrang distigmakan sebagai teroris.
“Kebetulan pada waktu kejadian ‘9/11’, saya masih kuliah di Australia. Teman saya orang Sikh yang pakai turban sampai dipersekusi. Di pinggiran kota dia diteriaki sama anak-anak: ‘You moslem, go home!’ Padahal dia Sikh dan bukan muslim, hanya karena dia pakai turban walau sebetulnya turban Sikh dan sorban muslim kan berbeda. Itu menjadi stigma yang salah alamat. Tapi karena mereka enggak mengerti, jadi melampiaskan emosi, menuduhnya ngawur,” ujar perempuan yang baru menerbitkan novel Dari Dalam Kubur itu.
Yang berbahaya adalah ketika stigma dilontarkan tokoh-tokoh pemerintahan dan dihubung-hubungkan dengan perkara lain ibarat “cocoklogi”. Soe Tjen mencontohkan ketika pada 2016 Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyangkut-pautkan komunis dengan isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).
“Dikatakan bahwa munculnya gerakan LGBT di kalangan muda sudah seperti perang proxy yang menimbulkan ancaman lebih besar dari pada perang nuklir. Lalu dia menghubungkan dengan gerakan komunis juga. Jadi dicocok-cocokkan. Itulah stigma, bisa ditempel-tempelkan begitu,” lanjutnya.
Stigma jauh lebih berbahaya bila dipegang pihak penguasa untuk memengaruhi pola pikir masyarakat demi menjatuhkan lawan politik. Itu bisa memercikkan konflik horizontal. Mirisnya, efeknya bisa membuat suatu tindak kejahatan dianggap menjadi tindakan kepahlawanan yang mulia.
“Karena adanya stigma, kejahatan bisa dianggap ‘new normal’ karena stigma bisa membuat korbannya tidak lagi netral. Korban tidak lagi dipandang sebagai manusia tapi sudah diperlakukan seperti hewan. Itulah bahayanya aturan ekstremisme itu yang bisa menormalkan kejahatan,” paparnya.
Baca juga: Anwar Congo
Satu contohnya adalah tokoh Anwar Congo yang kisahnya diumbar via film dokumenter Jagal/The Act of Killing (2012). Ia menceritakan tanpa rasa bersalah menyembelih banyak orang, baik para anggota PKI maupun orang yang dituduh PKI. Yang ia lakukan diyakini adalah tindakan mulia atau kepahlawanan.
“Itu stigmanya sudah direncanakan sejak lama dan dibantu negara-negara Barat secara bertahap dan masif. Soeharto tahu cara yang sangat efektif untuk membangun stigma itu dengan membangun pola pikir masyarakat. Kalau sudah dibentuk, maka mereka akan melakukan kejahatan yang dianggap sebuah kenormalan baru itu dengan sukarela,” terangnya lagi.
Lantas, bagaimana agar Perpres Ekstremisme Nomor 7 tahun 2021 yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu tak menimbulkan stigma-stigma macam di atas? Terlebih, di era digital, hoaks begitu mudah merangsek ke otak masyarakat dan membentuk stigma-stigma negatif terhadap suatu kelompok tertentu tanpa bukti.
“Penting untuk edukasi, political will, di mana stigma harus kita perangi dengan permulaan kita harus menyadari dulu stigma itu apa. Dengan semua edukasi, atau peraturan baru, atau dengan pergantian kekuasaan yang nantinya bisa terjadi pergantian sistem, semua harus menyeluruh karena kecenderungan manusia untuk membuat stigma itu sangat besar. Kenapa hoaks itu sangat mudah disebar? Karena manusia ini gampang membuat stigma, tapi mengeceknya betul atau tidak, butuh waktu,” tandas Soe Tjen.
*Tulisan ini diralat pada 23 Februari 2021
Baca juga: Agar Tak Menguap dalam Senyap